"Mas, siapin buku imunisasi anak-anak, ada di tasku di belakang. Maksudnya, di ransel yang ia pakai. Tas hadiah dari Nadin saat pergi ke Singapura karena Devon manggung di sana, merk ternama yang akhirnya Zita punya kesempatan untuk memakainya.
"Dipasang lagi kaitannya, Mas, jangan lupa," pinta Zita. Pandu hanya menjawab dengan kata 'Iya'.
Keduanya berjalan ke dalam lobi, semua mata terpusat kepada keluarga kecil mereka, selain karena anak kembar tiga, juga karena bawaan mereka yang tampak repot. Zita, cuek-cuek aja.
"Dokter siapa namanya, Zit?" tanya Pandu saat menyiapkan kartu tanda pengenal karyawan miliknya.
"Di bukunya ada, Mas Pandu, aku juga lupa. Buka halaman pertamanya, coba," ucap Zita yang memastikan pasukan krucilsnya tak ada yahg rewel.
Pandu lalu melakukan pendaftaran, setelah selesai mendaftar, mereka menuju ke lantai dua. Pintu lift terbuka. Dua orang suster tampak heboh, mereka bertemu tiga bayi kembar yang mereka rawat beberapa wa
"Belum tidur, Mas?" tegur Zita yang baru saja menidurkan anak-anaknya setelah sempat rewel karena efek imunisasi, Zita memberikan obat penurun panas dan tak lama, ketiganya tertidur pulas."Sebentar lagi, lagi nunggu transferan uang dari temen," jawab Pandu yang merangkul bahu Zita dengan lengan kanannya."Transferan apaan? Kamu nagih hutang temenmu? Karena kamu sekarang butuh uang banyak?" pertanyaan polos kembali terdengar dari Zita. Pandu cengengesan."Nggak lah, temenku kalau pinjam uang ke aku, mereka balikin, kok, tapi kadang aku bebasin, kasihan, kalau jumlahnya nggak banyak," lanjut Pandu."Ih, baik bener, sih, suamiku ini..., terus transferan apaan?" Zita memperbaiki posisi duduknya menghadap Pandu, ia duduk sembari memangku bantal sofa."Duit sewa rumah sama jual kendaraan.""Maksudnya, yang di dumai?" Zita mengerutkan kening. Pandu mengangguk."Kita udah fix menetap di sini, Zita, jadi warga Jakarta. Aku udah dapat berita d
Zita merasa tak bisa terus menerus merepotkan suaminya atau keluarga. Kali ini, ia harus mengubah pola pikir dan menghilangkan ketakutannya. Ia sudah punya anak, tanggung jawab mengurus anak-anak juga ia maunya sendirian, saking tak percaya menggunakan jasa pengasuh akibat maraknya berita sehari-hari yang Zita tonton tentang kekerasan dari pengasuh terhadap anak, membuatnya bergidik ngeri. Pun, ia merasa jika mampu. Ia full time ibu dan istri di rumah.Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan berkali-kali. Ia melirik, semua aman, dan ia siap."Masukin gigi satu sambil injak kopling, angkat kopling pelan-pelan sambil Bu Zita injak gas jangan terlalu dalam dan ragu-ragu juga, Bu," ucap pelatih mengemudi yang di sewa Pandu. Suaminya tak mengizinkan jika Zita sendirian datang ke tempat kursus di luar komplek, jadilah oleh papa Pandu dipanggil dan membayar sedikit lebih mahal.Area jalannya pun, sekitar komplek, kecuali nanti untuk melancarkan, Pandu sendiri ya
Lalu muncul bibi dari dalam rumah, membawa botol ASI tiga buah. "Pak, waktunya anak-anak minum susu," bibi mendekat."Oh iya, Bi, makasih, ya," ujar Pandu. Bibi memberikan botol masing-masing, ketiga bayi itu sudah bisa memegang botol susu. Danu bahkan begitu senang menggoda triplet juga kagum. Pandu memasang alas di leher masing-masing anaknya, supaya kalau menetes, tak kena baju."Hebat, udah pinter pegang botol susu, ya," goda Danu."Mamanya nih, yang ngajarin nggak manja dari beberapa waktu ini. Telaten Zita, Pak," sahut Pandu."Bagus, Ndu. Percayakan cara didik anak ke Ibunya, karena dia yang paling tahu, kita, sebagai suami fokus cari rejeki, tapi ya tetap, tanya perkembangan anak, jangan cuek juga. Seenggaknya tanya 'hari ini anak-anak gimana, kamu capek, ya' istri ditanya gitu aja udah seneng banget, Ndu." Tukas Danu sambil duduk di kursi yang sebelumnya diambil Pandu untuk pria itu."Iya, Pak," sahutnya.***Zita mengusap ali
Hari demi hari mereka lalui dengan kehebohan yang jelas terjadi. Zita baru saja selesai minum obat flu, ia mendadak meriang. Sepertinya, sudah tiba tubuhnya protes minta rehat sejenak.Zita memakai masker, ia takut jika ketiga anak-anaknya tertular. Genap enam bulan sudah usia triplet, Zita ingin memberikan makanan pendamping ASI pertama ketiga anaknya berupa bubur beras dari merk terkenal. Juga ada buah pepaya yang nanti akan ia blender halus."Anak-anak, karena Mama lagi flu, diharap kalian jangan rewel dan pecicilan, ya, Mama mohonnn... kerja samanya."Tiga pasang mata bayi-bayi itu mengerjap pelan, mereka merasa bingung, karena Mamanya memakai masker."Sekarang pakai dulu alas ini, ya, biar bajunya nggak kotor." Zita memakaikan slabber atau celemek bayi di leher masing-masing anaknya. Ada yang bergambar bayi gajah, kucing, dan katak yang imut-imut semuanya.Diva menatap mangkuk berisi makanan itu, Zita sudah menakarnya untuk perut ketiga buah h
Bruk!Dengan helaan napas panjang, pria itu duduk di sofa ruang TV, menatap semua orang yang ada di sana."Mesti yo, Mas, Zita, aku yang dikorbankan," protes Ageng yang baru tiba ke Jakarta. Zita masih sedikit lemas, ia bersandar di bahu suaminya yang sedang memangku Diva, sedangkan Duta dan Datra masih tidur, padahal mau mandi pagi.Ageng naik mobil travel dari Solo semalam, dengan satu kalimat perintah dari Pandu, meluncurlah ia tanpa banyak pikir. Demi membantu keluarga."Geng, dari pada kamu di sana cuma bantu Ibumu, Ibuku di kebun sama kandang ternak, mendingan di sini, kan, bantu-bantu Zita. Kamu juga nggak mau disuruh lanjur kuliah, kerja juga ogah-ogahan, karepmu opooo... Geng," sindir Pandu."Mas Pandu piye, toh, ngawasi ternak, bantu di kebun, jabatanku itu sebenarnya mandor pekerja, Mas, nyateti penjualan ternak dan hasil kebun. Belum lagi kalo Bude suruh aku masuk-masukin dagangan camilan-camilan yang udah di packingin, upahku lumayan,
Suara irama musik di lapangan luas itu terdengar begitu meriah, belum lagi sorakan ibu-ibu, anak muda yang semua perempuan berteriak serempak. Ingat kejadian Zita yang heboh saat senam bersama ibu-ibu paguyuban Bu Rima CS, nah, sekarang, kambuh lagi."Ayo semangat Ibu-ibu!" teriak Zita dengan mikropon di tangannya. "Ayo kita sehat bersama! Udah punya anak bukan berarti letoy ya Ibu-ibu keceh! Ayo semangat!" teriaknya lagi."WWWOOOO!!!" jawab serempak bersamaan dengan musik yang semakin membuat semua bersemangat.Di bawah pohon rindang di ujung lapangan, terlihat pria bernama Ageng yang sibuk menyuapi tiga anak kembar cetakan Zita dan Pandu yang diajaknya melihat kelakuan mama Zita yang hanya bisa membuat Ageng ngedumel."Heh, anak-anak, Mama mu makan apa, sih? Semalam di apain sama Papa kalian, sampai enerjik begitu." tatap Ageng. Triplet hanya bisa cengar cengir."Ageng, masih lama selesainya?" suara Pandu terdengar. Ageng menoleh, beranjak lalu m
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk