Hari demi hari mereka lalui dengan kehebohan yang jelas terjadi. Zita baru saja selesai minum obat flu, ia mendadak meriang. Sepertinya, sudah tiba tubuhnya protes minta rehat sejenak.
Zita memakai masker, ia takut jika ketiga anak-anaknya tertular. Genap enam bulan sudah usia triplet, Zita ingin memberikan makanan pendamping ASI pertama ketiga anaknya berupa bubur beras dari merk terkenal. Juga ada buah pepaya yang nanti akan ia blender halus.
"Anak-anak, karena Mama lagi flu, diharap kalian jangan rewel dan pecicilan, ya, Mama mohonnn... kerja samanya."
Tiga pasang mata bayi-bayi itu mengerjap pelan, mereka merasa bingung, karena Mamanya memakai masker.
"Sekarang pakai dulu alas ini, ya, biar bajunya nggak kotor." Zita memakaikan slabber atau celemek bayi di leher masing-masing anaknya. Ada yang bergambar bayi gajah, kucing, dan katak yang imut-imut semuanya.
Diva menatap mangkuk berisi makanan itu, Zita sudah menakarnya untuk perut ketiga buah h
Bruk!Dengan helaan napas panjang, pria itu duduk di sofa ruang TV, menatap semua orang yang ada di sana."Mesti yo, Mas, Zita, aku yang dikorbankan," protes Ageng yang baru tiba ke Jakarta. Zita masih sedikit lemas, ia bersandar di bahu suaminya yang sedang memangku Diva, sedangkan Duta dan Datra masih tidur, padahal mau mandi pagi.Ageng naik mobil travel dari Solo semalam, dengan satu kalimat perintah dari Pandu, meluncurlah ia tanpa banyak pikir. Demi membantu keluarga."Geng, dari pada kamu di sana cuma bantu Ibumu, Ibuku di kebun sama kandang ternak, mendingan di sini, kan, bantu-bantu Zita. Kamu juga nggak mau disuruh lanjur kuliah, kerja juga ogah-ogahan, karepmu opooo... Geng," sindir Pandu."Mas Pandu piye, toh, ngawasi ternak, bantu di kebun, jabatanku itu sebenarnya mandor pekerja, Mas, nyateti penjualan ternak dan hasil kebun. Belum lagi kalo Bude suruh aku masuk-masukin dagangan camilan-camilan yang udah di packingin, upahku lumayan,
Suara irama musik di lapangan luas itu terdengar begitu meriah, belum lagi sorakan ibu-ibu, anak muda yang semua perempuan berteriak serempak. Ingat kejadian Zita yang heboh saat senam bersama ibu-ibu paguyuban Bu Rima CS, nah, sekarang, kambuh lagi."Ayo semangat Ibu-ibu!" teriak Zita dengan mikropon di tangannya. "Ayo kita sehat bersama! Udah punya anak bukan berarti letoy ya Ibu-ibu keceh! Ayo semangat!" teriaknya lagi."WWWOOOO!!!" jawab serempak bersamaan dengan musik yang semakin membuat semua bersemangat.Di bawah pohon rindang di ujung lapangan, terlihat pria bernama Ageng yang sibuk menyuapi tiga anak kembar cetakan Zita dan Pandu yang diajaknya melihat kelakuan mama Zita yang hanya bisa membuat Ageng ngedumel."Heh, anak-anak, Mama mu makan apa, sih? Semalam di apain sama Papa kalian, sampai enerjik begitu." tatap Ageng. Triplet hanya bisa cengar cengir."Ageng, masih lama selesainya?" suara Pandu terdengar. Ageng menoleh, beranjak lalu m
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk
"Ayo... ayo... cepetan! Kita bisa ketinggalan kereta...! Ya ampunnn..." panik Zita yang berjalan menggandeng dua anaknya, satu anaknya lagi digendong Pandu, sedangnya Ageng sudah berlari lebih dulu untuk mencari gerbong kereta yang akan mereka naiki. Porter berjalan di belakang mereka membawa tiga tas koper besar. Tak hanya satu, tapi ada tiga porter yang mereka minta bantuan jasanya."Ini...!" teriak Ageng. Ia memberikan tiket kereta ke petugas yang masih berdiri di depan gerbong kereta eksekutif yang akan mereka naiki. Zita dan dua anaknya berjalan ke dalam gerbong, lalu Pandu yang masih menggendong Diva. Zita terengah-engah, ia merasa lega karena tak tertinggal kereta. Duta dan Datra memindai sekitar sembari menganga. Pertama kali naik kereta dan tampak takjub. "Diva duduk di sini sama Om Ageng, ya," ujar Zita sembari memindahkan Diva dari gendongan Pandu. Mereka duduk di bangku 13DC yang artinya, kursi bisa diputar 180 derajat, kereta Argo lawu itu nyaman karena kelas eks
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman