Zita duduk di bawah pohon belimbing sembari mencatat barang-barang yang akan ia, Dety, Maya dan Bu rima belanja di mega grosir, karena hari jumat besok, akan diadakan sedekah jumat yang diadakan keliling kota guna membagikan sembako. Mulut Zita tak henti mengunyak bakwan dengan sambal kacang, ia hempaskan jauh-jauh nenek sihir bernama Intan itu dari kepala dan hatinya.
Layar ponselnya menyala, nama Pandu muncul, Zita hanya melirik lalu mengabaikan panggilan itu. Ia masih jengkel dengan suaminya yang membentak ia semalam. Biarkan, sesekali ngambek boleh, dong, masa selalu jadi jagoan yang melupakan kesalahan. No way, untuk kali ini. Kegiatan menulisnya terhenti saat ia teringan kejadian subuh tadi, ia sebenarnya sudah menyiapkan air sisa mengepel lantai untuk ia siram ke Intan, namun ia urungkan karena takut difitnah lagi oleh penyihir itu.
Zita membuka matanya, ia melihat Dety dan Maya yang tampak lega. Ia langsung ingat kejadian terakhir, air mukanya sudah merah, kedua matanya panas."Nggak apa-apa, aman, Zita, semua aman, Bu Rima di sana," ucap Maya. Dety mengusap kepala Zita."Kenapa nggak bil—""ZITA!" suara Pandu terdengar di depan pintu kamar rawat. Napasnya terengah-engah. Ia berjalan mendekat, Zita membuang pandangannya ke arah lain, ia masih kesal dengan Pandu."Zit...," Pandu meraih jemari tangan istrinya namun di tepis Dety dan Maya kompak. Pandu menoleh, menatap bingung."Cuci tangan dulu, cuci muka, lo tau bini lo lagi sepeneng sampai pingsan gitu gara-gara elo juga, Pandu." Omel Maya dengan logat be
Pandu terus menatap lekat Zita yang sedang menikmati pudding buah kiriman Dety, wanita itu kembali datang ke rumah sakit sore hari. Tangannya meraih tisu di atas atas, ia bersihkan sudut bibir Zita perlahan. Kedua mata Zita justru melirik sebal ke suaminya itu."Aku bukan anak kecil, Mas Pandu. Bisa lap sendiri mulut aku!" ketusnya sembari merebut tisu dari tangan suaminya."Kan aku mau manjain istri aku," jawaban Pandu membuat Zita berdecak."Kenapa? Ngerasa bersalah? Istrinya bisa aja keguguran gara-gara ditendang nenek lampir itu." Semakin judes saja, kan. Pandu mendengkus, ia meraih tangan kanan Zita yang sudah tak memegang sendok, karena Pandu sudah meletakkan kotak pudding ke atas nakas. Telapak tangan Zita ia tempelkan ke wajah, kedua mata Pandu terpejam, meresapi kelembutan tan
Seharunya, Zita pulang esok hari, namun karena kondisinya sudah lebih baik, juga, karena kedua orang tua Intan akan datang, ia tak mau jika tak bertemu dengan bude juga pakde suaminya itu. Justru ini kesempatan emas bagi Zita, dan tak perlu repot-repot ke Solo lagi buat samperin keluarga suaminya itu."Bu Rima tetap ikut ke rumah dia, kan, sebagai saksi?" tanya Zita yang duduk di kursi roda sembari di dorong suaminya itu."Ikut. Udah bagian tanggung jawab saya, kan, suami saya juga ikut. Kaget waktu saya cerita, Pandu termasuk anak emas suami saya, kan," ledek Rima sembari melirik ke Pandu yang hanya bisa senyum-senyum. Sedangkan suami Rima tak lepas menggandeng tangan istrinya itu. Zita yang melihat kemestaannya ibu ketua paguyuban itu, ikut tersenyum."Tuh, Mas, Romantis dong, kayak
"Sini dulu, Zita," tangan Pandu menarik pelan pergelangan tangan istrinya yang berjalan santai sembari menyedot minuman dingin yang mereka beli di kedai minuman setelah merekacheck indan berjalan menuju ke ruangboarding."Apaan sih, Mas?" toleh Zita sembari menatap suaminya yang tersenyum manis.Cup.Kecupan di kening lalu ia membungkukkan tubuh, mengarahkan kecupan ke perut Zita, pria itu berikan dengan gerakan cepat."Happy, mau ke Yogya?" tanyanya. Zita mengangguk sembari cengegesan. Pandu merangkul bahu Zita yang bertubuh pendek - menurut Pandu."Kita ganti pesawat ya? Nggak bisa langsung, aku sempet lupa kemarin waktu p
Jakarta - Halim.Pesawat yang mereka tumpangi merupakan anak perusahaan dari tempat Pandu bekerja, mendarat dengan sempurna dan mulus. Keduanya merasa lega, bahkan pelayanan ramah pramugari maskapai, membuat keduanya tak bosan atau lelah selama perjalanan."Pesawat selanjutnya satu setengah jam lagi, terlambat nggak nih, kita?" Zita khawatir."Nggak, tenang aja," tangan Pandu menggandeng tangan Zita, mereka berjalan menuju ke tempat bagasi barang mereka. Mulut Zita sudah komat kamit, ia khawatir akan tertinggal pesawat buntut hijau itu."Tenang, Zita tayang." Itulah Pandu, disaat Zita panik, ia bisa bersikap tenang, sehingga membuat Zita tak semakin menjadi-jadi kepanikannya. Dan, semua dilancarkan, setelah mengurus ini itu, akhirnya
Makan malam itu hanya dinikmati ke empat orang selain Pandu seorang, pria itu hanya terus menatap sambil menyantap makanannya. Memperhatikan Zita yang heboh bercerita dengan Bagus, terutama, Dito. Pria itu begitu menatap kagum ke arah si lawan bicara, Zita, yang tak sadar dengan tawa dan senyumannya yang Pandu simpulkan, walau secara sepihak, membuat Dito lekat menatap."Ehem..." kembali Pandu berdeham, Zita menoleh, lalu menuangkan air minum ke dalam gelas suaminya, dan tetap lanjut bercerita. Hal itu membuat Pandu jengah, ia bahkan sudah ingin segera membersihkan diri."Pandu, nggak nambah makannya?" tanya bude Sri. Pandu tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bagus yang melihat kilatan sinar api cemburu yang membara di kedua mata suami sepupunya itu, segera bertindak."Dito, temenin
Zita membuka pintu kamar, tampak Pandu melirik dengan tatapan judes, sebelum kembali membaca buku koleksi Zita."Mas Pandu, kenapa sih, diem aja dari semalem." Bisa banget Zita basa basinya. Padahal ia juga sudah tau suaminya cemburu."Cemburu, ya, marah ya, Mas, atau... Mas Pandu nggak suka kalau aku sama Dito—"Pandu menutup buku dengan kasar lalu menatap lekat istrinya yang duduk mendekat ke arahnya."Mas Pandu nggak mau usap-usap anaknya? Dari semalem nungguin, lho." Goda terus Zita, tau sendiri suamimu mana tahan di goda begitu. Pandu menatap ke tangan Zita yang menempel ke perut, lalu membuat gerakan memutar mengusap perutnya sendiri."Wah, nak, Bapakmu masih ngambek, eh.
Pandu terus tersenyum, sementara Zita berkedip-kedip masih tak percaya dengan apa yang ia pegang di tangannya saat ini. Buku nikah ia dan Pandu sudah ia miliki kini.Suara Bagus terdengar berteriak saat ia sedang membantu Zita membawa dua koper ke dalam kamar hotel itu. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang berliku dengan dua ujian wanita yang akhirnya menyerah mundur karena Zita menyerang dengan jurus maut pengintaian, kini keduanya bisa tersenyum lega.Zita, Pandu, ujian kalian itu tidak berakhir, akan ada ujian-ujian lainnya di kehidupan pernikahan, tidak melulu pebinor atau pelakor. Siapkan, kalian menghadapi?"Ta, ini koper taroh di sini aja, kan? Aku langsung pulang ya," ucap Bagus saat ia tampak kesusahan menjadi kurir angkut dadakan karena Pandu dan Zita fokus dengan bu