Pandu terus menatap lekat Zita yang sedang menikmati pudding buah kiriman Dety, wanita itu kembali datang ke rumah sakit sore hari. Tangannya meraih tisu di atas atas, ia bersihkan sudut bibir Zita perlahan. Kedua mata Zita justru melirik sebal ke suaminya itu.
"Aku bukan anak kecil, Mas Pandu. Bisa lap sendiri mulut aku!" ketusnya sembari merebut tisu dari tangan suaminya.
"Kan aku mau manjain istri aku," jawaban Pandu membuat Zita berdecak.
"Kenapa? Ngerasa bersalah? Istrinya bisa aja keguguran gara-gara ditendang nenek lampir itu." Semakin judes saja, kan. Pandu mendengkus, ia meraih tangan kanan Zita yang sudah tak memegang sendok, karena Pandu sudah meletakkan kotak pudding ke atas nakas. Telapak tangan Zita ia tempelkan ke wajah, kedua mata Pandu terpejam, meresapi kelembutan tan
Seharunya, Zita pulang esok hari, namun karena kondisinya sudah lebih baik, juga, karena kedua orang tua Intan akan datang, ia tak mau jika tak bertemu dengan bude juga pakde suaminya itu. Justru ini kesempatan emas bagi Zita, dan tak perlu repot-repot ke Solo lagi buat samperin keluarga suaminya itu."Bu Rima tetap ikut ke rumah dia, kan, sebagai saksi?" tanya Zita yang duduk di kursi roda sembari di dorong suaminya itu."Ikut. Udah bagian tanggung jawab saya, kan, suami saya juga ikut. Kaget waktu saya cerita, Pandu termasuk anak emas suami saya, kan," ledek Rima sembari melirik ke Pandu yang hanya bisa senyum-senyum. Sedangkan suami Rima tak lepas menggandeng tangan istrinya itu. Zita yang melihat kemestaannya ibu ketua paguyuban itu, ikut tersenyum."Tuh, Mas, Romantis dong, kayak
"Sini dulu, Zita," tangan Pandu menarik pelan pergelangan tangan istrinya yang berjalan santai sembari menyedot minuman dingin yang mereka beli di kedai minuman setelah merekacheck indan berjalan menuju ke ruangboarding."Apaan sih, Mas?" toleh Zita sembari menatap suaminya yang tersenyum manis.Cup.Kecupan di kening lalu ia membungkukkan tubuh, mengarahkan kecupan ke perut Zita, pria itu berikan dengan gerakan cepat."Happy, mau ke Yogya?" tanyanya. Zita mengangguk sembari cengegesan. Pandu merangkul bahu Zita yang bertubuh pendek - menurut Pandu."Kita ganti pesawat ya? Nggak bisa langsung, aku sempet lupa kemarin waktu p
Jakarta - Halim.Pesawat yang mereka tumpangi merupakan anak perusahaan dari tempat Pandu bekerja, mendarat dengan sempurna dan mulus. Keduanya merasa lega, bahkan pelayanan ramah pramugari maskapai, membuat keduanya tak bosan atau lelah selama perjalanan."Pesawat selanjutnya satu setengah jam lagi, terlambat nggak nih, kita?" Zita khawatir."Nggak, tenang aja," tangan Pandu menggandeng tangan Zita, mereka berjalan menuju ke tempat bagasi barang mereka. Mulut Zita sudah komat kamit, ia khawatir akan tertinggal pesawat buntut hijau itu."Tenang, Zita tayang." Itulah Pandu, disaat Zita panik, ia bisa bersikap tenang, sehingga membuat Zita tak semakin menjadi-jadi kepanikannya. Dan, semua dilancarkan, setelah mengurus ini itu, akhirnya
Makan malam itu hanya dinikmati ke empat orang selain Pandu seorang, pria itu hanya terus menatap sambil menyantap makanannya. Memperhatikan Zita yang heboh bercerita dengan Bagus, terutama, Dito. Pria itu begitu menatap kagum ke arah si lawan bicara, Zita, yang tak sadar dengan tawa dan senyumannya yang Pandu simpulkan, walau secara sepihak, membuat Dito lekat menatap."Ehem..." kembali Pandu berdeham, Zita menoleh, lalu menuangkan air minum ke dalam gelas suaminya, dan tetap lanjut bercerita. Hal itu membuat Pandu jengah, ia bahkan sudah ingin segera membersihkan diri."Pandu, nggak nambah makannya?" tanya bude Sri. Pandu tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bagus yang melihat kilatan sinar api cemburu yang membara di kedua mata suami sepupunya itu, segera bertindak."Dito, temenin
Zita membuka pintu kamar, tampak Pandu melirik dengan tatapan judes, sebelum kembali membaca buku koleksi Zita."Mas Pandu, kenapa sih, diem aja dari semalem." Bisa banget Zita basa basinya. Padahal ia juga sudah tau suaminya cemburu."Cemburu, ya, marah ya, Mas, atau... Mas Pandu nggak suka kalau aku sama Dito—"Pandu menutup buku dengan kasar lalu menatap lekat istrinya yang duduk mendekat ke arahnya."Mas Pandu nggak mau usap-usap anaknya? Dari semalem nungguin, lho." Goda terus Zita, tau sendiri suamimu mana tahan di goda begitu. Pandu menatap ke tangan Zita yang menempel ke perut, lalu membuat gerakan memutar mengusap perutnya sendiri."Wah, nak, Bapakmu masih ngambek, eh.
Pandu terus tersenyum, sementara Zita berkedip-kedip masih tak percaya dengan apa yang ia pegang di tangannya saat ini. Buku nikah ia dan Pandu sudah ia miliki kini.Suara Bagus terdengar berteriak saat ia sedang membantu Zita membawa dua koper ke dalam kamar hotel itu. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang berliku dengan dua ujian wanita yang akhirnya menyerah mundur karena Zita menyerang dengan jurus maut pengintaian, kini keduanya bisa tersenyum lega.Zita, Pandu, ujian kalian itu tidak berakhir, akan ada ujian-ujian lainnya di kehidupan pernikahan, tidak melulu pebinor atau pelakor. Siapkan, kalian menghadapi?"Ta, ini koper taroh di sini aja, kan? Aku langsung pulang ya," ucap Bagus saat ia tampak kesusahan menjadi kurir angkut dadakan karena Pandu dan Zita fokus dengan bu
Zita memang menantu idaman, buktinya, saat mereka hampir sampai di kota Solo, ia meminta Pandu mampir ke swalayan guna membeli keperluan rumah untuk ibu mertuanya. Dari sabun sampai sembako lainnya, Zita beli. Pandu juga tak protes, ia menyerahkan hal itu ke istrinya."Bumil nggak mau jajan?" bisik Pandu sembari memeluk leher Zita dari belakang saat istrinya itu sedang memasukan gula pasir dan teh celup ke dalam keranjang belanjaan."Enggak, kamu mau jajan?" tanya Zita balik."Nanti aja, aku mau makan di warung makan temenku, kamu mau ikut?" ajak Pandu sembari kembali mendorong keranjang belanjaan."Nggak, aku mau di rumah aja sama Ibu, kamuhave funaja sama temen-temenmu di sini." Kini Zita menggamit lengan suamin
Pandu segera menghempaskan tubuh di sofa, menyalakan TV dan menikmati gorengan yang tersaji secara mendadak, lagi-lagi, Ageng lah yang disuruh ibu membeli di rumah tetangga yang memang menjual aneka gorengan."Bu, jangan repot-repot sediain ini itu, Zita sama Mas Pandu juga nginep semalem di sini, Ibu jangan capek-capek," ujar Zita sembari menyusul ibu mertuanya di dapur."Nggak repot Zita, bukan Ibu yang kerjain kan, ada orang lain, Mbok Darni, sini Ibu kenalin." Tangan Zita digandeng ibu mertuanya menuju ke belakang rumah, tampak Mbok Darni sedang memetik daun singkong."Mbok, sini, kenalin, istrinya Pandu, Zita namanya," ucap ibu. Zita meraih tangan wanita yang lebih nyaman dipanggil Mbah, wanita itu, sudah ikut bekerja dengan keluarga Pandu sejak ibu mertua Zita baru menikah, dan M