Jakarta - Halim.
Pesawat yang mereka tumpangi merupakan anak perusahaan dari tempat Pandu bekerja, mendarat dengan sempurna dan mulus. Keduanya merasa lega, bahkan pelayanan ramah pramugari maskapai, membuat keduanya tak bosan atau lelah selama perjalanan.
"Pesawat selanjutnya satu setengah jam lagi, terlambat nggak nih, kita?" Zita khawatir.
"Nggak, tenang aja," tangan Pandu menggandeng tangan Zita, mereka berjalan menuju ke tempat bagasi barang mereka. Mulut Zita sudah komat kamit, ia khawatir akan tertinggal pesawat buntut hijau itu.
"Tenang, Zita tayang." Itulah Pandu, disaat Zita panik, ia bisa bersikap tenang, sehingga membuat Zita tak semakin menjadi-jadi kepanikannya. Dan, semua dilancarkan, setelah mengurus ini itu, akhirnya
Makan malam itu hanya dinikmati ke empat orang selain Pandu seorang, pria itu hanya terus menatap sambil menyantap makanannya. Memperhatikan Zita yang heboh bercerita dengan Bagus, terutama, Dito. Pria itu begitu menatap kagum ke arah si lawan bicara, Zita, yang tak sadar dengan tawa dan senyumannya yang Pandu simpulkan, walau secara sepihak, membuat Dito lekat menatap."Ehem..." kembali Pandu berdeham, Zita menoleh, lalu menuangkan air minum ke dalam gelas suaminya, dan tetap lanjut bercerita. Hal itu membuat Pandu jengah, ia bahkan sudah ingin segera membersihkan diri."Pandu, nggak nambah makannya?" tanya bude Sri. Pandu tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bagus yang melihat kilatan sinar api cemburu yang membara di kedua mata suami sepupunya itu, segera bertindak."Dito, temenin
Zita membuka pintu kamar, tampak Pandu melirik dengan tatapan judes, sebelum kembali membaca buku koleksi Zita."Mas Pandu, kenapa sih, diem aja dari semalem." Bisa banget Zita basa basinya. Padahal ia juga sudah tau suaminya cemburu."Cemburu, ya, marah ya, Mas, atau... Mas Pandu nggak suka kalau aku sama Dito—"Pandu menutup buku dengan kasar lalu menatap lekat istrinya yang duduk mendekat ke arahnya."Mas Pandu nggak mau usap-usap anaknya? Dari semalem nungguin, lho." Goda terus Zita, tau sendiri suamimu mana tahan di goda begitu. Pandu menatap ke tangan Zita yang menempel ke perut, lalu membuat gerakan memutar mengusap perutnya sendiri."Wah, nak, Bapakmu masih ngambek, eh.
Pandu terus tersenyum, sementara Zita berkedip-kedip masih tak percaya dengan apa yang ia pegang di tangannya saat ini. Buku nikah ia dan Pandu sudah ia miliki kini.Suara Bagus terdengar berteriak saat ia sedang membantu Zita membawa dua koper ke dalam kamar hotel itu. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang berliku dengan dua ujian wanita yang akhirnya menyerah mundur karena Zita menyerang dengan jurus maut pengintaian, kini keduanya bisa tersenyum lega.Zita, Pandu, ujian kalian itu tidak berakhir, akan ada ujian-ujian lainnya di kehidupan pernikahan, tidak melulu pebinor atau pelakor. Siapkan, kalian menghadapi?"Ta, ini koper taroh di sini aja, kan? Aku langsung pulang ya," ucap Bagus saat ia tampak kesusahan menjadi kurir angkut dadakan karena Pandu dan Zita fokus dengan bu
Zita memang menantu idaman, buktinya, saat mereka hampir sampai di kota Solo, ia meminta Pandu mampir ke swalayan guna membeli keperluan rumah untuk ibu mertuanya. Dari sabun sampai sembako lainnya, Zita beli. Pandu juga tak protes, ia menyerahkan hal itu ke istrinya."Bumil nggak mau jajan?" bisik Pandu sembari memeluk leher Zita dari belakang saat istrinya itu sedang memasukan gula pasir dan teh celup ke dalam keranjang belanjaan."Enggak, kamu mau jajan?" tanya Zita balik."Nanti aja, aku mau makan di warung makan temenku, kamu mau ikut?" ajak Pandu sembari kembali mendorong keranjang belanjaan."Nggak, aku mau di rumah aja sama Ibu, kamuhave funaja sama temen-temenmu di sini." Kini Zita menggamit lengan suamin
Pandu segera menghempaskan tubuh di sofa, menyalakan TV dan menikmati gorengan yang tersaji secara mendadak, lagi-lagi, Ageng lah yang disuruh ibu membeli di rumah tetangga yang memang menjual aneka gorengan."Bu, jangan repot-repot sediain ini itu, Zita sama Mas Pandu juga nginep semalem di sini, Ibu jangan capek-capek," ujar Zita sembari menyusul ibu mertuanya di dapur."Nggak repot Zita, bukan Ibu yang kerjain kan, ada orang lain, Mbok Darni, sini Ibu kenalin." Tangan Zita digandeng ibu mertuanya menuju ke belakang rumah, tampak Mbok Darni sedang memetik daun singkong."Mbok, sini, kenalin, istrinya Pandu, Zita namanya," ucap ibu. Zita meraih tangan wanita yang lebih nyaman dipanggil Mbah, wanita itu, sudah ikut bekerja dengan keluarga Pandu sejak ibu mertua Zita baru menikah, dan M
Zita dan Pandu berjalan masuk ke pekarangan rumah mewah di kota itu, tak lupa, Zita membawa buah tangan supaya tampak perhatian ke keluarga Intan."Jangan aneh-aneh, inget," ucap Pandu. Zita hanya tersenyum sembari mengangguk.Pandu mengetuk pintu, saat pintu terbuka tampak kakak sepupunya yang membukakan pintu."Hai, Ndu! Kapan sampai!" Sambutnya penuh semangat."Zita," ucap istri Pandu sembari menjabat tangan."Raditya," jawabnya. Zita mengangguk. Ia dan Pandu masuk ke dalam rumah itu. Lampu kristas bergantung indah di tengah ruangan, tampak orang tua Intan berjalan menghampiri pasangan itu."Selamat datang, apa kabar, Zita," suar
Dumai."Ini yang di bawa mau yang mana aja, Mas Pandu?" Zita duduk di karpet, mendongak menatap suaminya yang sibuk menelpon seseorang."Sebentar," jawab Pandu pelan sembari berjalan ke teras. Zita hanya bisa menghela napas, ia melipat seragam suaminya lalu dimasukan ke dalam koper. Mereka membawa tiga koper, dua ukuran jumbo, satu ukuran kecil untuk beberapa kebutuhan buku literatur yang akan digunakan Pandu nanti."Bawa seperlunya aja, Zita." Suara Pandu terdengar tenang, berdiri di depan pintu kamar menatap istrinya yang sibuk merapikan pakaian-pakaian.Zita mengangguk. "Siapa yang telpon?" tanyanya masih dengan tangan melipat pakaian dan memasukkannya ke koper."
Zita mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer sambil berdecak kesal melihat ke sekitaran dadanya, ada bercak ulah suaminya semalam.Pandu yang sedang merapikan celana bahan untuk dikenakan menuju ke kantor pusat, hanya melirik sepintah ke cermin, lalu tersenyum geli."Apa senyum-senyum. Kamu kebangetan banget Mas Pandu. Udah dibilang jangan dibikin tanda, malah nerus." Protes Zita."Ya gimana... nanggung," jawab Pandu seolah ia tak bersalah."Akunya aneh lihat titik-titik gini, Mas Panduuu..., kamu mau menang sendiri." Semakin manyun bibir Zita."Ya udah... nggak pa-pa Zita tayang, lagian emang kamu mau umbar dada kamu, kan enggak, hanya milikku seorang," ujar Pandu sembari me