Pandu segera menghempaskan tubuh di sofa, menyalakan TV dan menikmati gorengan yang tersaji secara mendadak, lagi-lagi, Ageng lah yang disuruh ibu membeli di rumah tetangga yang memang menjual aneka gorengan.
"Bu, jangan repot-repot sediain ini itu, Zita sama Mas Pandu juga nginep semalem di sini, Ibu jangan capek-capek," ujar Zita sembari menyusul ibu mertuanya di dapur.
"Nggak repot Zita, bukan Ibu yang kerjain kan, ada orang lain, Mbok Darni, sini Ibu kenalin." Tangan Zita digandeng ibu mertuanya menuju ke belakang rumah, tampak Mbok Darni sedang memetik daun singkong.
"Mbok, sini, kenalin, istrinya Pandu, Zita namanya," ucap ibu. Zita meraih tangan wanita yang lebih nyaman dipanggil Mbah, wanita itu, sudah ikut bekerja dengan keluarga Pandu sejak ibu mertua Zita baru menikah, dan M
Zita dan Pandu berjalan masuk ke pekarangan rumah mewah di kota itu, tak lupa, Zita membawa buah tangan supaya tampak perhatian ke keluarga Intan."Jangan aneh-aneh, inget," ucap Pandu. Zita hanya tersenyum sembari mengangguk.Pandu mengetuk pintu, saat pintu terbuka tampak kakak sepupunya yang membukakan pintu."Hai, Ndu! Kapan sampai!" Sambutnya penuh semangat."Zita," ucap istri Pandu sembari menjabat tangan."Raditya," jawabnya. Zita mengangguk. Ia dan Pandu masuk ke dalam rumah itu. Lampu kristas bergantung indah di tengah ruangan, tampak orang tua Intan berjalan menghampiri pasangan itu."Selamat datang, apa kabar, Zita," suar
Dumai."Ini yang di bawa mau yang mana aja, Mas Pandu?" Zita duduk di karpet, mendongak menatap suaminya yang sibuk menelpon seseorang."Sebentar," jawab Pandu pelan sembari berjalan ke teras. Zita hanya bisa menghela napas, ia melipat seragam suaminya lalu dimasukan ke dalam koper. Mereka membawa tiga koper, dua ukuran jumbo, satu ukuran kecil untuk beberapa kebutuhan buku literatur yang akan digunakan Pandu nanti."Bawa seperlunya aja, Zita." Suara Pandu terdengar tenang, berdiri di depan pintu kamar menatap istrinya yang sibuk merapikan pakaian-pakaian.Zita mengangguk. "Siapa yang telpon?" tanyanya masih dengan tangan melipat pakaian dan memasukkannya ke koper."
Zita mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer sambil berdecak kesal melihat ke sekitaran dadanya, ada bercak ulah suaminya semalam.Pandu yang sedang merapikan celana bahan untuk dikenakan menuju ke kantor pusat, hanya melirik sepintah ke cermin, lalu tersenyum geli."Apa senyum-senyum. Kamu kebangetan banget Mas Pandu. Udah dibilang jangan dibikin tanda, malah nerus." Protes Zita."Ya gimana... nanggung," jawab Pandu seolah ia tak bersalah."Akunya aneh lihat titik-titik gini, Mas Panduuu..., kamu mau menang sendiri." Semakin manyun bibir Zita."Ya udah... nggak pa-pa Zita tayang, lagian emang kamu mau umbar dada kamu, kan enggak, hanya milikku seorang," ujar Pandu sembari me
Sejak mereka tiba di ruman dan kota yang baru itu, Zita jarang keluar rumah jika tidak bersama Pandu, ada alasannya, pertama, tetangga kurang bersahabat, kedua, Zita mager alias malas gerak. Kegiatannya tak jauh dari makan, dan muntah, bahkan Pandu merasa bersalah melihat kondisi istrinya itu yang mengandung anak kembar tiga."Aku lagi makan jambu kristal pakai bumbu rujak, kamu udah makan?" tanya Zita balik saat suaminya mengbubungi ia di jam makan siang."Belum, baru selesai kelas, habis ini meeting bahas kerusakan di jalur pipa Utara. Hah..."terdengar helaan napas Pandu."Kenapa, Mas?" Zita menggigit buah itu lagi."Laut sama darat beda banget atmosfirnya buat aku, cocok di laut." Lanjut P
"Gue udah bilang gue nggak mau diperpanjang di sini! Masalah kebocoran minyak mentah udah selesai, kan? Kenapa gue masih harus di sini sampai dua bulan?! Jangan gila lo! Mentang-mentang selama ini gue iyain semua permintaan lo, termasuk di pusat, jangan seenaknya. Sekarang gue udah punya bini, bini gue juga lagi hamil. Gue nggak mau anak istri gue repot ikut pindah sana-sini. Gue berhak nolak." Nada bicara Pandu sunggung berapi-api, membuat Zita yang kembali memanaskan makanan hanya bisa diam. Pandu meletakkan ponselnya kasar ke atas sofa.Pandu berjalan ke arah istrinya, menatap serius lalu kemudian duduk di kursi meja makan lainnya."Mereka masa minta aku dua bulan di sini?! Aneh-aneh aja mereka. Dan, mereka ada wacana untuk kasih aku beasiswa kuliah lagi tapi ambil manajemen. Apa coba maksudnya?!"
"Maaf, Zita..." jemari tangan Pandu mengusap air mata istrinya itu. Dengan lirikan tajam, Zita menepis perlahan tangan suaminya."Ngertiin, kek, aku hamil butuh kamu, jangan bisanya kamu ambil keputusan sendiri. Harus libatin aku, dong," tutur Zita kemudian beranjak untuk mengambil tisu di atas meja rias."Nggak bisa kamu kalau main ambil keputusan, Mas Pandu, kita suami istri, kan. Apa-apa ya dibicarin dong. Jangan kesel... bisa kan?" toleh Zita sembari melempar tisu ke tempat sampah kecil sebelah meja rias."Aku nggak mau kamu ikut mikirin hal itu, Zita, aku nggak bermaksud untuk ambil keputusan sepihak," sanggahnya mencoba menjelaskan."Mas Pandu, masalahmu itu di kantor, kan? Karena merasa, baru
Pasangan suami istri itu sedang berjalan-jalan pagi mengelilingi komplek perumahan karyawan perusahaan tersebut. Dua minggu sudah mereka di sana, Zita memakai setelan training warna abu-abu terang, sementara Pandu memakai kaos lengan pendek warna biru tua dan celana pendek untuk olahraga warna hitam. Tak lupa keduanya memakai sepatu kets yang satu merek hanya beda warna, mereka baru beli semalam saat ke mal yang ada di kota itu."Kirain aku, di sini nggak ada mal, lho, Mas?" Celoteh Zita. Ia menggamit lengan kekar suaminya."Ya ada dong, masa iya kota besar gini nggak ada, mana luuu..." godanya. Zita tak marah, justru cekikikan sendiri."Mas, sama aja hawanya ya, panas-panas juga kayak di Dumai." Zita menyeka keringat di keningnya dengan handuk kecil yang ia bawa.
Kegregetan Zita mulai memuncah, karena kalau tidak di ingatkan, kerjaan Pandu bisa main game, mau sambil makan, atau saat keduanya tiduran di kamar. Ancaman Zita yang mau menjual PS5-nya, hanya dianggap angin lalu oleh suaminya itu yang di jawab Pandu 'Kamu jual, aku beli lagi' lalu dengan santai menjulurkan lidah, dan Zita hanya bisa uring-uringan sendiri."Mas..., kalau aku kursus merangkai bunga, gimana? Boleh? Aku suka tau sama bunga-bunga dan tanaman," lanjutnya."Nanti aja kalau di Dumai lagi, di sini, aku nggak tau tempat begituan," jawabnya sembari menjauhkan mangkok bubur yang sudah kosong."Kamu udah dapet kepastian bakal berapa lama di sini?" Zita menyuap satu sendok terakhir ke dalam mulut."Udah, sampai