Sejak mereka tiba di ruman dan kota yang baru itu, Zita jarang keluar rumah jika tidak bersama Pandu, ada alasannya, pertama, tetangga kurang bersahabat, kedua, Zita mager alias malas gerak. Kegiatannya tak jauh dari makan, dan muntah, bahkan Pandu merasa bersalah melihat kondisi istrinya itu yang mengandung anak kembar tiga.
"Aku lagi makan jambu kristal pakai bumbu rujak, kamu udah makan?" tanya Zita balik saat suaminya mengbubungi ia di jam makan siang.
"Belum, baru selesai kelas, habis ini meeting bahas kerusakan di jalur pipa Utara. Hah..." terdengar helaan napas Pandu.
"Kenapa, Mas?" Zita menggigit buah itu lagi.
"Laut sama darat beda banget atmosfirnya buat aku, cocok di laut." Lanjut P
"Gue udah bilang gue nggak mau diperpanjang di sini! Masalah kebocoran minyak mentah udah selesai, kan? Kenapa gue masih harus di sini sampai dua bulan?! Jangan gila lo! Mentang-mentang selama ini gue iyain semua permintaan lo, termasuk di pusat, jangan seenaknya. Sekarang gue udah punya bini, bini gue juga lagi hamil. Gue nggak mau anak istri gue repot ikut pindah sana-sini. Gue berhak nolak." Nada bicara Pandu sunggung berapi-api, membuat Zita yang kembali memanaskan makanan hanya bisa diam. Pandu meletakkan ponselnya kasar ke atas sofa.Pandu berjalan ke arah istrinya, menatap serius lalu kemudian duduk di kursi meja makan lainnya."Mereka masa minta aku dua bulan di sini?! Aneh-aneh aja mereka. Dan, mereka ada wacana untuk kasih aku beasiswa kuliah lagi tapi ambil manajemen. Apa coba maksudnya?!"
"Maaf, Zita..." jemari tangan Pandu mengusap air mata istrinya itu. Dengan lirikan tajam, Zita menepis perlahan tangan suaminya."Ngertiin, kek, aku hamil butuh kamu, jangan bisanya kamu ambil keputusan sendiri. Harus libatin aku, dong," tutur Zita kemudian beranjak untuk mengambil tisu di atas meja rias."Nggak bisa kamu kalau main ambil keputusan, Mas Pandu, kita suami istri, kan. Apa-apa ya dibicarin dong. Jangan kesel... bisa kan?" toleh Zita sembari melempar tisu ke tempat sampah kecil sebelah meja rias."Aku nggak mau kamu ikut mikirin hal itu, Zita, aku nggak bermaksud untuk ambil keputusan sepihak," sanggahnya mencoba menjelaskan."Mas Pandu, masalahmu itu di kantor, kan? Karena merasa, baru
Pasangan suami istri itu sedang berjalan-jalan pagi mengelilingi komplek perumahan karyawan perusahaan tersebut. Dua minggu sudah mereka di sana, Zita memakai setelan training warna abu-abu terang, sementara Pandu memakai kaos lengan pendek warna biru tua dan celana pendek untuk olahraga warna hitam. Tak lupa keduanya memakai sepatu kets yang satu merek hanya beda warna, mereka baru beli semalam saat ke mal yang ada di kota itu."Kirain aku, di sini nggak ada mal, lho, Mas?" Celoteh Zita. Ia menggamit lengan kekar suaminya."Ya ada dong, masa iya kota besar gini nggak ada, mana luuu..." godanya. Zita tak marah, justru cekikikan sendiri."Mas, sama aja hawanya ya, panas-panas juga kayak di Dumai." Zita menyeka keringat di keningnya dengan handuk kecil yang ia bawa.
Kegregetan Zita mulai memuncah, karena kalau tidak di ingatkan, kerjaan Pandu bisa main game, mau sambil makan, atau saat keduanya tiduran di kamar. Ancaman Zita yang mau menjual PS5-nya, hanya dianggap angin lalu oleh suaminya itu yang di jawab Pandu 'Kamu jual, aku beli lagi' lalu dengan santai menjulurkan lidah, dan Zita hanya bisa uring-uringan sendiri."Mas..., kalau aku kursus merangkai bunga, gimana? Boleh? Aku suka tau sama bunga-bunga dan tanaman," lanjutnya."Nanti aja kalau di Dumai lagi, di sini, aku nggak tau tempat begituan," jawabnya sembari menjauhkan mangkok bubur yang sudah kosong."Kamu udah dapet kepastian bakal berapa lama di sini?" Zita menyuap satu sendok terakhir ke dalam mulut."Udah, sampai
"Udah, ini aja bawaannya?" Pandu menunjuk ke koper merah milik Zita."Iya,sling bagkamu, Mas Pandu, ketinggalan repot, ngegembel kita nanti," celetuk Zita yang hanya bisa direspon Pandu dengan cengiran. Zita mengunci pintu rumah, ia juga sudah mencabut colokan kulkas, saklar AC ia matikan juga, hanya lampu teras yang masih ia nyalakan."Gas udah di cabut, Zit?" tanya Pandu sembari berjalan ke taksi yang mereka pesan."Kebetulan udah habis, kemarin tukang gas lewat, aku panggil buat ganti yang baru, tapi pasangnya nanti aja pas kita udah pulang, Mas. Tabungnya yang baru masih di mereka juga.""Oh, yaudah. Ayok sayang," ucap Pandu. Zita berjalan sembari melirik heran ke Pandu.
Suasana rumah mertua Zita di Solo sudah ramai, keluarga bersiap menyambut kedatangan keluarga Devon. Nadin cantik dengan balutan kebaya, ibu memakai set gamis dan hijab hadiah dari Zita. Sementara pasangan itu memakai baju batik pasangan, Zita memakai baju batik bermodel dres model terompet dengan panjang sedikit di bawah lutut, aksen kerutan di samping pinggang kanan dan kiri membuat petur buncitnya sedikit menonjol.Pandu berdiri dengan gagah, di sebelahnya Zita juga tampak cantik dan anggun. Terdengar suara dari sepupu Pandu jika rombongan Devon sudah datang, semua orang bersiap, termasuk Pandu yang perutnya mules mendadak. Ia mendekatkat wajahnya ke telinga Zita."Aku mules...," bisiknya."Hih! Mulai deh, nggak usah grogi, kamu ngelamar aku aja nggak mul
Keputusan sudah mutlak, Pandu dan Zita ke Jakarta. Nadin, yang sudah menikah, bahagianya luar biasa karena Kakaknya akan tinggal di Jakarta juga. Semua sibuk pindahan, yang jadi masalah, Zita tak bisa pamitan dengan Bu Rima dan teman-teman di Dumai, hal itu membuat Zita yang sudah masuk di kehamilan enam bulan lebih itu hanya bisa menangis waktu melakukan pamitan virtual.Pandu terbang sendirian ke Dumai, sementara Zita di titipkan di rumah Devon dan Nadin sambil tunggu rumah yang mereka sewa siap di tempati, Zita tak sendiri, ibu mertuanya ikut tinggal bersamanya nanti di Jakarta. Bagi Pandu, itu keputusan terbaik, mengingat Zita hamil kembar anak tiga, dan ibu juga sendirian di Solo, Pandu, pasti sibuk kuliah dan mulai memerhatikan pekerjaan kantorannya juga. Ia harus meraba-raba juga pekerjaan di balik meja seperti apa.Satu kotak tisu hampir habis karena Zita terus menangis sesenggukan waktu pamitan. Rima, Dety dan Maya juga sama."Zitaaa... sehat-sehat
"Jadi, boleh Nyonya Zita ikut senam hamil, tapi untuk melahirkan nanti memang harus operasi ya, Bu, karena kembar tiga." Saran dokter itu. Keduanya tengah memeriksa kandungan. Semua tampak normal tak ada kekurangan satu apa pun. Pandu dan Zita lega setelah melihat ketiga anaknya aktif di dalam perut Zita."Berarti boleh, kan, Dok, senam hamil? Saya suka pegel banget di pinggang, sama dekat tulang selangkangan," ujar Zita."Iya, wajar itu, kok. Ketiga bayi beratnya di total sudah tiga ribus delapan gram, masing-masing beratnya satu koma sekian kilo. Nanti, setelah lahir, langsung kita bawa ke NICU untuk pantau semuanya ya, nggak usah khawatir, itu hal wajar, kok." Lanjut dokter itu."Untuk kelaminnya, semua benar laki-laki, Dok?" tanya Pandu. Dokter mengangguk.