Keputusan sudah mutlak, Pandu dan Zita ke Jakarta. Nadin, yang sudah menikah, bahagianya luar biasa karena Kakaknya akan tinggal di Jakarta juga. Semua sibuk pindahan, yang jadi masalah, Zita tak bisa pamitan dengan Bu Rima dan teman-teman di Dumai, hal itu membuat Zita yang sudah masuk di kehamilan enam bulan lebih itu hanya bisa menangis waktu melakukan pamitan virtual.
Pandu terbang sendirian ke Dumai, sementara Zita di titipkan di rumah Devon dan Nadin sambil tunggu rumah yang mereka sewa siap di tempati, Zita tak sendiri, ibu mertuanya ikut tinggal bersamanya nanti di Jakarta. Bagi Pandu, itu keputusan terbaik, mengingat Zita hamil kembar anak tiga, dan ibu juga sendirian di Solo, Pandu, pasti sibuk kuliah dan mulai memerhatikan pekerjaan kantorannya juga. Ia harus meraba-raba juga pekerjaan di balik meja seperti apa.
Satu kotak tisu hampir habis karena Zita terus menangis sesenggukan waktu pamitan. Rima, Dety dan Maya juga sama.
"Zitaaa... sehat-sehat
"Jadi, boleh Nyonya Zita ikut senam hamil, tapi untuk melahirkan nanti memang harus operasi ya, Bu, karena kembar tiga." Saran dokter itu. Keduanya tengah memeriksa kandungan. Semua tampak normal tak ada kekurangan satu apa pun. Pandu dan Zita lega setelah melihat ketiga anaknya aktif di dalam perut Zita."Berarti boleh, kan, Dok, senam hamil? Saya suka pegel banget di pinggang, sama dekat tulang selangkangan," ujar Zita."Iya, wajar itu, kok. Ketiga bayi beratnya di total sudah tiga ribus delapan gram, masing-masing beratnya satu koma sekian kilo. Nanti, setelah lahir, langsung kita bawa ke NICU untuk pantau semuanya ya, nggak usah khawatir, itu hal wajar, kok." Lanjut dokter itu."Untuk kelaminnya, semua benar laki-laki, Dok?" tanya Pandu. Dokter mengangguk.
Pandu tak bosan memandang wajah cantik istrinya yang juga tubuhnya berbalut kebaya warna kuning terang. Perut buncitnya begitu menunjukkan sehatnya ketiga anak mereka. Dengan beskap warna navy, Pandu tampak gagah saat bersanding dengan istrinya yang ceritanya, sedang jualan es dawet, tradisi jawa saat acara tujuh bulanan.Keduanya tak lepas tertawa kepada para tamu yang hadir. Tak henti Pandu dan Zita tersenyum juga. Sesi foto keluarga pun diadakan, Zita merasa diistimewakan sekali, hanya satu kata yang bisa mewakili hari itu, bahagia.Acara bersama tamu dari tetangga dan kerabat selesai, tiba saat mereka istirahat sembari berkumpul di ruang tengah rumah. Kehebohan mulai terjadi, saat voting tentang pemilihan nama anak mereka. Satu persatu memberikan usul, tetapi Pandu tak setuju.
"Nggak mau ditinggal...." isak tangis Zita terdengar pelan karena ia menangis dengan posisi duduk sembari memeluk pinggang Pandu yang berdiri di hadapannya."Mas Pandu kenapa mendadak gini bilangnya," masih sesenggukan. Zita juga masih menenggelamkan wajahnya di perut Pandu yang tertutup kaos. Mereka sedang makan siang, sembari Pandu menceritakan keberangkatan ke Dumai esok hari. Pandu salah, ia seharusnya menceritakan sejak seminggu lalu, tetapi maju mundur karena ragu, hingga keraguannya terjawab dengan rangisan Zita.Ibu yang melihat hanya bisa diam sembari menghela napas. Pandu berjongkok perlahan, di depan Zita. Ia juga mengusap perut buncit istrinya itu."Aku seminggu di sana, karena harus masuk kuliah lagi, kan, ini aja terpaksa izin. Di sanaUrgent&
Nadin sedang duduk di kursi yang ada di kamar rawat Zita. Kondisi Zita membaik, walau dokter mendiagnksa jika istri Pandu itu anemia dan sedikit dehidrasi. Pun, Zita diminta memerhatikan kondisi karena kehamilannya sudah masuk minggu ke 33. Zita juga berat badannya melonjak naik. Saat belum hamil ia lima puluh, bahenol ya, dan kini menjadi tujuh puluh. Tubuhnya tak bisa menopang terlalu lama jika ia berdiri.Nadin dan Devon memutuskan membeli kursi roda guna memudahkan Zita juga. Ia harus banyak istirahat.Keduanya asik menikmati buah, Nadin izin tak bekerja, ia juga hanya diantar Devon sebelum suaminya itu berangkat ke studio musik lagi."Kenapa, Zit?" tanya Nadin saat melihat raut wajah Zita tampak kurang senang.
Nadin tergugu sembari memeluk Devon, sudah masuk hari ke dua dan mereka belum mendapat kabar baik. Zita masih di temani ketiga sahabatnya itu, mereka membantu Zita yang belum bisa bertemu anak-anaknya secara langsung, semua orang masih mencoba membuat Zita tegar menghadapi ujian ini."Pandu selamat, pasti, Zit. Kita semua yakin, apalagi dia bukan orang yang gampang nyerah karena apapun. Suamimu itu kuat." Bu Rima merangkul Zita, mengusap bahu wanita yang sudah menjadi ibu itu bergitu penuh perasaan. Zita diam, ia bahkan susah mengeluarkan ASI karena kondisinya yang syok."Nyonya Zita, mau ketemu triplets, ayo, kita pakai kursi roda ke NICU." Perawat membantu Zita beranjak perlahan."Kita semua boleh ikut, kan, suster? Di depan ruangan aja?" tanya Maya."Boleh, mari, kita lihat anak-anak Nyonya Zita, ganteng dan cantik." Perawat mengusap bahu Zita, memberi kekuatan untuknya juga."Zita," wajah Nadin sembab saat bertemu di depan pintu kamar, Zita men
Pintu kamar rawat terbuka, Zita melihat ranjang itu di dorong masuk. Ia memiringkan tubuhnya ke arah kiri, melihat pasien yang masuk ke kamarnya itu. Mata pasien itu terpejam, Zita menatap lekat. Perawat meninggalkan pasien itu yang tampak pulas tertidur."Sstt ... cowok, pura-pura tidur, ya?" Goda Zita yang beranjak perlahan dari tempatnya. Pasien itu mengulum senyum, tak tahan dengan godaan si cantik di sebelahnya."Hai... Papa Pandu, gimana hari ini?" Sapa Zita sembari menciumi gemas wajah suaminya itu."Mau pulang. Nggak betah di sini," jawab Pandu sembari membuka mata."Sayanggg...," panggil Pandu manja."Idih... maap, Bos, istrinya lagi nggak bisa di apa-apain, ya, tunggu empat puluh hari." Zita senyum-senyum."Amsyong..." celetuk Pandu yang baru ingat jika Zitanya sudah melahirkan."Mas, mau makan nggak? Mbak Nadin bawain kue nih, ada tiramisu, aku suapin, ya." Zita menuju ke sudut meja yang seperti meja makan, ia memotong kue,
Pandu dan Zita tak bisa bebas bergerak untuk sementara waktu, karena banyak media yang menyorot suami Zita itu untuk menceritakan pengalaman terombang ambil di lautan lepas hampir 24 jam. Bahkan, saat mereka tiba di rumah, ada beberapa wartawan media cetak yang mau mewawancarinya secara ekslusif. Nadin menggendong Datra, ibu menggendong Duta, bude Sri menggendong Diva, mereka masuk ke dalam rumah lebih dulu. Karena Zita menemani Pandu wawancara di teras depan rumah.Itu merupakan bagian dari memperbaiki nama perusahaan karena terpaan issue yang kurang nyaman di dengar. Tak sampai dua jam, wawacara selesai, lalu muncul dua mobil mewah terparkir di depan rumah Pandu. Suami istri itu menatap lekat, lalu Pandu berbisik."Komisaris utama, Zit, sama bos aku di kantor pusat," ucap Pandu. Tak hanya itu, satu mobil lain diisi dengan para ajudan, yang membawakan buah-buahan, makanan, sembako, pampers bayi dan, bingkisan berupa parsel lainnya dari rekan-rekan sesama pekerja kilan
Pandu sudah semakin sayu, ia mengantuk, tapi senyumnya masih merekah."Zita...,""Apa?" lirik Zita sebelum kembali berkutat dengan kuku jari tangan suaminya."Tunggu aku sembuh dan bisa beraktifitas normal, ya, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau ke mana?" tanya Pandu dengan suara begitu pelan. Kedua matanya sudah begitu berat untuk terbuka."Ke hatimuuu..." jawab Zita enteng. Pandu tertawa geli. Paling susah ngajak Zita berbicara serius. Zita mendekat, mengecupi wajah suaminya itu dengan gemas."Ke mana aja, aku ikut selama bersama kamu dan anak-anak. Dan... jangan lupa, kita harus punya rencana untuk ganti mobil. Kalau pergi pasti bawaan kita kayak pindahan. Apa... beli mobil travel ya..." Zita tersenyum. Pandu memejamkan mata tapi masih bisa menyahut."Sak karepmu, Zita ...." lalu Zita melanjutkan mengurusi jemari Pandu dengan mengoleskan lotion, karena kulit suaminya mendadak kering. Pandu sudah tertidur pulas, ia melirik ke anak-ana