"Nggak mau ditinggal...." isak tangis Zita terdengar pelan karena ia menangis dengan posisi duduk sembari memeluk pinggang Pandu yang berdiri di hadapannya.
"Mas Pandu kenapa mendadak gini bilangnya," masih sesenggukan. Zita juga masih menenggelamkan wajahnya di perut Pandu yang tertutup kaos. Mereka sedang makan siang, sembari Pandu menceritakan keberangkatan ke Dumai esok hari. Pandu salah, ia seharusnya menceritakan sejak seminggu lalu, tetapi maju mundur karena ragu, hingga keraguannya terjawab dengan rangisan Zita.
Ibu yang melihat hanya bisa diam sembari menghela napas. Pandu berjongkok perlahan, di depan Zita. Ia juga mengusap perut buncit istrinya itu.
"Aku seminggu di sana, karena harus masuk kuliah lagi, kan, ini aja terpaksa izin. Di sana Urgent&
Nadin sedang duduk di kursi yang ada di kamar rawat Zita. Kondisi Zita membaik, walau dokter mendiagnksa jika istri Pandu itu anemia dan sedikit dehidrasi. Pun, Zita diminta memerhatikan kondisi karena kehamilannya sudah masuk minggu ke 33. Zita juga berat badannya melonjak naik. Saat belum hamil ia lima puluh, bahenol ya, dan kini menjadi tujuh puluh. Tubuhnya tak bisa menopang terlalu lama jika ia berdiri.Nadin dan Devon memutuskan membeli kursi roda guna memudahkan Zita juga. Ia harus banyak istirahat.Keduanya asik menikmati buah, Nadin izin tak bekerja, ia juga hanya diantar Devon sebelum suaminya itu berangkat ke studio musik lagi."Kenapa, Zit?" tanya Nadin saat melihat raut wajah Zita tampak kurang senang.
Nadin tergugu sembari memeluk Devon, sudah masuk hari ke dua dan mereka belum mendapat kabar baik. Zita masih di temani ketiga sahabatnya itu, mereka membantu Zita yang belum bisa bertemu anak-anaknya secara langsung, semua orang masih mencoba membuat Zita tegar menghadapi ujian ini."Pandu selamat, pasti, Zit. Kita semua yakin, apalagi dia bukan orang yang gampang nyerah karena apapun. Suamimu itu kuat." Bu Rima merangkul Zita, mengusap bahu wanita yang sudah menjadi ibu itu bergitu penuh perasaan. Zita diam, ia bahkan susah mengeluarkan ASI karena kondisinya yang syok."Nyonya Zita, mau ketemu triplets, ayo, kita pakai kursi roda ke NICU." Perawat membantu Zita beranjak perlahan."Kita semua boleh ikut, kan, suster? Di depan ruangan aja?" tanya Maya."Boleh, mari, kita lihat anak-anak Nyonya Zita, ganteng dan cantik." Perawat mengusap bahu Zita, memberi kekuatan untuknya juga."Zita," wajah Nadin sembab saat bertemu di depan pintu kamar, Zita men
Pintu kamar rawat terbuka, Zita melihat ranjang itu di dorong masuk. Ia memiringkan tubuhnya ke arah kiri, melihat pasien yang masuk ke kamarnya itu. Mata pasien itu terpejam, Zita menatap lekat. Perawat meninggalkan pasien itu yang tampak pulas tertidur."Sstt ... cowok, pura-pura tidur, ya?" Goda Zita yang beranjak perlahan dari tempatnya. Pasien itu mengulum senyum, tak tahan dengan godaan si cantik di sebelahnya."Hai... Papa Pandu, gimana hari ini?" Sapa Zita sembari menciumi gemas wajah suaminya itu."Mau pulang. Nggak betah di sini," jawab Pandu sembari membuka mata."Sayanggg...," panggil Pandu manja."Idih... maap, Bos, istrinya lagi nggak bisa di apa-apain, ya, tunggu empat puluh hari." Zita senyum-senyum."Amsyong..." celetuk Pandu yang baru ingat jika Zitanya sudah melahirkan."Mas, mau makan nggak? Mbak Nadin bawain kue nih, ada tiramisu, aku suapin, ya." Zita menuju ke sudut meja yang seperti meja makan, ia memotong kue,
Pandu dan Zita tak bisa bebas bergerak untuk sementara waktu, karena banyak media yang menyorot suami Zita itu untuk menceritakan pengalaman terombang ambil di lautan lepas hampir 24 jam. Bahkan, saat mereka tiba di rumah, ada beberapa wartawan media cetak yang mau mewawancarinya secara ekslusif. Nadin menggendong Datra, ibu menggendong Duta, bude Sri menggendong Diva, mereka masuk ke dalam rumah lebih dulu. Karena Zita menemani Pandu wawancara di teras depan rumah.Itu merupakan bagian dari memperbaiki nama perusahaan karena terpaan issue yang kurang nyaman di dengar. Tak sampai dua jam, wawacara selesai, lalu muncul dua mobil mewah terparkir di depan rumah Pandu. Suami istri itu menatap lekat, lalu Pandu berbisik."Komisaris utama, Zit, sama bos aku di kantor pusat," ucap Pandu. Tak hanya itu, satu mobil lain diisi dengan para ajudan, yang membawakan buah-buahan, makanan, sembako, pampers bayi dan, bingkisan berupa parsel lainnya dari rekan-rekan sesama pekerja kilan
Pandu sudah semakin sayu, ia mengantuk, tapi senyumnya masih merekah."Zita...,""Apa?" lirik Zita sebelum kembali berkutat dengan kuku jari tangan suaminya."Tunggu aku sembuh dan bisa beraktifitas normal, ya, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau ke mana?" tanya Pandu dengan suara begitu pelan. Kedua matanya sudah begitu berat untuk terbuka."Ke hatimuuu..." jawab Zita enteng. Pandu tertawa geli. Paling susah ngajak Zita berbicara serius. Zita mendekat, mengecupi wajah suaminya itu dengan gemas."Ke mana aja, aku ikut selama bersama kamu dan anak-anak. Dan... jangan lupa, kita harus punya rencana untuk ganti mobil. Kalau pergi pasti bawaan kita kayak pindahan. Apa... beli mobil travel ya..." Zita tersenyum. Pandu memejamkan mata tapi masih bisa menyahut."Sak karepmu, Zita ...." lalu Zita melanjutkan mengurusi jemari Pandu dengan mengoleskan lotion, karena kulit suaminya mendadak kering. Pandu sudah tertidur pulas, ia melirik ke anak-ana
Satu bulan berlalu, Zita baru saja pulang menemani Pandu kontrol jahitan dan kondisi tulang yang patah. Semua mulai membaik, walau Pandu masih harus memakai penyangga di lengan dan bahunya, tak menyurutkan suaminya itu untuk mengemudikan sendiri mobilnya.Zita sudah melarang, dasar Pandu merasa kesatria, tetap saja lanjut. Pintu rumah dibuka Zita, ia berjalan lebih dulu, lalu mendapati ketiga anaknya duduk di baby bouncer, mereka sedang di ruang tengah bersama ibu dan bude Sri."Eh... tuh, Mama sama Papa pulang...!" pekik bude. Zita berjalan mendekat, menyapa dengan heboh, ketiga anaknya hanya tersenyum begitu manis. Lalu, saat mendengar Pandu bersuara. Ketiganya serius mencari suara papanya itu yang sedang meletakan kunci mobil lalu masuk ke dalam kamar."Ndu! Jangan lama-lama ganti bajunya, ini, lho, anak-anakmu celingukan nyari kamu," ucap ibu.Pandu dan Zita di dalam kamar hanya bisa cekikikan. "Udah sana, duluan, aku mandi dulu, mau nyusuin mereka la
Zita melirik ke suaminya dengan kedua tangan bersedekap. Pandu sedang duduk membaca buku materi kuliah. Lalu tubuh Zita ia sandarkan ke ambang pintu."Mas Pandu," panggilnya manja."Hm," jawab Pandu tanpa menoleh."Menarik banget buku itu emangnya?" tanya Zita lagi."He-em," jawab Pandu lalu membalik lembar berikutnya dan kembali membaca."Udah jam sebelas, ayo tidurrr..., kamu juga butuh istirahat, kan?" rengek Zita."Dikit lagi, Zita... aku ada kuis pengantar bisnis buat hari senin besok," sanggah Pandu."Ya Allah, Mas, kamu kerajinan belajarnya hari ini. Sekarang aja masih hari sabtu, besok masih Minggu. Mas Pandu mau jadi saingan dosen sendiri? Karena lebih pinter efek rajin belajar?" Zita kesal sendiri."Yak, betul, Mama Zita," jawab Pandu santai."Hadehhh..., Mas... Mas, wes lah, terserah. Aku mau tidur, anak-anak lagi pules-pulesnya jam segini."Dan hingga Zita merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Pandu mas
"Sudah siap semua, Pak Pandu," ujar salah satu teknisi internet yang Pandu panggil untuk mengatur ulang jaringan. Ia juga meminta tolong dua orang teknisi membantu merapikan salah satu sudut ruangan rumah itu, tepatnya di pojok dekat tangga, yang ia jadikan tempat belajar selama ia tak kuliah di kampus secara langsung karena baru pindah untuk kelas karyawan yang hari sabtu di semester depan.Untuk pekerjaan Pandu, ia tak di keluarkan, keputusan dari perusahaan, jika Pandu akan bekerja di kantor pusat yang ada di Jakarta divisi sumber daya manusia, sambil menyelesaikan kuliahnya dan nanti akan dibicarakan lagi penempatan divisi tetapnya."Makasih, ya, ini, buat beli makan siang," ucap Pandu seraya memberikan uang tambahan sebagai tips karena sudah membantu menggotong meja dan kursi.Zita keluar dari dalam kamar, ia tampak sudah mandi dan memakai baju motif salur warna merah muda dan putih sekulut sambil menggendong Diva yang sudah mandi sore juga. Zita meletakkan