Setelah makan malam selesai. Kimberly menatap pada Yuksel yang tetap berdiam diri di dalam kamarnya. Bahkan menyuruh Emma untuk menyiapkan air mandi."Tunggu, kenapa kau mandi di sini? Kau kan punya kamar mandi sendiri," singgungnya.Yuksel tersenyum. "Kamar istriku berarti kamar milikku juga.""Ya aku tahu soal itu."Kimberly yang mengikuti membuat Yuksel menoleh. "Kenapa? Ingin mandi bersamaku, Sayang?"Mendengarnya Kimberly langsung memukul. "Jangan berharap."Yuksel kembali tersenyum, kemudian mulai masuk ke dalam kamar mandi. Suaminya mandi seorang diri, sementara Emma langsung meninggalkan kamar. Hanya menyisakan dirinya saja dengan Yuksel.Tanpa rasa malu, Kimberly membuka pintu dan memasuki kamar mandi. Yuksel sendiri berendam di sana tanpa malu juga. Justru tersenyum melihatnya yang duduk di pinggiran kolam."Apa kau berniat tidur di kamarku lagi?"Yuksel mendekatinya. "Benar."Mata Kimberly menatap lekat air di dalam kolam yang tidak dicampur sabun sama sekali. Membuat selur
Kimberly dan Yuksel pun duduk di kereta yang sama. Mereka jelas menuju ke rumah yang dihuni oleh kedua orang tuanya. Sementara Emma dan Aiden satu kereta.Kimberly yang merasa penasaran dengan apa yang mereka bicarakan pun, langsung membuka jendela. Yuksel yang melihat kelakuannya justru menggenggam tangannya. Kemudian memainkan jari-jemarinya."Yuksel, lepaskan," pintanya.Yuksel justru mencium tangannya. "Bisakah jangan pedulikan mereka? Dan hanya pedulikan aku seorang."Yuksel merebahkan kepala pada pundaknya. Membuat Kimberly terpaksa menutup jendela dan mulai menatap suaminya yang mendadak bersikap manja. Kimberly pun membalas genggaman dari Yuksel."Baiklah, aku hanya akan peduli pada suamiku seorang."Bibir Yuksel mengulas senyum. "Ini baru benar."Kimberly ikut tersenyum. "Iya."Melakukan perjalanan sekitar 15 menit dari kediaman. Mereka telah tiba di kediaman kedua orang tuanya. Yuksel turun duluan dan mengulurkan tangan untuk membantunya. "Hati-hati," ujar Yuksel setelah ia
Ketika matahari mengintip di ibukota. Kimberly di atas ranjangnya tersenyum lebar, karena pagi hari akan melihat wajah ibunya setelah beberapa tahun lamanya. Namun, senyum Kimberly luntur permanen ketika menoleh dan mendapati Yuksel masih terlelap."Kenapa aku kembali ke sini?" gumamnya segera duduk.Namun, matanya mulai menatap pada suaminya lagi. Pasti pelaku yang membawanya kembali ke kamar adalah Yuksel. Seketika Kimberly menjadi marah."Yuksel!"Suara Kimberly yang menggelegar di pagi hari. Telah membangunkan Yuksel dari tidur, bahkan mata melotot kaget dan menoleh ke sebelah. Yuksel terlihat mengeluarkan pisau kecil di balik punggung."Ada apa Sayang?"Kimberly menatap sengit. "Kau mengeluarkan pisau padaku?"Yuksel menatap sekeliling, yakin tak ada bahaya pun mulai memasukkan pisau tersebut lagi. "Tidak Sayang. Aku kira ada pencuri atau pembunuh."Lantas Yuksel menatap wajahnya. "Kenapa teriak begitu?""Kau tanya kenapa? Justru aku yang harusnya bertanya padamu," ujarnya dengan
"Kuno?" ulang Margaret marah.Axel melirik sang istri yang benar-benar terlihat marah. Namun, pria itu tak mau ambil pusing. Lebih memilih menaiki kereta lebih dulu. Mata Margaret sedikit memerah karena amarah sekaligus menerima penghinaan langsung dari suami."Aku akan lihat, bagaimana orang-orang akan memandang Putri mahkota," gumam Margaret dengan tangan mengepal erat.***Setibanya di kediaman. Kimberly tersenyum melihat Emma yang begitu perhatian pada Aiden. Duduk beriringan hanya untuk mengobati sudut bibir Aiden yang terluka karena bekas tamparan.Mata Aiden menatap canggung, kemudian menahan tangan Emma. "Anu ... ini hanya luka kecil, akan sembuh dengan sendirinya.""Memang luka kecil. Tapi, luka ini mempengaruhi wajah Tuan beberapa hari ke depan.""Aku tidak masalah. Aku hanya seorang pengawal, penampilan tidak penting bagiku."Kimberly pun mencolek Yuksel yang begitu sibuk membaca buku. Kemudian Yuksel menoleh padanya. Menatap pada Emma yang terlihat murung."Bagaimana penam
"Siapa yang berani menyebarkan hal konyol itu?" Pangeran kelima terlihat marah."Tidak tahu Pangeran," sahut Emma sembari menggeleng.Yuksel melirik pada Madam Ane yang langsung mengambilkan gelas berisi air. Emma tanpa dagu menerima dan mulai mengisi tenggorokan dengan segelas air. Yuksel terdiam, namun wajah menunjukkan seolah dia tahu siapa pelakunya.Hingga mata Pangeran kelima melirik pada Yuksel. "Menurutmu siapa?""Memangnya siapa lagi yang menginginkan kursi milikku, Ayah." Yuksel meraih cangkir teh dan mulai menyesap.Tangan Pangeran kelima mengepal marah. "Axel si brengsek.""Tapi dia bukan orang yang gegabah seperti ini," ujar Yuksel."Bukan gegabah apa? Buktinya dia bisa menyuap untuk menerbitkan artikel ini."Yuksel menatap sang ayah. "Kemarin, dalam perjalanan pulang. Kami bertemu dengan Axel bersama istri pertamanya, Margaret.""Kau mencurigai istrinya?""Benar," Yuksel membenarkan, "karena Kimberly sempat menyinggung wanita itu hingga marah besar.""Kenapa Kimberly mel
Terlihat Yuksel dan Kimberly berjalan beriringan dengan tangan saling menggandeng. Mereka menuju kereta, Yuksel membantunya menaiki lebih dulu kemudian menyusul dan duduk di sebelahnya. Kimberly yang nampak gugup membuat Yuksel menggenggam tangannya."Tidak perlu gugup Sayang. Kakekku orang yang baik."Kimberly menghela napas. "Aku tahu kakekmu tidak akan menggigit orang. Tapi, tetap saja aku gugup, karena aku manusia."Yuksel tersenyum. "Baiklah kalau begitu tetaplah jadi gugup."Kimberly menatap suaminya lama. Kemudian membuka jendela, mereka saat ini melewati pusat ibukota yang dilalui oleh banyak orang. Mereka yang berjalan atau sedang bertransaksi langsung terhenti dari kegiatan dan nampak antusias pada kereta mereka yang sangat mewah."Bukankah itu kereta Putra mahkota?"Hanya karena perkataan satu orang. Semuanya menjadi penasaran dan mulai berteriak memberi tahu. Hingga rakyat yang dilewati memberi hormat padanya, membuat Kimberly tertegun sekaligus terharu."Lambaikan tanganm
"Aku tidak mau datang," tolak Yuksel mentah-mentah."Benar, untuk apa datang? Mereka yang sudah mengusir masih punya muka untuk mengundang," gerutu Raja.Namun, penasihat Raja yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan bersama Aiden dan pelayan lain nampak memikirkan sesuatu. Hingga sang penasihat itu ingin angkat bicara. Usia pria itu sekiranya 7 tahun lebih muda dari Pangeran kelima."Yang mulia, maaf jika saya lancang. Tapi, sekarang Putra dan Putri mahkota baru saja menjabat. Jika tidak menghadiri pesta itu, takutnya dipandang buruk.""Siapa yang memandang cucuku dengan buruk? Aku akan memberinya racun," gerutu Raja.Kimberly tersenyum miris. Ia memang telah menyadari kalau ibukota Kairi adalah tempat semua racun berasal. Tapi, asal memberi racun hanya karena alasan kesal atau benci itu hal yang buruk."Yang mulia. Putra dan Putri mahkota harus diakui oleh kerajaan kota Lefan.""Mereka sudah mengakui karena ketakutan dengan racun yang dimiliki Yuksel," celetuk Raja terlihat benar-be
Yuksel berjalan cepat keluar ruang kerja dan tentu dia punya tujuan. Yakni Kimberly yang masih belum bangun. Meski di tengah jalan sempat berpapasan dengan Madam Ane."Putra mahkota, catatannya ....""Berikan pada Aiden," ujar Yuksel mulai berlari meninggalkan sang pelayan.Madam Ane menatap kepergian Yuksel yang sudah ditelan oleh pertigaan lorong. Begitu melihat Aiden yang melintas. Madam Ane yang semula ingin pergi pun langsung mematung."Apa ini?" tanya Aiden karena Madam Ane menyerahkan sebuah catatan."Putra mahkota menyuruh Tuan Aiden untuk memeriksa para pelayan."Aiden menghela napas. "Baiklah, pada akhirnya tetap saja saya yang harus melakukannya.""Tentu saja, karena Putra mahkota saat ini sudah seharusnya peduli pada istrinya."Sementara Yuksel membuka pintu kamar Kimberly dengan perlahan. Padahal selama perjalanan terus berlari dengan menggebu. Yuksel melihat Emma yang duduk sembari memegang tangan Kimberly. "Putra mahkota," sebut Emma langsung menoleh.Tubuh Emma mulai