"Kuno?" ulang Margaret marah.Axel melirik sang istri yang benar-benar terlihat marah. Namun, pria itu tak mau ambil pusing. Lebih memilih menaiki kereta lebih dulu. Mata Margaret sedikit memerah karena amarah sekaligus menerima penghinaan langsung dari suami."Aku akan lihat, bagaimana orang-orang akan memandang Putri mahkota," gumam Margaret dengan tangan mengepal erat.***Setibanya di kediaman. Kimberly tersenyum melihat Emma yang begitu perhatian pada Aiden. Duduk beriringan hanya untuk mengobati sudut bibir Aiden yang terluka karena bekas tamparan.Mata Aiden menatap canggung, kemudian menahan tangan Emma. "Anu ... ini hanya luka kecil, akan sembuh dengan sendirinya.""Memang luka kecil. Tapi, luka ini mempengaruhi wajah Tuan beberapa hari ke depan.""Aku tidak masalah. Aku hanya seorang pengawal, penampilan tidak penting bagiku."Kimberly pun mencolek Yuksel yang begitu sibuk membaca buku. Kemudian Yuksel menoleh padanya. Menatap pada Emma yang terlihat murung."Bagaimana penam
"Siapa yang berani menyebarkan hal konyol itu?" Pangeran kelima terlihat marah."Tidak tahu Pangeran," sahut Emma sembari menggeleng.Yuksel melirik pada Madam Ane yang langsung mengambilkan gelas berisi air. Emma tanpa dagu menerima dan mulai mengisi tenggorokan dengan segelas air. Yuksel terdiam, namun wajah menunjukkan seolah dia tahu siapa pelakunya.Hingga mata Pangeran kelima melirik pada Yuksel. "Menurutmu siapa?""Memangnya siapa lagi yang menginginkan kursi milikku, Ayah." Yuksel meraih cangkir teh dan mulai menyesap.Tangan Pangeran kelima mengepal marah. "Axel si brengsek.""Tapi dia bukan orang yang gegabah seperti ini," ujar Yuksel."Bukan gegabah apa? Buktinya dia bisa menyuap untuk menerbitkan artikel ini."Yuksel menatap sang ayah. "Kemarin, dalam perjalanan pulang. Kami bertemu dengan Axel bersama istri pertamanya, Margaret.""Kau mencurigai istrinya?""Benar," Yuksel membenarkan, "karena Kimberly sempat menyinggung wanita itu hingga marah besar.""Kenapa Kimberly mel
Terlihat Yuksel dan Kimberly berjalan beriringan dengan tangan saling menggandeng. Mereka menuju kereta, Yuksel membantunya menaiki lebih dulu kemudian menyusul dan duduk di sebelahnya. Kimberly yang nampak gugup membuat Yuksel menggenggam tangannya."Tidak perlu gugup Sayang. Kakekku orang yang baik."Kimberly menghela napas. "Aku tahu kakekmu tidak akan menggigit orang. Tapi, tetap saja aku gugup, karena aku manusia."Yuksel tersenyum. "Baiklah kalau begitu tetaplah jadi gugup."Kimberly menatap suaminya lama. Kemudian membuka jendela, mereka saat ini melewati pusat ibukota yang dilalui oleh banyak orang. Mereka yang berjalan atau sedang bertransaksi langsung terhenti dari kegiatan dan nampak antusias pada kereta mereka yang sangat mewah."Bukankah itu kereta Putra mahkota?"Hanya karena perkataan satu orang. Semuanya menjadi penasaran dan mulai berteriak memberi tahu. Hingga rakyat yang dilewati memberi hormat padanya, membuat Kimberly tertegun sekaligus terharu."Lambaikan tanganm
"Aku tidak mau datang," tolak Yuksel mentah-mentah."Benar, untuk apa datang? Mereka yang sudah mengusir masih punya muka untuk mengundang," gerutu Raja.Namun, penasihat Raja yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan bersama Aiden dan pelayan lain nampak memikirkan sesuatu. Hingga sang penasihat itu ingin angkat bicara. Usia pria itu sekiranya 7 tahun lebih muda dari Pangeran kelima."Yang mulia, maaf jika saya lancang. Tapi, sekarang Putra dan Putri mahkota baru saja menjabat. Jika tidak menghadiri pesta itu, takutnya dipandang buruk.""Siapa yang memandang cucuku dengan buruk? Aku akan memberinya racun," gerutu Raja.Kimberly tersenyum miris. Ia memang telah menyadari kalau ibukota Kairi adalah tempat semua racun berasal. Tapi, asal memberi racun hanya karena alasan kesal atau benci itu hal yang buruk."Yang mulia. Putra dan Putri mahkota harus diakui oleh kerajaan kota Lefan.""Mereka sudah mengakui karena ketakutan dengan racun yang dimiliki Yuksel," celetuk Raja terlihat benar-be
Yuksel berjalan cepat keluar ruang kerja dan tentu dia punya tujuan. Yakni Kimberly yang masih belum bangun. Meski di tengah jalan sempat berpapasan dengan Madam Ane."Putra mahkota, catatannya ....""Berikan pada Aiden," ujar Yuksel mulai berlari meninggalkan sang pelayan.Madam Ane menatap kepergian Yuksel yang sudah ditelan oleh pertigaan lorong. Begitu melihat Aiden yang melintas. Madam Ane yang semula ingin pergi pun langsung mematung."Apa ini?" tanya Aiden karena Madam Ane menyerahkan sebuah catatan."Putra mahkota menyuruh Tuan Aiden untuk memeriksa para pelayan."Aiden menghela napas. "Baiklah, pada akhirnya tetap saja saya yang harus melakukannya.""Tentu saja, karena Putra mahkota saat ini sudah seharusnya peduli pada istrinya."Sementara Yuksel membuka pintu kamar Kimberly dengan perlahan. Padahal selama perjalanan terus berlari dengan menggebu. Yuksel melihat Emma yang duduk sembari memegang tangan Kimberly. "Putra mahkota," sebut Emma langsung menoleh.Tubuh Emma mulai
"Siapa yang kau duga dalangnya?" tanya Kimberly."Axel," sahut Yuksel pelan.Ketika malam semakin tiba. Yuksel meninggalkan Kimberly yang lelap dalam tidur. Dia memasuki sebuah ruangan kosong yang gelap dan lembab. Dapat Yuksel lihat. Pelayan bernama Alice itu merangkak di lantai, mendekati Yuksel yang tetap membiarkan pintu tetap terbuka. Sementara Aiden mengarahkan cambuk dan mengenai wanita itu yang berteriak kesakitan."Maafkan saya Putra mahkota!" Biasanya Yuksel akan bertindak sangat kejam jika ada yang mengkhianati. Terlebih korbannya adalah Kimberly. Istri yang sangat dicintai. Tapi, kali tersebut Yuksel hanya duduk santai.Bahkan saat pelayan itu yang melihat peluang untuk kabur dari pintu yang tetap terbuka. Bergegas wanita itu dari mulai merangkak hingga berjalan tertatih. Tapi, Yuksel masih diam di kursi dengan mata memandang benci pada punggung yang mulai pergi itu."Kenapa menyuruh saya untuk membiarkannya pergi?" tanya Aiden penasaran.Bahkan Yuksel meminta untuk menc
Akhirnya Yuksel dan Aiden melewati malam dengan mengubur pelayan. Kemudian memberikan kompensasi atas kematian pelayan tersebut. Sekitar pukul 3 dini hari, Yuksel baru kembali pulang.Melihat Kimberly yang sudah tertidur, membuat Yuksel tak ingin mengganggu sang istri. Apalagi Yuksel yang memang sudah mengantuk. Memutuskan untuk tidur di sebelah Kimberly, meski masih sempatnya merengkuh tubuhnya dalam tidur."Selamat tidur istriku," bisik Yuksel.***Pagi ini setelah sarapan. Mereka bersiap-siap pergi ke kota Lefan. Bukan untuk kembali tinggal, melainkan datang ke pesta yang diadakan oleh kediaman Putra mahkota kota Lefan.Perjalanan yang jauh itu, membuat Yuksel membawa puluhan pelayan dan penjaga. Namun, rupanya sang kakek mengirim prajurit dengan kemampuan sihir untuk menjaga. Jadi dipastikan tidak ada yang akan berani mengganggu."Aku mengantuk," keluhnya pada Yuksel yang satu kereta dengannya.Yuksel tersenyum. "Tidurlah Sayang."Dengan manja, Kimberly menyenderkan kepala pada pu
Kimberly menatap kaget ke arah Yuksel. Apa maksudnya dengan hasil dari semak-semak. Namun, mata Yuksel yang menyuruhnya untuk menatap pada Putri mahkota membuatnya sedikit mengerti.Hingga berbisik, "siapa pria yang bermain dengan Putri mahkota di semak-semak?""Entahlah," sahut Yuksel ikut berbisik.Ketika semua orang mulai mengangkat kepala mereka. Kemudian mengucap selamat pada Putri mahkota. Saling tersenyum satu sama lain, hingga mata mulai bertatapan dengan Yuksel serta Kimberly.Putra dan Putri mahkota itu berjalan mendekat ke arah mereka berdua. Kimberly terpaksa harus berdiri dengan sedikit dibantu oleh Yuksel. Bibirnya terpaksa mengulas senyum karena mereka pun tersenyum."Selamat datang di kota Lefan, Putra dan Putri mahkota." Putra mahkota kota Lefan tersenyum lebar, apalagi ketika mata melirik ke arah Kimberly."Terima kasih," sahut Yuksel singkat.Mata Putra mahkota masih tertuju pada Kimberly. "Seperti rumor, Putri mahkota ibukota Kairi memang sangatlah cantik."Mendeng