Amel tertegun sesaat. Bukan tidak mungkin mereka berdua tidak melakukan hal yang iya-iya. Mulutnya hanya bisa terkekeh, pelan sekali. Entah menertawakan dirinya karena merasa hati telah jatuh pada Alvin atau malah mentertawakan sikap kekanak-kanakkan Wati."Kamu percaya diri sekali ya mempertontonkan perbuatan zinamu? aibmu yang harusnya kamu tutupi. Saranku, segera taubat, hubungan yang kalian bangun bukan saja tidak sehat, tapi melanggar syariat. Jika benar, ini adalah foto suamiku, maka aku akan dengan mudah menggugat cerai nanti," jelas Amel sembari menatap Alvin dan Wati bergantian."Aku sangat-sangat, berterimakasih karena kamu harus repot-repot membuat bukti ini. Sehingga, aku nggak harus capek mencari alasan untuk menggugat duluan," lanjut Amel."Mel, itu bukan aku. Aku nggak mungkin ngelakuin itu," sergah Alvin, ia merebut ponsel Wati dari tangan Amel."Sangat mungkin. Sudahlah, nggak usah ngelak. Sekarang, hubungan kalian udah di ketahui banyak orang. Dan kamu, em maaf maksu
Tidak seperti wanita bercerai pada umumnya. Amel tidak trauma, tidak sedih, tidak pula memaki jika semua laki-laki sama saja, habis manis sepah dibuang. Ia hanya berfikir, bahwa semua adalah kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Salah karena menyetujui untuk dinikahi hanya sementara, walau dengan alasan untuk membahagiakan Bapak, tapi nyatanya Bapaknya tidak bahagia.Keluarga kecil itu tengah berkumpul di ruang keluarga. Bapaknya Amel -Haris- sibuk mengikir kayu yang sudah berbentuk asbak. Adiknya Amel -Rafa- menatap layar televisi sambil nyemil. Mereka hidup normal seperti biasa, tidak merasakan kehilangan atau apapun. Tidak pula ingin membahasnya."Kapan kamu skripsian?" tanya Haris kepada Amel. Yang ditanya sedang fokus membalas pelanggan hijabnya, hanya menoleh sesaat."Semester ini aku maju proposal dulu, kalau bisa selesai, bisa langsung garap," jelas Amel. Haris manggut-manggut."Dia nggak ada ganggu kamu 'kan?" tanya Haris. Yang pria itu maksud adalah mantan suami putrinya."Alvi
Amel hanya membuang nafas, ditatap seperti itu ia tak suka, namun karena ia terlanjut menawarkan bantuan, tentu saja tidak bisa menarik lagi perkataannya."Amelia?" tanya pria itu dengan raut wajah yang mendadak ramah. Amel sedikit mengaga, ia kira pria dihadapannya bakal marah-marah, tersingggung akibat Amel menawarkan bantuan. Sedari awal, ia sengaja menggunakan bahasa sopan, karena penurut apa yang ia pelajari, seseorang dengan disabilitas cenderung sensitif, tidak suka dikasihani."Iya nama saya Amelia, bagaimana anda tau?" tanya Amel sopan, setelah menangkupkan tangannya. Pria dengan kursi roda itu tersenyum simpul."Kamu pelanggan setia perusahaan konveksi kami, mana mungkin aku nggak tau," ucap pria itu, membuat Amel menebak jika mungkin pria dihadapannya ini Bos?"Anda pemilik perusahaan ini?" tebak Amel."Nama saya Haikal Pratama, saya dan teman-teman saya mengelola perusahaan ini," terang pria berkursi roda yang ternyata bernama Haikal. Amel mengulas senyum, kepalanya manggu
Benarlah apa yang diucapkan Ramdan. Pria itu membawa serta orang tuanya untuk melamar Amel. Perbincangan dua keluarga di ruang tamu sederhana itu, menghasilkan keputusan bahwa satu bulan lagi, akan diadakan acara resepsi pernikahan sekaligus ijab qabul.Sebenarnya, Amel yang meminta agar proses ta'aruf dilakukan sebulan. Padahal, Ramdan inginnya jika bisa seminggu, atau esok hari, pun ia mau meminang dan menghalalkan Amel."Maaf ya Kak, aku kesannya nggak menyegerakan kebaikan. Aku cuma mau memantapkan hati aku. Bersiap untuk menjadi istri sungguhan, seumur hidup." Begitu Amel berbicara di telepon dengan Ramdan.Terdengar kekehan kecil dari seberang. "Santai aja, tugas lelaki tidak melulu mengejar, tapi menunggu juga. Menunggu apakah calon istri siap. Aku nggak akan tergesa-gesa, karena ketergesaan adalah dari setan.""Terimakasih Kak, udah memahami aku," lirih Amel. Dalam hati ia mengucap syukur, bertemu dengan pria sebaik Ramdan. Berkurang pula keraguannya. Semoga, sampai hari itu t
Mungkinkah, ini bagian dari rencananya dulu? Amel membatin sendiri. Jika memang begitu, ia bisa meminta sendiri kepada Alvin agar tidak menjadi dosen pembimbingnya. Barangkali seharusnya mantan suaminya itu bukanlah dosen pembimbingnya, tapi Amel menduga Alvin sudah melakukan pemaksaan terhadap biro skripsi.Amel menunggu ponselnya dengan bosan. Dua puluh menit lagi, ia akan bersiap untuk pergi ke kampus. Bukan untuk kuliah, karena ini masa tenang, tapi untuk ke tokonya. Mengingat ada beberapa pelanggannya yang ingin melihat-melihat produk yang dijualnya ke toko.[Kamu ke toko hari ini?] tanya Ramdan.[Iya Kak. Ada apa?] tanya Amel.[Ada agenda lain selain itu?] tanya Ramdan lagi.Amel mengecek list kegiatan yang hari ini akan ia lakukan. Tidak ada kesibukan yang berarti selain, jadwal jalan-jalan bersama teman-temannya ke Mall.[Aku hari ini ada jadwal jalan-jalan ke Mall sama temen-temen, itung-itung menikmati masa tenang. Ada apa emangnya Kak?] tanya Amel penasaran. Ramdan memang b
Bibir Amel melengkung indah, begitu ia sudah mencatat di sticky notes berwarna kuning yang berisi jadwal pelaksanaan seminar proposalnya. Tangannya dengan lembut, menempel kertas berwarna itu ke atas buku diary miliknya."Akhirnya bisa seminar juga, em... nggak sabar deh, pengen cepet, terus bisa riset dan garap skripsi," gumam Amel. Matanya beralih dari sticky notes ke arah benda pipih yang tergeletak tidak jauh darinya. Ia berniat akan menghubungi Ramdan.Setelah menekan tombol memanggil di aplikasi whatsappnya, telepon langsung tersambung."Wa'alaikumussalam, ada apa Mel?" tanya Ramdan di seberang. Suaranya terdengar biasa saja, tidak girang apalagi cekikikan. Amel memang jarang menemui Ramdan bersikap seperti itu, pria itu mudah menyembunyikan perasaannya. Hingga, Amel pun menduga, walau Ramdan senang bukan main mendapat telpon dari dirinya, pria itu akan bersikap sewajarnya."Besok, jadi beli cincin?" tanya Amel, sebelum memberitahu perihal jadwal proposalnya."Jadi, kamu bisa 'k
Tidak bisa dipungkiri jika detak jantungnya begitu cepat. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pipi yang sudah ia poles dengan bedak yang tipis. Ia berusaha mengukir senyum, balas menatap seorang pria di hadapannya.Pendingin yang berhembus, ternyata tidak mampu menghilangkan panas dalam tubuhnya. Sesekali, memindai ruangan bercat hijau itu. Sekedar, menetralisir rasa gugup. Amel berusaha untuk tetap tenang."Sekian presentasi proposal skripsi saya dan saya kembalikan kepada moderator," ucap Amel dengan suara yang ia usahakan tidak bergetar. Walau sejak mulai menit pertama, ia beberapa kali salah fokus dan berbicara berbelit karena mata Alvin tak lepas dari memantau dirinya.Tiara yang diamanahi sebagai moderator dalam seminar proposal Amel itu mengangguk dan tersenyum, menatap sahabatnya dan beberapa audiens yang hadir. "Baiklah, terimakasih saudari Amelia yang telah mempresentasikan proposal skripsinya. Berikutnya, kita memasuki sesi tanya jawab dan tanggapan oleh penanggap ut
Alvin menatap nanar kertas buffalo warna pink dengan gambar dua kartun orang yang tersenyum berdampingan. Undangan pernikahan Amel dan Ramdan yang tidak akan lama lagi. Mulutnya berkali-kali mengeluarkan nafas."Masih belum rela?" tanya seseorang yang mendorong kursi roda dengan tangannya sendiri. Alvin menoleh, ia mendapati Haikal yang mendekat ke arahnya."Aku juga nggak tau. Ada yang sakit, tapi aku nggak mau mengakui. Kalau dia bahagia, bukankah seharusnya aku juga bahagia?" tanya Alvin, ia kini melempar pandangan ke arah kolam biru di hadapannya. Mereka berdua kini sedang berada di taman belakang, tepatnya di kediaman Haikal."Design undangannya cukup menawan. Kalau aku jadi kamu, bisa jadi membayangkan, jika namaku yang ada disini," ucap Haikal, sembari mengambil kertas undangan di atas meja persegi yang ukurannya tidak terlalu lebar. Ia terkekeh saat mengucapkan itu."Kamu mengkhayalkannya juga nggak bakal jadi kenyataan," dengus Alvin, sedikit kesal karena sahabatnya itu menge