Mungkinkah, ini bagian dari rencananya dulu? Amel membatin sendiri. Jika memang begitu, ia bisa meminta sendiri kepada Alvin agar tidak menjadi dosen pembimbingnya. Barangkali seharusnya mantan suaminya itu bukanlah dosen pembimbingnya, tapi Amel menduga Alvin sudah melakukan pemaksaan terhadap biro skripsi.Amel menunggu ponselnya dengan bosan. Dua puluh menit lagi, ia akan bersiap untuk pergi ke kampus. Bukan untuk kuliah, karena ini masa tenang, tapi untuk ke tokonya. Mengingat ada beberapa pelanggannya yang ingin melihat-melihat produk yang dijualnya ke toko.[Kamu ke toko hari ini?] tanya Ramdan.[Iya Kak. Ada apa?] tanya Amel.[Ada agenda lain selain itu?] tanya Ramdan lagi.Amel mengecek list kegiatan yang hari ini akan ia lakukan. Tidak ada kesibukan yang berarti selain, jadwal jalan-jalan bersama teman-temannya ke Mall.[Aku hari ini ada jadwal jalan-jalan ke Mall sama temen-temen, itung-itung menikmati masa tenang. Ada apa emangnya Kak?] tanya Amel penasaran. Ramdan memang b
Bibir Amel melengkung indah, begitu ia sudah mencatat di sticky notes berwarna kuning yang berisi jadwal pelaksanaan seminar proposalnya. Tangannya dengan lembut, menempel kertas berwarna itu ke atas buku diary miliknya."Akhirnya bisa seminar juga, em... nggak sabar deh, pengen cepet, terus bisa riset dan garap skripsi," gumam Amel. Matanya beralih dari sticky notes ke arah benda pipih yang tergeletak tidak jauh darinya. Ia berniat akan menghubungi Ramdan.Setelah menekan tombol memanggil di aplikasi whatsappnya, telepon langsung tersambung."Wa'alaikumussalam, ada apa Mel?" tanya Ramdan di seberang. Suaranya terdengar biasa saja, tidak girang apalagi cekikikan. Amel memang jarang menemui Ramdan bersikap seperti itu, pria itu mudah menyembunyikan perasaannya. Hingga, Amel pun menduga, walau Ramdan senang bukan main mendapat telpon dari dirinya, pria itu akan bersikap sewajarnya."Besok, jadi beli cincin?" tanya Amel, sebelum memberitahu perihal jadwal proposalnya."Jadi, kamu bisa 'k
Tidak bisa dipungkiri jika detak jantungnya begitu cepat. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pipi yang sudah ia poles dengan bedak yang tipis. Ia berusaha mengukir senyum, balas menatap seorang pria di hadapannya.Pendingin yang berhembus, ternyata tidak mampu menghilangkan panas dalam tubuhnya. Sesekali, memindai ruangan bercat hijau itu. Sekedar, menetralisir rasa gugup. Amel berusaha untuk tetap tenang."Sekian presentasi proposal skripsi saya dan saya kembalikan kepada moderator," ucap Amel dengan suara yang ia usahakan tidak bergetar. Walau sejak mulai menit pertama, ia beberapa kali salah fokus dan berbicara berbelit karena mata Alvin tak lepas dari memantau dirinya.Tiara yang diamanahi sebagai moderator dalam seminar proposal Amel itu mengangguk dan tersenyum, menatap sahabatnya dan beberapa audiens yang hadir. "Baiklah, terimakasih saudari Amelia yang telah mempresentasikan proposal skripsinya. Berikutnya, kita memasuki sesi tanya jawab dan tanggapan oleh penanggap ut
Alvin menatap nanar kertas buffalo warna pink dengan gambar dua kartun orang yang tersenyum berdampingan. Undangan pernikahan Amel dan Ramdan yang tidak akan lama lagi. Mulutnya berkali-kali mengeluarkan nafas."Masih belum rela?" tanya seseorang yang mendorong kursi roda dengan tangannya sendiri. Alvin menoleh, ia mendapati Haikal yang mendekat ke arahnya."Aku juga nggak tau. Ada yang sakit, tapi aku nggak mau mengakui. Kalau dia bahagia, bukankah seharusnya aku juga bahagia?" tanya Alvin, ia kini melempar pandangan ke arah kolam biru di hadapannya. Mereka berdua kini sedang berada di taman belakang, tepatnya di kediaman Haikal."Design undangannya cukup menawan. Kalau aku jadi kamu, bisa jadi membayangkan, jika namaku yang ada disini," ucap Haikal, sembari mengambil kertas undangan di atas meja persegi yang ukurannya tidak terlalu lebar. Ia terkekeh saat mengucapkan itu."Kamu mengkhayalkannya juga nggak bakal jadi kenyataan," dengus Alvin, sedikit kesal karena sahabatnya itu menge
Amel menyeka air mata yang tumpah ruah tanpa diminta. Penjelasan Alvin terdengar begitu menyakitkan di telinganya. Namun, ia tidak sertamerta percaya begitu saja."Dan kamu... masih mau sama bajingan itu?" tanya Alvin dengan suara geram. Ia ikut berdiri saat Amel dengan tidak sopannya berbalik dan ingin pergi dari sana."Mel, dengerin saya! kamu nanti bakal nyesal kalau kamu masih berusaha nyangkal. Mumpung semuanya belum terlambat," jelas Alvin, tangannya mencekal bahu Amel. Seketika Amel menepis kasar tangan itu."Jangan berani-berani sentuh saya. Kita bukan mahram, dan selamanya nggak bakal jadi mahram. Bukankah saya sudah memohon dari awal, biarkan saya bahagian dengan pilihan saya. Nama Bapak, tidak terukir sedikit pun dihati saya. Kalau pernyataan tadi memanglah fakta, maka saya tetap tidak akan kembali dan membuka hati untuk pria egois seperti Bapak!" tekan Amel, menatap nyalang ke wajah yang membuatnya begitu muak beberapa menit lalu. Pria itu dengan teganya menuduh Ramdan yan
Mata memang sulit berbohong. Melukiskan betapa terlukanya hati seorang pria yang akhir-akhir ini hidupnya bergelut dengan penyesalan. Ia berharap waktu dapat diputar kembali ke masa lalu, saat dimana ia masih sah menyandang gelar sebagai seorang suami dari wanita bernama Amelia binti Haris.Alvin tidak pernah luput menatap mantan istrinya sejak wanita itu digandeng keluar dari pintu rumahnya dan menginjak karpet merah untuk kemudian menuju seorang pria yang bukan dirinya, tentu saja. Pria yang baru-baru saja menjadi seorang dosen di kampusnya.Telapak tangannya yang memegang kursi roda ditepuk-tepuk. Ia tahu siapa pelakunya, Haikal. Hanya pria itu yang mengetahui betapa hancur hatinya dihari paling bahagia bagi kedua sosok insan yang kini sudah bertatapan dan saling berhadapan itu. Alvin mengurai senyum, terpaksa. Meyakinkan diri bahwa ia baik-baik saja dan berharap penyesalan itu seketika lenyap begitu saja, walau mustahil.Amel mengulas senyum haru begitu penghulu menyuruh Ramdan un
"Kenapa?" tanya Amel heran begitu Ramdan berhenti melakukan aktivitasnya. Tubuhnya kini sudah berada di bawah suaminya itu. Sekian menit lalu, Ramdan hanya menciumi keningnya berkali-kali, beralih ke mata, hidung, pipi hingga bibir. Baru saja Amel mulai menikmati, namun gerakan itu terhenti."Kamu nggak capek apa? kita belum ada istirahat loh, kalau dilanjut, aku khawatir besok kamu tepar," jelas Ramdan, ia sudah berpindah ke sisi ranjang, menjauh beberapa meter dari istrinya.Amel menolehkan kepalanya, tersenyum ke arah sang suami yang kini menghadapkan wajah padanya. Jujur, seharian dipajang di pelaminan memang lelah, hanya saja jika Ramdan menginginkan untuk menuntaskan hajat padanya, ia siap saja."Iya Kak..." lirih Amel membalas senyuman suaminya. Ia bertambah bahagia rasanya, begitu menyadari betapa perhatiannya Ramdan padanya. Mengerti sekali jika istrinya memang sedang lelah.Setelahnya, mereka tertidur dengan kepala Amel yang dibenamkan di bawah dada bidang milik Ramdan. Ia m
"Maafkan aku Kak, maafkan aku yang terus menuntut. Aku kira, kamu nggak punya trauma," lirih Amel setelah mendengarkan penuh kisah suaminya yang ternyata pernah hampir di lecehkan sewaktu kecil, oleh pelaku pedofil."Iya sayang... maafkan aku yang lemah ini, aku terus-terusa teringat itu. Hingga, saat aku ingin tubuh kamu, aku merasa melecehkan orang, seperti yang dilakukan pedofil dulu.""Tanamkan dalam hati dan pikiranmu, aku istrimu. Aku ikhlas kamu menyentuh setiap inci tubuhku," ucap Amel sembari mengelus pipi suaminya dengan lembut. Air matanya sesekali berlinang. Ia terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui, namun rasa sedih lebih mendominasi, melihat betapa suaminya sangat terpukul akibat trauma itu.Ramdan menciumi jemari Amel. "Aku... takut, menjadi seperti dia."Amel menggeleng. "Kamu pria yang baik, sangat menjaga. Menjaga apa yang kamu punya untuk orang yang halal. Perlahan, insyaa Allah bisa Kak. Kita akan usaha, aku akan bantu kamu. Aku sudah membaca-baca artikel,