Alvin menatap nanar kertas buffalo warna pink dengan gambar dua kartun orang yang tersenyum berdampingan. Undangan pernikahan Amel dan Ramdan yang tidak akan lama lagi. Mulutnya berkali-kali mengeluarkan nafas."Masih belum rela?" tanya seseorang yang mendorong kursi roda dengan tangannya sendiri. Alvin menoleh, ia mendapati Haikal yang mendekat ke arahnya."Aku juga nggak tau. Ada yang sakit, tapi aku nggak mau mengakui. Kalau dia bahagia, bukankah seharusnya aku juga bahagia?" tanya Alvin, ia kini melempar pandangan ke arah kolam biru di hadapannya. Mereka berdua kini sedang berada di taman belakang, tepatnya di kediaman Haikal."Design undangannya cukup menawan. Kalau aku jadi kamu, bisa jadi membayangkan, jika namaku yang ada disini," ucap Haikal, sembari mengambil kertas undangan di atas meja persegi yang ukurannya tidak terlalu lebar. Ia terkekeh saat mengucapkan itu."Kamu mengkhayalkannya juga nggak bakal jadi kenyataan," dengus Alvin, sedikit kesal karena sahabatnya itu menge
Amel menyeka air mata yang tumpah ruah tanpa diminta. Penjelasan Alvin terdengar begitu menyakitkan di telinganya. Namun, ia tidak sertamerta percaya begitu saja."Dan kamu... masih mau sama bajingan itu?" tanya Alvin dengan suara geram. Ia ikut berdiri saat Amel dengan tidak sopannya berbalik dan ingin pergi dari sana."Mel, dengerin saya! kamu nanti bakal nyesal kalau kamu masih berusaha nyangkal. Mumpung semuanya belum terlambat," jelas Alvin, tangannya mencekal bahu Amel. Seketika Amel menepis kasar tangan itu."Jangan berani-berani sentuh saya. Kita bukan mahram, dan selamanya nggak bakal jadi mahram. Bukankah saya sudah memohon dari awal, biarkan saya bahagian dengan pilihan saya. Nama Bapak, tidak terukir sedikit pun dihati saya. Kalau pernyataan tadi memanglah fakta, maka saya tetap tidak akan kembali dan membuka hati untuk pria egois seperti Bapak!" tekan Amel, menatap nyalang ke wajah yang membuatnya begitu muak beberapa menit lalu. Pria itu dengan teganya menuduh Ramdan yan
Mata memang sulit berbohong. Melukiskan betapa terlukanya hati seorang pria yang akhir-akhir ini hidupnya bergelut dengan penyesalan. Ia berharap waktu dapat diputar kembali ke masa lalu, saat dimana ia masih sah menyandang gelar sebagai seorang suami dari wanita bernama Amelia binti Haris.Alvin tidak pernah luput menatap mantan istrinya sejak wanita itu digandeng keluar dari pintu rumahnya dan menginjak karpet merah untuk kemudian menuju seorang pria yang bukan dirinya, tentu saja. Pria yang baru-baru saja menjadi seorang dosen di kampusnya.Telapak tangannya yang memegang kursi roda ditepuk-tepuk. Ia tahu siapa pelakunya, Haikal. Hanya pria itu yang mengetahui betapa hancur hatinya dihari paling bahagia bagi kedua sosok insan yang kini sudah bertatapan dan saling berhadapan itu. Alvin mengurai senyum, terpaksa. Meyakinkan diri bahwa ia baik-baik saja dan berharap penyesalan itu seketika lenyap begitu saja, walau mustahil.Amel mengulas senyum haru begitu penghulu menyuruh Ramdan un
"Kenapa?" tanya Amel heran begitu Ramdan berhenti melakukan aktivitasnya. Tubuhnya kini sudah berada di bawah suaminya itu. Sekian menit lalu, Ramdan hanya menciumi keningnya berkali-kali, beralih ke mata, hidung, pipi hingga bibir. Baru saja Amel mulai menikmati, namun gerakan itu terhenti."Kamu nggak capek apa? kita belum ada istirahat loh, kalau dilanjut, aku khawatir besok kamu tepar," jelas Ramdan, ia sudah berpindah ke sisi ranjang, menjauh beberapa meter dari istrinya.Amel menolehkan kepalanya, tersenyum ke arah sang suami yang kini menghadapkan wajah padanya. Jujur, seharian dipajang di pelaminan memang lelah, hanya saja jika Ramdan menginginkan untuk menuntaskan hajat padanya, ia siap saja."Iya Kak..." lirih Amel membalas senyuman suaminya. Ia bertambah bahagia rasanya, begitu menyadari betapa perhatiannya Ramdan padanya. Mengerti sekali jika istrinya memang sedang lelah.Setelahnya, mereka tertidur dengan kepala Amel yang dibenamkan di bawah dada bidang milik Ramdan. Ia m
"Maafkan aku Kak, maafkan aku yang terus menuntut. Aku kira, kamu nggak punya trauma," lirih Amel setelah mendengarkan penuh kisah suaminya yang ternyata pernah hampir di lecehkan sewaktu kecil, oleh pelaku pedofil."Iya sayang... maafkan aku yang lemah ini, aku terus-terusa teringat itu. Hingga, saat aku ingin tubuh kamu, aku merasa melecehkan orang, seperti yang dilakukan pedofil dulu.""Tanamkan dalam hati dan pikiranmu, aku istrimu. Aku ikhlas kamu menyentuh setiap inci tubuhku," ucap Amel sembari mengelus pipi suaminya dengan lembut. Air matanya sesekali berlinang. Ia terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui, namun rasa sedih lebih mendominasi, melihat betapa suaminya sangat terpukul akibat trauma itu.Ramdan menciumi jemari Amel. "Aku... takut, menjadi seperti dia."Amel menggeleng. "Kamu pria yang baik, sangat menjaga. Menjaga apa yang kamu punya untuk orang yang halal. Perlahan, insyaa Allah bisa Kak. Kita akan usaha, aku akan bantu kamu. Aku sudah membaca-baca artikel,
Amel menutup mulutnya sendiri, sementara air matanya sudah berjatuhan sedari tadi. Benarkah apa yang dikatakan Ibu mertuanya itu? selama ini, Ramdan telah menikahi dua wanita? siapa, mengapa Amel tidak tahu? dan suaminya, mengapa pula tidak memberitahu?Tanpa berlama-lama lagi, karena hati dan telinganya tidak kuat mendengarkan percakapan menyakitkan itu, Amel membatalkan untuk mengambil kartu diskon di kamarnya. Ia memutuskan untuk menemui seseorang, yang selama ini ia sangat tidak sukai karena berani memfitnah suaminya. Ia harus memastikan, jika semua yang di dengarnya, hanya bualan belaka. Tapi, apakah bisa dalam kondisi terisak seperti itu, anak dan ibu itu bercanda? tidak mungkin 'kan?"Pa, ganti tujuan. Nanti saya bayar lebih aja, ke perumahan di daerah A," ucap Amel pada supir taksi online yang sedari tadi sabar menunggunya.Si supir hanya menatap sekilas dari balik spion tengah, tanpa berkomentar apapun, ia menyetujui Amel. Sedangkan, Amel, berusaha untuk memendam isak. Berkal
Hesti menyeringai, matanya memberi kode kepada kedua anak buahnya untuk melakukan sesuatu pada wanita di hadapannya itu. “Bawa dia!” titah Hesti dengan mata yang melotot. “Akan aku jadikan sandera, agar si tengil itu datang sendiri padaku tanpa aku bersusah payah mencarinya,” lanjutnya.Amel yang tadinya ingin menyapa ramah mantan mertuanya, kakinya mendadak gemetar, mendengar perkataan dari wanita di depannya itu. Apalagi, ketika dua bodyguard berwajah sangar malah mendekatinya.“Apa yang kalian lakukan?!” gertak Amel, saat tangannya sudah dicekal dua-duanya oleh kedua anak buah Hesti.“Ma… aku ke sini hanya ingin bertemu Alvin. Ini maksudnya apa?” tanya Amel menatap Hesti.“Apa? mencari bajingan tengil itu? bukankah dia lebih memilih kamu daripada Wati? Sekarang, kalian pasti bahagia hidup bersama, kemana dia?” tanya Hesti penuh intimidasi, mendekati Amel, lalu mencekal dagunya.“Ma… Mama salah paham. Aku dan Alvin sudah bercerai, aku tidak tahu dimana dia," jelas Amel.“Iya aku tah
Amel di bawa ke sebuah tempat asing yang hanya diterangi lampu lima watt. Setelah sadar dari pingsannya, ia bisa menduga kini dirinya tengah di sekap di sebuah ruangan, entah dimana dan miliksiapa. Terakhir kali, ia hanya ingat jika mulutnya di bekap oleh dua preman anak buah dari mantan Mama mertuanya.“Udah sadar?” tanya Hesti dengan tatapan bosan. Ia bahkan sudah menghabiskan lima puntungrokok hanya untuk menunggu Amel sadar.Amel menyipitkan matanya karena wajah Hesti terlihat remang, akibat menghalangi cahaya lampu.“Percuma Mama bawa aku ke sini, aku tidak ada hubungan apapun dengan Alvin,” ucap Amel dingin.Ia mencoba melepaskan ikatannya di belakang, namun sulit. Matanya tetap fokus ke arah Hesti yang menyeringai.“Kalau dia mencintaimu, aku yakin, dia pasti datang,” ucap Hesti dengan senyumannya. “Kalau dia sampai nggak datang pun, aku akan menyeret Ayahmu juga ke sini. Bukankah Alvin menikahimukarena balas budi untuk Ayahmu? Ck… aku tahu, Alvin pasti sangat menyayangi Aya