Hesti menyeringai, matanya memberi kode kepada kedua anak buahnya untuk melakukan sesuatu pada wanita di hadapannya itu. “Bawa dia!” titah Hesti dengan mata yang melotot. “Akan aku jadikan sandera, agar si tengil itu datang sendiri padaku tanpa aku bersusah payah mencarinya,” lanjutnya.Amel yang tadinya ingin menyapa ramah mantan mertuanya, kakinya mendadak gemetar, mendengar perkataan dari wanita di depannya itu. Apalagi, ketika dua bodyguard berwajah sangar malah mendekatinya.“Apa yang kalian lakukan?!” gertak Amel, saat tangannya sudah dicekal dua-duanya oleh kedua anak buah Hesti.“Ma… aku ke sini hanya ingin bertemu Alvin. Ini maksudnya apa?” tanya Amel menatap Hesti.“Apa? mencari bajingan tengil itu? bukankah dia lebih memilih kamu daripada Wati? Sekarang, kalian pasti bahagia hidup bersama, kemana dia?” tanya Hesti penuh intimidasi, mendekati Amel, lalu mencekal dagunya.“Ma… Mama salah paham. Aku dan Alvin sudah bercerai, aku tidak tahu dimana dia," jelas Amel.“Iya aku tah
Amel di bawa ke sebuah tempat asing yang hanya diterangi lampu lima watt. Setelah sadar dari pingsannya, ia bisa menduga kini dirinya tengah di sekap di sebuah ruangan, entah dimana dan miliksiapa. Terakhir kali, ia hanya ingat jika mulutnya di bekap oleh dua preman anak buah dari mantan Mama mertuanya.“Udah sadar?” tanya Hesti dengan tatapan bosan. Ia bahkan sudah menghabiskan lima puntungrokok hanya untuk menunggu Amel sadar.Amel menyipitkan matanya karena wajah Hesti terlihat remang, akibat menghalangi cahaya lampu.“Percuma Mama bawa aku ke sini, aku tidak ada hubungan apapun dengan Alvin,” ucap Amel dingin.Ia mencoba melepaskan ikatannya di belakang, namun sulit. Matanya tetap fokus ke arah Hesti yang menyeringai.“Kalau dia mencintaimu, aku yakin, dia pasti datang,” ucap Hesti dengan senyumannya. “Kalau dia sampai nggak datang pun, aku akan menyeret Ayahmu juga ke sini. Bukankah Alvin menikahimukarena balas budi untuk Ayahmu? Ck… aku tahu, Alvin pasti sangat menyayangi Aya
Amel perlahan menoleh, menatap tepat ke arah layar, kepalanya menggeleng. Berharap Alvin mengerti kode darinya. Sudah cukup, ia tidak ingin Alvin terlibat lagi dalam hidupnya."Jangan terkecoh oleh dia. Biarkan aku begini," batin Amel."Kenapa kamu diam saja huh? kamu nggak kenal dia? atau pura-pura nggak kenal?" tanya Hesti dengan senyumannya. Ia yakin, Alvin hanya sedang berusaha tetap tenang walau orang yang dicintainya tengah terluka."Ayolah... kalau kamu mau tandatangan, maka wanita ini akan selamat. Seorang Alvin Mahendra, tidak mungkin 'kan lebih sayang harta daripada orang yang dicinta?" Hesti kembali merayu dengan membuat pilihan sulit kepada anak tirinya. Ia sangat yakin seratus persen, cara ini akan berhasil. Orang yang tengah jatuh cinta biasanya sangat bodoh dan mudah ditipu."Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan dia. Biarkan suaminya yang mengurus," sahut Alvin datar. Lalu mematikan sambungan video call-nya dengan Hesti membuat wanita itu menggeram marah. Ia menatap la
Alvin tiba lebih dulu daripada Ramdan ke tempat dimana Amel di sekap. Sebuah gedung tidak terpakai dan usang yang berada di daerah yang sepi pula. Di sepanjang jalan, penerangan pun minim bahkan jalanannya pun berbatu. Seniat ini Hesti menculik Amel untuk memancing dirinya. Pikir Alvin.Alvin dan tiga anak buahnya mengendap. Ia juga membawa dua polisi yang menyamar bersamanya. Ia tidak mungkin berangkat sendiri, pasti Hesti akan sangat terobsesi untuk membunuh dirinya."Lepaskan aku Ma!" teriak Amel yang sudah hilang sabar. "Jangan libatkan siapapun lagi, itu urusan kalian berdua!"Alvin yang mendengar suara itu, langsung berjalan ke arah dimana asalnya teriakan itu berada.Dua anak buah Alvin menggebrak pintu yang tertutup. Dengan sigap, dua anak buah Hesti menghadang. "Siapa kalian?" tanya salah satu anak buah Hesti.Mendengar keributan, Hesti menoleh. Matanya menyipit untuk melihat kedatangan seseorang. "Oh ternyata yang dinantikan datang. Kamu dan suami wanita ini pasti bersekongk
Amel terduduk di kursi tunggu rumah sakit dengan keadaan yang sudah lebih baik. Beberapa menit lalu, adiknya datang membawakan pakaian dan juga kerudung untuknya. Sedangkan Ramdan, tidak hentinya menenangkan Amel. Keluarganya juga sudah ada di rumah sakit."Insyaa Allah, Bapak akan segera siuman. Sabar ya..." ucapnya pada Amel yang hanya bisa mengangguk. Ia membiarkan suaminya tersebut mengusap-usap punggung tangannya sambil memeluk bahunya."Lebih baik kalian makan ya, Ibu bawakan rendang dan nasi dari rumah. Ramdan, ajak Amel ke tempat yang nyaman dan biarkan dia makan dengan baik," titah Ibunya Ramdan. Mendengar hal itu, suami dari Amelia itu mengangguk."Rafa juga, kamu harus makan ya Nak. Ayahmu, biar Ibu dan Bapak yang jaga disini," ujar Ibu Ramdan lagi. Rafa yang sedari tadi menundukkan kepala, mengangguk pelan. Tidak banyak kata yang ia ucapkan sejak kedatangannya ke rumah sakit. Wajahnya dingin dan datar."Aku dengar, pria itu menyelamatkan Kak Amel, bagaimana keadaannya?" ta
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.“Gimana keadaan kamu?” tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.“Aku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,” ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. “Rafa sekolah ‘kan?” tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.“Awalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,” ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?