Negeri Jiran menjadi tempat yang kini dipilih oleh Kei dan juga Safir untuk melanjutkan hidup. Keduanya memilih meninggalkan segala kenangat pahit, walau ada juga diselingi kenangan indah disana, namun semuanya hanya ingin mereka kenang dan berharap tidak akan terulang lagi selamanya.
Sejarah memang selalu terulang, tapi harapan keduanya adalah mengulangi sejarah yang indah. Terutama untuk keluarga mereka. Kei memulai bisnisnya kembali dari nol, ia sekarang bekerja di sebuah perusahaan di Malaysia dan mendapat posisi sebagai menejer.
Safir juga hidup layak disebuah rumah yang tidak semewah rumah Kei terdahulu, namun ia merasa tenang dan tentram tanpa gangguan siapapun. Bahkan, kini ia sudah memiliki seorang putra yang tampan, mirip sekali dengan suaminya, Keiji. Putranya ia beri nama Anggara Putra Keiji. Nama yang juga sangat disukai suaminya.
“Pekan depan Elan mau berkunjung ke rumah kita, katanya mau lihat keponakannya, gimana menurutmu sayang? apa aku n
Memang, dekorasi resepsi walimatul urs yang berlangsung amatlah megah. Bahkan wanita itu merasa bak Ratu yang menikmati hari bahagia dengan pangerannya.Sayang, angan wanita itu terlalu jauh dan berlebihan.Hingga"Mas El, nggak ada di kamar." Seorang wanita tampak sedikit gusar, namun wajahnya berusaha tenang. Sesekali melirik seorang wanita yang masih mematut dirinya di depan cermin."Sam!"Panggil seorang pria dengan jas hitam yang terbalut di tubuh atletisnya. "Iya Pak." Seorang pria muncul dari balik pintu, lantas berdiri tegak dan mengambil sikap siap menerima tugas apapun."Cari tau dimana Elan Yamamoto berada!"Oh bagaimana nasib seorang wanita yang menjadi pengantin dari pria yang bernama Elan Yamamoto itu? Hanya bisa terpaku di tempatnya.Hingga dua jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan pengantin pria.Akhirnya dua orang yang saling terdiam itu, bicara."Aku akan menikahimu sampai bayi itu lahir.”Safir Faiha, wanita yang hari ini akan menikah dengan pria yang berna
“Kenapa kau menikahiku?” tanya seorang gadis lagi entah untuk ke berapa kali. Rasanya, mendengar jawaban dari pria berwajah sedatar tembok beberapa waktu lalu masih belum memuaskannya.“Aku nggak suka ngulang perkataanku.”Safir menghela nafas, tangannya memindahkan guling ke tengah-tengah, lalu ia menepuk-nepuk bantal dengan pelan.“Hanya gara-gara anak ini?” Safir kembali bersuara, ia mengelus pelan perutnya yang masih rata. Kaca-kaca di bola matanya menggenang. Rasa sesal bercampur marah kembali menyeruak dadanya. Apalagi begitu siluet wajah seseorang berkelebat dalam pikirannya.“Kenapa kau nggak membiarkan aku membuangnya?” Safir menyeka wajah. Kepalanya ia tolehkan ke arah jendela, tepat di mana pria yang sekarang berstatus sebagai nahkoda rumah tangganya berdiri.Pria itu menoleh dengan tatapan yang menjurus langsung ke netra milik Safir. Ia berjalan ke arah meja dan menggesek tembakau miliknya yang tinggal setengah di sana. Bukan kebiasaannya menghisap benda itu, namun karena
Sonia berjalan mondar-mandir dengan bibir merahnya yang ia gigit. Wajahnya seperti menahan sesuatu. Sesekali kakinya ia hentakkan ke lantai.“Setan apa yang merasuki keponakanku, sampai dia mengatakan hal seperti tadi?” tanyanya geram.“Safir, awas saja wanita jalang itu, nggak akan aku biarkan hidup bahagia di sini.”Sonia mengambil ponselnya di atas nakas, tangannya bergulir mencari kontak seseorang. Dengan cepat, ia menekan tombol Calling, hingga terdengar suara dari seberang.“Cepet ke kamar Ibu!” titahnya. Ternyata Sonia menelpon anaknya sendiri. Ia terlalu malas untuk memanggil langsung ke kamar putrinya yang berada di lantai dua paling ujung itu.“Apa sih Bu? Aku udah ngantuk ini, mau tidur,” keluh Emira yang sudah memakai piyama tidurnya. Wajahnya putih seperti tepung karena masker wajah yang ia kenakan.“Kei mengusir Ibu.”“Hah? Mas Kei, ngusir Ibu? Gimana bisa?” Emira memelototkan matanya. “Gara-gara jalang itu. Dia pasti ngadu sama Kei.”“Astaga Bu, kita nggak bisa biarin
Safir terus terngiang perkataan dokter tadi. Ia melirik ke arah sang suami yang masih fokus menyetir. Namun, kembali ke arah lain saat menyadari Kei menoleh ke arahnya.“Kenapa?” tanya Kei.Safir menggeleng. Ia tidak ingin membahas apapun dengan suaminya. Tiba-tiba ia merasa malu. Jangan sampai, anaknya meminta hal aneh-aneh dan membuat dirinya mati kutu di depan Kei.“Ya Allah, ngiler aku ngeliat rujak.” Safir menggigit bibirnya begitu melewati deretan penjual di pingir jalan. Dan yang menjadi fokus perhatiannya adalah penjual rujak.“Kenapa berhenti?” tanya Safir begitu Kei menghentikan laju kendaraannya.“Kamu pengen rujak?”“Hah? sejak kapan? Nggak.” Safir berkilah, ia membuang wajah ke samping. “Kamu mau ngajarin anakmu pinter bohong huh?” pertanyaan tajam dan pedas itu mengusik Safir, ia menoleh dengan cepat ke arah Kei. “Ibu mana yang tega ngajarin anaknya yang nggak baik?” sentaknya dengan suara naik satu oktaf. Kei mengerti, sang istri mendadak emosi.“Aku cuma tanya tadi.
Sonia menggeram seperti kerbau yang kebelet buang air. Bibirnya tampak menggerutu. Kejadian beberapa menit lalu membuat wajahnya benar-benar malu, apalagi Kei mengabaikannya. “Emira, kenapa kamu cuma diam aja tadi huh?”“Habisnya Emira takut, kalau ada Mas Kei," cicit Emira dan langsung duduk di ranjang sang Ibu.“Tapi ‘kan setidaknya kamu cari cara biar Safir yang disalahkan. Ini, Ibu yang malu dan Kei pasti benar-benar akan mengusir kita.”“Tenang aja Bu, nggak bakal. Kita berlindung di bawah Mas El.”“Ini rumah Kei, bukan rumah El.”“Tapi ‘kan, siapa yang tau di masa depan rumah ini akan jatuh ke tangan Mas El.”“Aku harap gitu. Tapi nyatanya, pria playboy itu sibuk dengan wanita-wanita di luar sana. Bagaimana bisa ngelola perusahaan. Aku udah sakit kepala rasanya. Em, kapan kamu selesaikan tesismu? Cepatlah terjun ke perusahaan."“Masih proses Bu. Sabar, hanya menunggu waktu aku bisa menduduki posisi menejer perusahaan.”“Iya kalau Kei ngasih kamu jabatan itu.”“Mas Kei pasti nga
Safir meringis sendiri saat melihat tampilan Mie kuah buatan suaminya. Padahal, beberapa menit lalu dirinya merasa menggebu-gebu ingin menikmati makanan yang terbuat dari adonan tepung dan tanpa serat sama sekali itu. Tapi kini, entah mengapa selera makannya hilang.“Makan.” Suara baritone Kei terdengar memerintah. Pria itu bersidekap dan menatap mangkok Mie dan istrinya bergantian.“Tiba-tiba aku kenyang,” aku Safir jujur. Ia tidak ingin jika memaksakan makan, khwatirnya malah menuangkan isi perutnya keluar.“Aduh anakku, ayolah. Jangan buat Ibu malu,” batin Safir dalam hati. Ia menunduk saja karena ia merasa benar-benar tidak ada minat lagi. Mungkin dedek yang didalam tengah mencoba membuatnya malu.Sedangkan Kei menggeram tertahan. Matanya memicing ke arah istrinya.
Safir termenung di halaman belakang yang memperlihatkan betapa luas hamparan rumput nan hijau yang bisa di gunakan sebagai lapangan golf. Juga kolam renang yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Suara merdu air mancur menenangkan telinganya. Aroma anggrek bulan menyeruak melalui hidung mancungnya. Perlahan, tangannya mengusap perut. Ketika sendiri, selalu saja penyesalan datang. Hatinya tak pernah urung menangisi masa lalu. Jika saja, dirinya tidak bertemu El. Jika saja, dirinya tidak mudah percaya pada Edward. Jika saja, ah sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Rintik gerimis terlanjur jatuh. Semuanya, tidak akan pernah bisa berbalik lagi.Safir berdiri dari posisi duduknya. Kakinya terasa gatal untuk menyentuh air kolam yang membiru. “Wah, enak ya. Serasa jadi nyonya besar di rumah. Cuma santai-santai, dapat duit, makan enak, nggak usah kerja.” Suara seseorang yang muak untuk ia dengarkan. Safir abai saja membuat Sonia mengepalkan lengan.“Heh!” Sonia membalik tubuh Safir dengan kasa
Sebuah ruangan berpendingin itu semakin panas, saat seorang wanita dengan rambut blonde miliknya mencoba menggoda seorang pria. Tangan nakal wanita itu menjulur dan mengusap pelan wajah sang pria, namun dengan segera pria yang tak lain adalah Keiji Salim Yamamoto menepis lengan Fika, wanita yang rela menjajakan dirinya kepada seorang pengusaha kaya.Padahal, rencananya ia tidak ingin datang ke kantor. Tapi, laporan dari Sam membuatnya terpaksa harus ke sana dan menemui seseorang yang –ah jika boleh menyebutnya ular genit- mungkin Kei akan menjulukinya demikian.“Hehe.” Fika meringis karena tangannya di tepis dengan kasar. “Kamu nggak rindu belaianku Mas?” tanyanya.Kei tersenyum dingin, mata elangnya menatap tajam ke arah Fika – yang katanya teman Safir, walau ia meragukannya- melihat kelakuannya yang berani saat ini.“Jangan hinakan dirimu di hadapan seorang pria Fika!” gertak Kei. “Ka
Negeri Jiran menjadi tempat yang kini dipilih oleh Kei dan juga Safir untuk melanjutkan hidup. Keduanya memilih meninggalkan segala kenangat pahit, walau ada juga diselingi kenangan indah disana, namun semuanya hanya ingin mereka kenang dan berharap tidak akan terulang lagi selamanya.Sejarah memang selalu terulang, tapi harapan keduanya adalah mengulangi sejarah yang indah. Terutama untuk keluarga mereka. Kei memulai bisnisnya kembali dari nol, ia sekarang bekerja di sebuah perusahaan di Malaysia dan mendapat posisi sebagai menejer.Safir juga hidup layak disebuah rumah yang tidak semewah rumah Kei terdahulu, namun ia merasa tenang dan tentram tanpa gangguan siapapun. Bahkan, kini ia sudah memiliki seorang putra yang tampan, mirip sekali dengan suaminya, Keiji. Putranya ia beri nama Anggara Putra Keiji. Nama yang juga sangat disukai suaminya.“Pekan depan Elan mau berkunjung ke rumah kita, katanya mau lihat keponakannya, gimana menurutmu sayang? apa aku n
“Insyaa allah, Evan kuat Mas, dia pasti akan bertahan untuk berbaikan sama kamu lagi, kembali seperti dulu,” ujar Safir lembut ia duduk tepat disamping suaminya yang menutup wajahnya dengan tangan dan sikunya yang terpangku dikedua lututnya. Ini bukan kali pertama Kei merasa kehilangan, setelah Ayah, kemudian disusul Ibunya dan kini adiknya.Ia kira dengan mengikuti semua titah dari Kakeknya dan dengan berkuasanya ia di dalam perusahaan, kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi. Namun tetap saja, semua terjadi dan inilah takdir untuk keluarganya. Elan adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.Aoshi berdiri tidak jauh dari dua orang suami istri itu. Ia menatap prihatin kearah Kei, ia juga turut sedih karena tindakan Elan yang bebahaya dan membahayakan nyawa, ia bahkan tidak menduga pria bajingan itu akan memberikan nyawanya untuk melindungi Kei. Padahal, setahunya hubungan Elan dan Kei sedang tidak baik-baik saja.“Safir, dia keluar
“Seorang Alexander tidak benar-benar mempercayaimu Edward, mereka akan membunuhmu perlahan. Seharusnya yang kau hancurkan adalah mereka,” ucap Elan berjalan mendekat ke arah Edward agar pria itu mengurunkan niatnya dan tidak buta karena ambisi pribadinya. Sementara pria dengan jas hitam dan bergaya rambut top knot itu terkekeh, bahkan meringis senang karena bisa mengubah posisi antara dirinya dan atasannya dimasa lampau. Dunia memang berputar, ia sudah percaya dari sejak lama pepatah itu, hanya saja ia perlu sabar dan terus berusaha.“Apa kamu tahu Elan, kakakmu bukan hanya pembunuh berdarah dingin, tapi dia binatang yang tidak seharusnya hidup di dunia ini. Dia telah membunuh banyak orang dengan tangannya. Sekarang, apa kamu membelanya karena Alex sudah tidak percaya padamu lagi Elan?” sindir Edward dengan nada meremehkan. Matanya menyalang dengan kaca-kaca, ia merasakan betapa pahitnya kehidupannya selama ini dikejar-kejar rentenir, dikejar polisi pu
“Jadi, kamu benar mau menipuku Safir?” Edward menyeringai, dalam sedetik ia sudah menyudutkan Safir ke dinding dan menatapnya tajam.“Kenapa kamu berubah pikiran hah? apa kini kamu sudah mencintai suamimu yang jahat itu? atau kini kamu sudah bermimpi untuk menguasai hartanya?” geram Edward. Tangan pria itu merembet untuk mencekik Safir.Brak!Pintu besar yang terbuat dari kayu itu terbuka, Elan berada disana dan langsung mengeluarkan tinjunya kearah Edward.“Bos, kenapa kamu disini?” Edward terkejut.“Safir, pergilah.” Elan menatap Safir menyuruh wanita itu pergi. Sedangkan Safir yang masih terkejut menggeleng tidak percaya, bagaimana bisa Elan berada disini dan malah memihak padanya?“Safir! tunggu apa lagi, cepat bawa dokumen-dokumen itu dan pergi dari sini!” teriak Elan menggema diruangan kedap suara itu. Edward yang hendak menarik tangan Safir, tidak mampu karena Elan mendorongn
"Kei kamu mau pergi?" Mata Sonia berkaca-kaca, tangannya mengelus lengan keponakannya yang selama ini telah menampungnya.Kei mengangguk, "iya, aku minta maaf jika selama ini, belum bisa menjadi anak yang baik bagimu. Belum bisa menjadi Kakak yang baik untuk Emira dan Nania."Sonia menatap lekat-lekat wajah Kei, tangannya kini menangkup wajah pria itu. Laki-laki kecil yang dulu pernah ia rawat setelah kepergian saudaranya. Kini ternyata sudah menjelma menjadi pria dewasa. Namun, kehidupannya tidak berjalan selalu mulus. Sonia sangat tahu, Kei selalu berurusan dengan dunia hitam yang tidak tahu kapan akan berakhir.Sedari awal, ia mendukung semua apapun yang dilakukan Kei. Selama dirinya bisa mendapat perlindungan dan tumpangan. Ia tidak ingin bernasib sama dengan Ayah maupun Ibu Kei yang menentang Kakeknya, Sugi Yamamoto. Ia ingin hidup kaya dan bahagia. Wajar, jika dirinya selama ini, sangat tidak suka dengan kedatangan Safir yang bisa jadi merebut harta yang selama ini ia idamkan da
Safir yang sudah terbebas dari Edward, menghela nafas lega. Bukti yang kini di tangannya ia apit kuat-kuat, jangan sampai ada yang mengambil, karena ia takut justru akan berakibat fatal nantinya.Baru saja keluar dari kantor polisi, saat ia hendak mencari taksi, tangannya ada yang mecekal tiba-tiba. Bahunya dipeluk dari belakang, sebuah lengan kekar, melingkar di lehernya. "Jangan banyak gerak, ikuti aja kemana aku membawamu.""Siapa kamu?!" sentak Safir, berusaha melepaskan diri. Namun, kungkingan pria itu terlalu kuat. Akhirnya dengan jantung berdegup, ia pasrah saja."Berani berteriak, aku akan memenggal lehermu disini," ancamnya. Safir mengangguk, mencari aman sementara, juga ia ingin tau siapa pria yang kini menyeretnya ke dalam mobil."Kamu..." Safir kehabisan kata. Pria itu, adalah pria bertopi coboi yang pernah menemuinya di atas balkon. Kei sudah menceritakan padanya, jika pria bermata tajam dan berkulit vampir itu bernama Aoshi, tema
Safir menutup mulutnya sendiri begitu rekaman yang di dapat dari daschcam mobil seseorang menangkap beberapa kejadian termasuk kecelakaan orang tuanya. Mobil itu terlihat bergerak hingga terdengar pecakapan pengemudinya.“Aku akan membunuh direkturnya, dengan tanganku sendiri.”Lalu kemudian mobil bergerak dengan kecepatan diatas rata-rata. “Aku akan mengahancurkan kalian semua!” geram seorang pria yang wajahnya terlihat jelas di kamera.Pria itu adalah Keiji Salim Yamamoto. Wajahnya masih khas asia timur. Matanya masih terlihat sedikit sipit dan tidak ada jambang yang menghiasi wajahnya. Potret pria itu ketika masih muda. Terlihat, Kei mengambil minuman beralkohol dengan botol mini, lalu meneguknya beberapa kali.Mobil itu semakin dilajukan dan secepat kilat menabrak sebuah mobil di depannya dengan sengaja. Namun sepertinya karena mabuk keseimbangan Kei terganggu begitu pula mobil yang ditumpanginya, hingga ketika a
Kei menyugar rambutnya sendiri bisa-bisanya iaupa jika di apartemen yang ditinggali olehnya tersimpan bukti-bukti mengenai kecelakaan orang tua Safir. Ia belum sempat memindahkan bukti-bukti itu ke tempat yang aman.Sepulang dari kediaman Sugi Yamamoto yang berakhir dengan dirinya yang mendapat ancaman bahwa semakin Kei memberontak, Sugi akan benar-benar melenyapkan orang-orang terdekatnya. Ia bergegas untuk segera sampai ke apartemennya.Setelah membuat laju kendarannya di atas rata-rata membelah jalanan kota. Kei akhirnya sampai di apartemen mewah bak hotel bintang lima tempat dimana ia tinggal sementara itu. Ia segera menaiki lift dengan dada bergemuruh dan pikiran yang berkecamuk. Berharap Safir tidak menemukan apa-apa di tempat tinggalnya.Saat Kei memeriksa laci di dekat ranjang, matanya membelalak. Dokumen-dokumen termasuk flashdisk yang ia simpan sudah menghilang. Semuanya. “Safir!” pekik Kei dengan suara berat.Ia segera menelpon Soni
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Edward untuk mendapatkan bukti rekaman yang menunjukkan Elan telah membunuh seseorang. Pulpen mini itu ia masukkan ke dalam saku celana, memberi kecupan sebentar ke dahi Emira lalu berpamitan pergi dari kediaman Keiji Salim Yamamoto.Safir dan Kei yang tengah berada di apartemen namun terasa seperti hotel, kini mereka sedang menikmati makan malam mereka. “Mas, kira-kira kenapa ya Mas El ingin tahu target kamu selanjutnya?” tanya Safir.Kei yang sedang fokus dengan makanannya mendongak, ia memang cenderung sangat diam dan tenang jika sudah berhadapan dengan makanan. “Kamu lupa Fir? Aku nggak suka bicarain bisnis di meja makan,” ucap Kei datar. Safir hampir saja tersedak, pria itu tetaplah seorang Keiji Salim Yamamoto yang sedari awal ia temui bersikap dingin dan tidak suka terganggu.“Maaf,” ujar Safir, menunduk.“Bicarakanlah hal lain,” ucap Kei, bukan berarti ia