"Hai."Embun memutar bola matanya malas ketika melihat Dimas sudah ada di depan rumahnya."Kenapa?" tanya wanita itu ketus."Berangkat kerja bareng yuk."Embun menggeleng. "Aku pakai motor aja," tolak wanita itu."Oh, oke," sahut pria itu seraya tersenyum kecewa.Dimas pun langsung memasuki mobilnya, setibanya di dalam mobil dia tersenyum licik karena melihat raut wajah wanita itu tampak begitu kesal.Tuk ... tuk ...Dimas menurunkan kaca mobilnya."Perlu bantuan?" tanya pria itu.Embun mendengkus keras. "Aku heran kenapa ban motorku selalu aja kempes, curiga nih pasti ada seseorang dengan sengaja melakukannya," ucapnya seraya melirik ke arah Dimas dengan tajam.Dimas mengusap tengkuknya. "Apa kamu lagi nuduh aku?"Embun memicingkan mata. "Emangnya kamu merasa? Padahal aku nggak ada ngomong kalau kamu yang melakukannya loh."Dimas berdecak pelan."Kamu emang nggak ada bilang kalau aku yang melakukannya, tapi sorot matamu itu seolah-olah mengatakan kalau aku yang melakukannya."Embun t
Dimas memukul stir mobil itu dengan keras karena merutuki kebodohannya barusan.Bagaimana tidak, dia hampir saja mencelakai Embun lagi. Kejadian dua tahun lalu hampir terulang kembali.Dan jelas saja dengan kejadian tadi membuat Embun kembali trauma, terlihat begitu jelas dengan raut wajah wanita itu yang begitu pucat."Sial! Aku sudah susah payah membujuk dia untuk tidak takut lagi naik mobil, malah kejadian seperti ini keulang lagi. Benar-benar sial! Kalau kayak gini aku bakal susah bujuk Embun agar mau jalan bareng aku. Arghh!" teriak pria itu.Masih terekam jelas diingatannya, begitu tadi mobil berhenti Embun langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun, hal itu jelas saja membuat Dimas kian merasa bersalah."Maafin aku, Embun. Aku nggak bermaksud untuk membuat trauma itu datang kembali. Maafin aku." Berkali-kali Dimas menggumamkan kata maaf seolah-olah Embun kini berada di hadapannya.***"Kerjaan di sini sebentar lagi akan selesai, Pak. Apa yang akan kita lakukan
Embun tersenyum lega ketika melihat ban motornya tidak kempes lagi. Bagaimana tidak? Dia memasukkan motornya itu ke dalam rumah. Semua usahanya itu sebagai bentuk antisipasi saja, takutnya ada yang jahil lagi.Mengenai Dimas, sampai saat ini pun pria itu tetap gigih mendekatinya.Embun juga tak paham dengan pria itu, padahal berkali-kali Embun bilang kalau dia tidak mau ikut nebeng dengannya, tapi tetap saja pria itu keras kepala.Dan untuk Gio? Mengingat pria itu membuat dirinya tersenyum getir. Beberapa hari yang lalu pria itu mengirimi dia pesan kalau dia akan kembali ke kotanya, dan juga mengatakan akan kembali menjemput dirinya secepatnya.Embun sama sekali tak menanggapinya, akan tetapi sepertinya dia agak menyesal karena telah mengabaikan pesan pria itu, harusnya dia bertanya kapan pria itu akan kembali menemuinya. Sial, kenapa tiba-tiba dia merindukan pria itu, sih?Embun pun mengeluarkan motornya itu dengan sedikit kesusahan, setelah beberapa kali ada adegan yang begitu menyu
"Halo, Sayang."Embun berdecak kesal ketika mendengar suara pria itu, kendati demikian dia agak lega karena rasa rindunya pada pria itu tersalurkan.Ini adalah kesempatan bagus untuk wanita itu untuk menghubungi Gio."Kenapa kamu menyuruh atasanku untuk memecatku!" kata Embun dengan suara meninggi."Oh, itu ya. Karena aku tidak suka melihat istriku capek-capek bekerja. Kamu, kan, punya suami, nggak sepatutnya kamu kerja keras seperti itu. Terus gunanya aku apa dong? Aku jadi merasa suami nggak becus karena menelantarkan istri."Embun tersenyum miris. Dia sudah membuat kecewa Gio, akan tetapi pria itu masih saja berbesar hati menerimanya."Kenapa kamu melakukan semua ini, Gio?" tanya Embun dengan suara tercekat."Karena aku menyayangimu, Sayang. Oh ya, tiga hari lagi aku akan menemuimu. Aku harus menyelesaikan urusanku di sini, setelah itu aku akan ikut hidup denganmu, apapun yang terjadi. Kamu nggak keberatan, kan, Sayang?" tanya Gio dari ujung sana. Suara pria itu terdengar begitu le
"Gio, Mama nggak habis pikir sama kamu. Memangnya selama ini Mama selalu jahat sama kamu sampai-sampai kamu harus berbuat seperti ini?" tanya Rena tak percaya.Gio tersenyum tipis ketika mendengar keluhan mamanya."Ma, Mama adalah satu-satunya wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Sampai saat ini aku masih selalu menuruti apapun keinginan Mama agar Mama tidak kecewa denganku. Namun, satu yang sampai saat ini nggak akan aku lakuin untuk merealisasikan rencana Mama, yaitu dengan menikah lagi dengan wanita lain. Mama selalu bilang kalau Mama melakukan semuanya demi kebaikanku. Apa selama ini Mama nggak berpikir sedikit aja tentang perasaan aku, Ma. Kenapa Mama selalu egois? Kenapa Mama selalu mementingkan diri Mama sendiri? Kenapa harus ada kata derajat yang setara di keluarga kita? Kenapa?" Gio begitu muak dengan ini semua.Baru saja dia datang dari kantor, sudah diberondong pertanyaan yang sangat tidak dia sukai, apalagi lagi dan lagi mamanya itu mengatur pertemuan antara dirinya de
"Apa Anda serius dengan keputusan Anda, Pak?" tanya Rizal hati-hati."Iya, mulai saat ini kamu sudah bukan bawahanku lagi, kamu resmi dipecat. Semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini, dan semoga kamu juga mendapatkan bos yang lebih baik dari aku. Terima kasih karena selama ini kamu mau menemaniku," ungkap Gio dengan senyum tulus.Rizal menghela napas gusar, dia merasa ada yang kosong pada dirinya. Bukan apa-apa, dia sudah merasa sreg bekerja dengan Gio, dia sudah terlalu nyaman dengan atasannya itu. Ketika mendengar Gio berbicara seperti itu, entah mengapa dia merasa tidak rela."Setelah ini apa yang akan Anda lakukan, Pak?" tanya Rizal penasaran.Gio mengerutkan keningnya. "Bukannya aku pernah menyuruhmu untuk membeli beberapa lahan tanah di kota yang sama tempat Embun tinggali saat ini?"Rizal mengusap tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Saya tidak paham maksud Anda, Pak," ucap pria itu jujur."Aku akan membuka usaha kecil-kecilan di sana, bersama dengan istriku,
Embun mendengkus keras ketika mendengar suara klakson mobil."Ck! Mau apa lagi sih dia itu," gerutu wanita itu.Karena suara klakson itu terus-menerus berbunyi, mau tak mau Embun pun membuka pintu, wanita itu berkacak pinggang.Dimas yang melihat itu bukannya takut dia malah tertawa kecil."Kok masih pakai daster? Nggak kerja?" tanya pria itu."Aku udah nggak kerja lagi, jadi kamu nggak usah sok-sok jemput aku," sahutnya dengan ketus."Loh, kenapa?" tanya pria itu dengan wajah terkejut."Dipecat!""Kok bisa?"Embun mengedikkan bahunya acuh. "Ya mana aku tahu, suka-suka mereka lah, orang mereka kok yang punya kantor," jawabnya jutek."Ya udah kalau gitu. Gimana kalau kamu kerja di tempat aku aja. Kebetulan di sana ada lowongan. Gimana, mau nggak?" tawar Dimas tanpa pikir panjang.Embun langsung menggeleng tegas. "Nggak dulu deh, udah sana kamu pergi kerja. Nanti malah telat, eh nggak tahunya dipecat juga."Dimas tampak enggan meninggalkan Embun, menurutnya ini adalah momen yang begitu
Sesuai apa yang Gio katakan, pria itu benar-benar datang ke rumah Embun malam itu.Dia tersenyum tipis ketika melihat Embun membukakan pintu seraya mengucek-ngucek matanya."Kenapa datangnya harus tengah malam sih?" gerutu wanita itu."Kenapa? Aku ganggu ya?""Bukannya gitu," decak Embun, wanita itu menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada tetangga yang melihat kedatangan Gio. "Takutnya ganggu ketenangan tetangga waktu lagi istirahat," ungkapnya melanjutkan."Ganggu gimana sih? Lagian akunya juga nggak berisik. Ini ... omong-omong nggak ditawarin masuk nih?"Embun langsung menyingkirkan tubuhnya dari pintu, membiarkan pria itu masuk."Besok-besok kalau datang jangan tengah malam ya," pinta Embun. "Nanti dikiranya aku bawa laki-laki masuk sama tetangga tengah malam, cari kesempatan pas waktu mereka lagi istirahat. Tahu sendiri, kan, mulut tetangga itu nggak bisa di rem."Gio mengerutkan keningnya. "Peduli banget sama omongan tetangga. Ya tinggal kamu bilang aja kalau aku
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu