"Rizal, aku ingin bertanya padamu."Rizal melirik ke arah bosnya lewat kaca spion. Pria itu sepertinya bisa menebak bahwa saat ini bosnya tengah gundah gulana."Silakan, Pak. Silakan bertanya, pasti saya akan menjawabnya," sahut Rizal dengan cepat.Gio menghela napas berat, sesekali memejamkan matanya."Menurutmu apa penting seorang wanita hamil dan melahirkan?" tanya Gio seraya menatap Rizal dengan sorot mata tajam.Rizal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.'Aduh, gimana ini jawabnya. Aku memang berpengalaman masalah wanita, tapi kalau soal itu aku mana tahu,' decak Rizal dalam hati."Rizal?" tegur Gio.Rizal terkesiap. "Iya, Pak? Gimana?" tanya pria itu gelagapan."Kamu itu dengar nggak sih aku lagi ngomong?" dengkus Gio."Dengar kok, Pak. Bentar dulu ya, Pak, saya carikan dulu informasinya di teman wanita saya," sahut Rizal."Cih! Katanya kamu yang paling berpengalaman masalah perempuan," ejek pria itu.Rizal menanggapinya dengan senyuman saja."Kamu lagi ngapain?" tegur Gio."Sa
"Hai."Embun memutar bola matanya malas ketika melihat Dimas sudah ada di depan rumahnya."Kenapa?" tanya wanita itu ketus."Berangkat kerja bareng yuk."Embun menggeleng. "Aku pakai motor aja," tolak wanita itu."Oh, oke," sahut pria itu seraya tersenyum kecewa.Dimas pun langsung memasuki mobilnya, setibanya di dalam mobil dia tersenyum licik karena melihat raut wajah wanita itu tampak begitu kesal.Tuk ... tuk ...Dimas menurunkan kaca mobilnya."Perlu bantuan?" tanya pria itu.Embun mendengkus keras. "Aku heran kenapa ban motorku selalu aja kempes, curiga nih pasti ada seseorang dengan sengaja melakukannya," ucapnya seraya melirik ke arah Dimas dengan tajam.Dimas mengusap tengkuknya. "Apa kamu lagi nuduh aku?"Embun memicingkan mata. "Emangnya kamu merasa? Padahal aku nggak ada ngomong kalau kamu yang melakukannya loh."Dimas berdecak pelan."Kamu emang nggak ada bilang kalau aku yang melakukannya, tapi sorot matamu itu seolah-olah mengatakan kalau aku yang melakukannya."Embun t
Dimas memukul stir mobil itu dengan keras karena merutuki kebodohannya barusan.Bagaimana tidak, dia hampir saja mencelakai Embun lagi. Kejadian dua tahun lalu hampir terulang kembali.Dan jelas saja dengan kejadian tadi membuat Embun kembali trauma, terlihat begitu jelas dengan raut wajah wanita itu yang begitu pucat."Sial! Aku sudah susah payah membujuk dia untuk tidak takut lagi naik mobil, malah kejadian seperti ini keulang lagi. Benar-benar sial! Kalau kayak gini aku bakal susah bujuk Embun agar mau jalan bareng aku. Arghh!" teriak pria itu.Masih terekam jelas diingatannya, begitu tadi mobil berhenti Embun langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun, hal itu jelas saja membuat Dimas kian merasa bersalah."Maafin aku, Embun. Aku nggak bermaksud untuk membuat trauma itu datang kembali. Maafin aku." Berkali-kali Dimas menggumamkan kata maaf seolah-olah Embun kini berada di hadapannya.***"Kerjaan di sini sebentar lagi akan selesai, Pak. Apa yang akan kita lakukan
Embun tersenyum lega ketika melihat ban motornya tidak kempes lagi. Bagaimana tidak? Dia memasukkan motornya itu ke dalam rumah. Semua usahanya itu sebagai bentuk antisipasi saja, takutnya ada yang jahil lagi.Mengenai Dimas, sampai saat ini pun pria itu tetap gigih mendekatinya.Embun juga tak paham dengan pria itu, padahal berkali-kali Embun bilang kalau dia tidak mau ikut nebeng dengannya, tapi tetap saja pria itu keras kepala.Dan untuk Gio? Mengingat pria itu membuat dirinya tersenyum getir. Beberapa hari yang lalu pria itu mengirimi dia pesan kalau dia akan kembali ke kotanya, dan juga mengatakan akan kembali menjemput dirinya secepatnya.Embun sama sekali tak menanggapinya, akan tetapi sepertinya dia agak menyesal karena telah mengabaikan pesan pria itu, harusnya dia bertanya kapan pria itu akan kembali menemuinya. Sial, kenapa tiba-tiba dia merindukan pria itu, sih?Embun pun mengeluarkan motornya itu dengan sedikit kesusahan, setelah beberapa kali ada adegan yang begitu menyu
"Halo, Sayang."Embun berdecak kesal ketika mendengar suara pria itu, kendati demikian dia agak lega karena rasa rindunya pada pria itu tersalurkan.Ini adalah kesempatan bagus untuk wanita itu untuk menghubungi Gio."Kenapa kamu menyuruh atasanku untuk memecatku!" kata Embun dengan suara meninggi."Oh, itu ya. Karena aku tidak suka melihat istriku capek-capek bekerja. Kamu, kan, punya suami, nggak sepatutnya kamu kerja keras seperti itu. Terus gunanya aku apa dong? Aku jadi merasa suami nggak becus karena menelantarkan istri."Embun tersenyum miris. Dia sudah membuat kecewa Gio, akan tetapi pria itu masih saja berbesar hati menerimanya."Kenapa kamu melakukan semua ini, Gio?" tanya Embun dengan suara tercekat."Karena aku menyayangimu, Sayang. Oh ya, tiga hari lagi aku akan menemuimu. Aku harus menyelesaikan urusanku di sini, setelah itu aku akan ikut hidup denganmu, apapun yang terjadi. Kamu nggak keberatan, kan, Sayang?" tanya Gio dari ujung sana. Suara pria itu terdengar begitu le
"Gio, Mama nggak habis pikir sama kamu. Memangnya selama ini Mama selalu jahat sama kamu sampai-sampai kamu harus berbuat seperti ini?" tanya Rena tak percaya.Gio tersenyum tipis ketika mendengar keluhan mamanya."Ma, Mama adalah satu-satunya wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Sampai saat ini aku masih selalu menuruti apapun keinginan Mama agar Mama tidak kecewa denganku. Namun, satu yang sampai saat ini nggak akan aku lakuin untuk merealisasikan rencana Mama, yaitu dengan menikah lagi dengan wanita lain. Mama selalu bilang kalau Mama melakukan semuanya demi kebaikanku. Apa selama ini Mama nggak berpikir sedikit aja tentang perasaan aku, Ma. Kenapa Mama selalu egois? Kenapa Mama selalu mementingkan diri Mama sendiri? Kenapa harus ada kata derajat yang setara di keluarga kita? Kenapa?" Gio begitu muak dengan ini semua.Baru saja dia datang dari kantor, sudah diberondong pertanyaan yang sangat tidak dia sukai, apalagi lagi dan lagi mamanya itu mengatur pertemuan antara dirinya de
"Apa Anda serius dengan keputusan Anda, Pak?" tanya Rizal hati-hati."Iya, mulai saat ini kamu sudah bukan bawahanku lagi, kamu resmi dipecat. Semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini, dan semoga kamu juga mendapatkan bos yang lebih baik dari aku. Terima kasih karena selama ini kamu mau menemaniku," ungkap Gio dengan senyum tulus.Rizal menghela napas gusar, dia merasa ada yang kosong pada dirinya. Bukan apa-apa, dia sudah merasa sreg bekerja dengan Gio, dia sudah terlalu nyaman dengan atasannya itu. Ketika mendengar Gio berbicara seperti itu, entah mengapa dia merasa tidak rela."Setelah ini apa yang akan Anda lakukan, Pak?" tanya Rizal penasaran.Gio mengerutkan keningnya. "Bukannya aku pernah menyuruhmu untuk membeli beberapa lahan tanah di kota yang sama tempat Embun tinggali saat ini?"Rizal mengusap tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Saya tidak paham maksud Anda, Pak," ucap pria itu jujur."Aku akan membuka usaha kecil-kecilan di sana, bersama dengan istriku,
Embun mendengkus keras ketika mendengar suara klakson mobil."Ck! Mau apa lagi sih dia itu," gerutu wanita itu.Karena suara klakson itu terus-menerus berbunyi, mau tak mau Embun pun membuka pintu, wanita itu berkacak pinggang.Dimas yang melihat itu bukannya takut dia malah tertawa kecil."Kok masih pakai daster? Nggak kerja?" tanya pria itu."Aku udah nggak kerja lagi, jadi kamu nggak usah sok-sok jemput aku," sahutnya dengan ketus."Loh, kenapa?" tanya pria itu dengan wajah terkejut."Dipecat!""Kok bisa?"Embun mengedikkan bahunya acuh. "Ya mana aku tahu, suka-suka mereka lah, orang mereka kok yang punya kantor," jawabnya jutek."Ya udah kalau gitu. Gimana kalau kamu kerja di tempat aku aja. Kebetulan di sana ada lowongan. Gimana, mau nggak?" tawar Dimas tanpa pikir panjang.Embun langsung menggeleng tegas. "Nggak dulu deh, udah sana kamu pergi kerja. Nanti malah telat, eh nggak tahunya dipecat juga."Dimas tampak enggan meninggalkan Embun, menurutnya ini adalah momen yang begitu