"Apa Anda serius dengan keputusan Anda, Pak?" tanya Rizal hati-hati."Iya, mulai saat ini kamu sudah bukan bawahanku lagi, kamu resmi dipecat. Semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini, dan semoga kamu juga mendapatkan bos yang lebih baik dari aku. Terima kasih karena selama ini kamu mau menemaniku," ungkap Gio dengan senyum tulus.Rizal menghela napas gusar, dia merasa ada yang kosong pada dirinya. Bukan apa-apa, dia sudah merasa sreg bekerja dengan Gio, dia sudah terlalu nyaman dengan atasannya itu. Ketika mendengar Gio berbicara seperti itu, entah mengapa dia merasa tidak rela."Setelah ini apa yang akan Anda lakukan, Pak?" tanya Rizal penasaran.Gio mengerutkan keningnya. "Bukannya aku pernah menyuruhmu untuk membeli beberapa lahan tanah di kota yang sama tempat Embun tinggali saat ini?"Rizal mengusap tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Saya tidak paham maksud Anda, Pak," ucap pria itu jujur."Aku akan membuka usaha kecil-kecilan di sana, bersama dengan istriku,
Embun mendengkus keras ketika mendengar suara klakson mobil."Ck! Mau apa lagi sih dia itu," gerutu wanita itu.Karena suara klakson itu terus-menerus berbunyi, mau tak mau Embun pun membuka pintu, wanita itu berkacak pinggang.Dimas yang melihat itu bukannya takut dia malah tertawa kecil."Kok masih pakai daster? Nggak kerja?" tanya pria itu."Aku udah nggak kerja lagi, jadi kamu nggak usah sok-sok jemput aku," sahutnya dengan ketus."Loh, kenapa?" tanya pria itu dengan wajah terkejut."Dipecat!""Kok bisa?"Embun mengedikkan bahunya acuh. "Ya mana aku tahu, suka-suka mereka lah, orang mereka kok yang punya kantor," jawabnya jutek."Ya udah kalau gitu. Gimana kalau kamu kerja di tempat aku aja. Kebetulan di sana ada lowongan. Gimana, mau nggak?" tawar Dimas tanpa pikir panjang.Embun langsung menggeleng tegas. "Nggak dulu deh, udah sana kamu pergi kerja. Nanti malah telat, eh nggak tahunya dipecat juga."Dimas tampak enggan meninggalkan Embun, menurutnya ini adalah momen yang begitu
Sesuai apa yang Gio katakan, pria itu benar-benar datang ke rumah Embun malam itu.Dia tersenyum tipis ketika melihat Embun membukakan pintu seraya mengucek-ngucek matanya."Kenapa datangnya harus tengah malam sih?" gerutu wanita itu."Kenapa? Aku ganggu ya?""Bukannya gitu," decak Embun, wanita itu menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada tetangga yang melihat kedatangan Gio. "Takutnya ganggu ketenangan tetangga waktu lagi istirahat," ungkapnya melanjutkan."Ganggu gimana sih? Lagian akunya juga nggak berisik. Ini ... omong-omong nggak ditawarin masuk nih?"Embun langsung menyingkirkan tubuhnya dari pintu, membiarkan pria itu masuk."Besok-besok kalau datang jangan tengah malam ya," pinta Embun. "Nanti dikiranya aku bawa laki-laki masuk sama tetangga tengah malam, cari kesempatan pas waktu mereka lagi istirahat. Tahu sendiri, kan, mulut tetangga itu nggak bisa di rem."Gio mengerutkan keningnya. "Peduli banget sama omongan tetangga. Ya tinggal kamu bilang aja kalau aku
"Tuh kan, Mama bilang juga apa. Gio itu cinta mati banget sama kamu, Embun. Kamunya aja yang ngeyel dibilangin, makanya nurut apa kata orang tua, kayak gitu kan kamu sendiri yang tersiksa," cibir Ipah dari ujung sana.Embun tak menjawab, dia hanya bisa meringis pelan karena mendengar serentetan ocehan yang mamanya berikan.Dua tahun ini memang mereka tak bertemu, akan tetapi antara mama dan anak itu tak pernah putus komunikasi.Awalnya, mama Embun sama sekali tak menyetujui ide Embun yang begitu konyol itu, menurut Ipah sama saja Embun telah mempermainkan pernikahan. Akan tetapi dia juga tidak ingin terlalu mengekang anaknya, jadi dia membiarkan Embun berbuat semaunya. Toh anaknya itu sudah dewasa, jadi bisa memilih yang mana yang terbaik untuk diri sendiri."Untung aja dia cinta mati sama kamu, kalau nggak mampus lah kamu itu. Mana ada yang mau sama kamu selain Gio.""Ma," erang Embun. Dia memijit kepalanya yang terasa berdenyut karena lagi-lagi mamanya mengoceh tak jelas. "Gini-gini
"Mas," panggil Embun dengan suara pelan.Gio mendongak, matanya yang tadinya fokus pada layar ponselnya kini beralih pada Embun, dia tersenyum lebar."Kenapa, Sayang? Sini duduk," ujar pria itu seraya menepuk sofa di sebelahnya agar istrinya duduk di dekatnya."Lagi ngapain, Mas?" tanya Embun penasaran. "Kayaknya sibuk banget ya.""Nggak juga, cuma lagi mantau aja progres pembangunannya sampai mana. Kenapa, Sayang?""Nggak apa-apa, Mas. Emangnya Mas yakin sama keputusan yang Mas buat? Hidup sederhana itu nggak mudah loh, Mas. Apalagi, kan, Mas udah terbiasa hidup mewah dari kecil."Gio tersenyum mendengarnya. Dia memeluk pinggang istrinya begitu erat. "Nggak apa-apa, hidupku bakal baik-baik saja asal kamu selalu ada di sampingku. Kamu masih meragukan ku, hem?"Embun menggeleng dengan cepat. "Nggak ragu, cuma aku takut Mas nggak akan sanggup menjalaninya nanti.""Kata siapa? Aku sanggup kok. Harusnya yang aku takutkan itu kamu. Takut kamu pergi lagi ninggalin aku. Mulai sekarang kamu
"Mas kalau sibuk mending nggak usah ikut deh, aku bisa sendiri kok ke sana."Gio menatap istrinya itu dengan sebal. "Kenapa bilangnya kayak gitu terus sih? Curiga nih aku jangan-jangan kamu sembunyikan sesuatu dari aku ya?" tebak pria itu."Sembunyiin apa sih, Mas? Nggak ada yang aku tutup-tutupi dari Mas, Mas juga udah lihat sendiri, kan?" seloroh Embun.Gio tergelak mendengarnya, kalau sudah seperti itu mana bisa dia merajuk."Kamu ini ya, mau goda Mas? Ayo kalau mau, nggak usah mancing-mancing kayak gitu."Embun berdecak pelan. "Apasih, siapa juga yang goda. Ya udah kalau mau ikut ayo kita pergi, nggak usah megang ponsel terus. Katanya nggak sibuk, tapi dari tadi yang diperhatikan layar ponselnya, sampe nggak berkedip lagi ngelihatnya," cibir wanita itu."Iya, iya, Sayang. Padahal aku berusaha menjauh dari ponsel supaya bisa perhatiin kamu, tapi ternyata nggak bisa ya," keluh pria itu.Embun terenyuh mendengar suara Gio yang tampak parau, wanita itu pun mendekat ke arah suaminya, m
"Aku? Siapa?" tunjuk Gio pada dirinya sendiri. "Nggak salah kamu tanya kayak gitu ke aku? Harusnya aku yang tanya kamu itu siapa, heh? Datang-datang ke sini ganggu ketenangan orang lain, selain ganggu orang-orang yang ada di sini, kamu juga ganggu ketenangan Embun, tahu nggak?!" Bentak Gio, sifat bosy pria itu seketika kembali keluar.Dimas menatap Gio tak suka, apalagi ketika melihat pria itu ada di dalam rumah Embun. Selama dia kenal dengan wanita itu, dia sama sekali tidak diperbolehkan untuk masuk, pasti setiap bertamu di rumah Embun, wanita itu menyuruh untuk duduk di luar saja.Kalau Dimas bertanya alasannya apa, wanita itu selalu menjawab dia tidak ingin menimbulkan fitnah.'Sial! Apa dia itu suaminya? Jadi mereka udah baikan?' batin Dimas.Melihat Dimas seperti itu, Embun tidak tega melihatnya, akan tetapi kalau dia membela pria itu, sudah pasti nanti Gio akan berpikir yang tidak-tidak dan jelas saja akan terjadi kesalahpahaman."Kenapa diam aja? Jawab dong kalau orang lagi na
"Ih, kok kamu makin kurus aja sih, Embun."Datang-datang bukannya disambut dengan pelukan hangat, mamanya malah bicara seperti itu, membuat mood Embun seketika jelek.Gio yang mendengarnya pun tertawa pelan. "Selama ini dia selalu kepikiran sama aku, Ma, makanya jarang banget dia makan. Tapi Mama tenang aja, aku bakal bikin Embun gemuk lagi kok, bahkan lebih gemuk dari yang kemarin," seloroh Gio.Mata Embun mendelik. "Apaan sih, Mas.""Iya, Mama setuju sama kamu, Gio. Bikin gemuk juga di perutnya itu," usul Ipah."Siap, Ma. Kalau itu nggak usah disuruh juga pasti bakal aku lakukan," timpal Gio lagi."Aish!" Embun garuk-garuk kepala karena tidak paham apa yang tengah mereka bicarakan. "Mama apa kabar? Sehat, kan? Kok Mama juga terlihat tampak kurusan sih?" Wanita itu balik bertanya, bukan bermaksud untuk mengejek mamanya, tapi dia benar-benar bertanya."Kata siapa kurus? Nggak ah," elak Ipah. "Oh, mungkin badan Mama susut karena udah semakin tua."Embun manggut-manggut. "Mama jaga kese