"Tuh kan, Mama bilang juga apa. Gio itu cinta mati banget sama kamu, Embun. Kamunya aja yang ngeyel dibilangin, makanya nurut apa kata orang tua, kayak gitu kan kamu sendiri yang tersiksa," cibir Ipah dari ujung sana.Embun tak menjawab, dia hanya bisa meringis pelan karena mendengar serentetan ocehan yang mamanya berikan.Dua tahun ini memang mereka tak bertemu, akan tetapi antara mama dan anak itu tak pernah putus komunikasi.Awalnya, mama Embun sama sekali tak menyetujui ide Embun yang begitu konyol itu, menurut Ipah sama saja Embun telah mempermainkan pernikahan. Akan tetapi dia juga tidak ingin terlalu mengekang anaknya, jadi dia membiarkan Embun berbuat semaunya. Toh anaknya itu sudah dewasa, jadi bisa memilih yang mana yang terbaik untuk diri sendiri."Untung aja dia cinta mati sama kamu, kalau nggak mampus lah kamu itu. Mana ada yang mau sama kamu selain Gio.""Ma," erang Embun. Dia memijit kepalanya yang terasa berdenyut karena lagi-lagi mamanya mengoceh tak jelas. "Gini-gini
"Mas," panggil Embun dengan suara pelan.Gio mendongak, matanya yang tadinya fokus pada layar ponselnya kini beralih pada Embun, dia tersenyum lebar."Kenapa, Sayang? Sini duduk," ujar pria itu seraya menepuk sofa di sebelahnya agar istrinya duduk di dekatnya."Lagi ngapain, Mas?" tanya Embun penasaran. "Kayaknya sibuk banget ya.""Nggak juga, cuma lagi mantau aja progres pembangunannya sampai mana. Kenapa, Sayang?""Nggak apa-apa, Mas. Emangnya Mas yakin sama keputusan yang Mas buat? Hidup sederhana itu nggak mudah loh, Mas. Apalagi, kan, Mas udah terbiasa hidup mewah dari kecil."Gio tersenyum mendengarnya. Dia memeluk pinggang istrinya begitu erat. "Nggak apa-apa, hidupku bakal baik-baik saja asal kamu selalu ada di sampingku. Kamu masih meragukan ku, hem?"Embun menggeleng dengan cepat. "Nggak ragu, cuma aku takut Mas nggak akan sanggup menjalaninya nanti.""Kata siapa? Aku sanggup kok. Harusnya yang aku takutkan itu kamu. Takut kamu pergi lagi ninggalin aku. Mulai sekarang kamu
"Mas kalau sibuk mending nggak usah ikut deh, aku bisa sendiri kok ke sana."Gio menatap istrinya itu dengan sebal. "Kenapa bilangnya kayak gitu terus sih? Curiga nih aku jangan-jangan kamu sembunyikan sesuatu dari aku ya?" tebak pria itu."Sembunyiin apa sih, Mas? Nggak ada yang aku tutup-tutupi dari Mas, Mas juga udah lihat sendiri, kan?" seloroh Embun.Gio tergelak mendengarnya, kalau sudah seperti itu mana bisa dia merajuk."Kamu ini ya, mau goda Mas? Ayo kalau mau, nggak usah mancing-mancing kayak gitu."Embun berdecak pelan. "Apasih, siapa juga yang goda. Ya udah kalau mau ikut ayo kita pergi, nggak usah megang ponsel terus. Katanya nggak sibuk, tapi dari tadi yang diperhatikan layar ponselnya, sampe nggak berkedip lagi ngelihatnya," cibir wanita itu."Iya, iya, Sayang. Padahal aku berusaha menjauh dari ponsel supaya bisa perhatiin kamu, tapi ternyata nggak bisa ya," keluh pria itu.Embun terenyuh mendengar suara Gio yang tampak parau, wanita itu pun mendekat ke arah suaminya, m
"Aku? Siapa?" tunjuk Gio pada dirinya sendiri. "Nggak salah kamu tanya kayak gitu ke aku? Harusnya aku yang tanya kamu itu siapa, heh? Datang-datang ke sini ganggu ketenangan orang lain, selain ganggu orang-orang yang ada di sini, kamu juga ganggu ketenangan Embun, tahu nggak?!" Bentak Gio, sifat bosy pria itu seketika kembali keluar.Dimas menatap Gio tak suka, apalagi ketika melihat pria itu ada di dalam rumah Embun. Selama dia kenal dengan wanita itu, dia sama sekali tidak diperbolehkan untuk masuk, pasti setiap bertamu di rumah Embun, wanita itu menyuruh untuk duduk di luar saja.Kalau Dimas bertanya alasannya apa, wanita itu selalu menjawab dia tidak ingin menimbulkan fitnah.'Sial! Apa dia itu suaminya? Jadi mereka udah baikan?' batin Dimas.Melihat Dimas seperti itu, Embun tidak tega melihatnya, akan tetapi kalau dia membela pria itu, sudah pasti nanti Gio akan berpikir yang tidak-tidak dan jelas saja akan terjadi kesalahpahaman."Kenapa diam aja? Jawab dong kalau orang lagi na
"Ih, kok kamu makin kurus aja sih, Embun."Datang-datang bukannya disambut dengan pelukan hangat, mamanya malah bicara seperti itu, membuat mood Embun seketika jelek.Gio yang mendengarnya pun tertawa pelan. "Selama ini dia selalu kepikiran sama aku, Ma, makanya jarang banget dia makan. Tapi Mama tenang aja, aku bakal bikin Embun gemuk lagi kok, bahkan lebih gemuk dari yang kemarin," seloroh Gio.Mata Embun mendelik. "Apaan sih, Mas.""Iya, Mama setuju sama kamu, Gio. Bikin gemuk juga di perutnya itu," usul Ipah."Siap, Ma. Kalau itu nggak usah disuruh juga pasti bakal aku lakukan," timpal Gio lagi."Aish!" Embun garuk-garuk kepala karena tidak paham apa yang tengah mereka bicarakan. "Mama apa kabar? Sehat, kan? Kok Mama juga terlihat tampak kurusan sih?" Wanita itu balik bertanya, bukan bermaksud untuk mengejek mamanya, tapi dia benar-benar bertanya."Kata siapa kurus? Nggak ah," elak Ipah. "Oh, mungkin badan Mama susut karena udah semakin tua."Embun manggut-manggut. "Mama jaga kese
"Heh! Kenapa baru muncul?" tanya Mimi seraya berkacak pinggang.Embun tertawa lirih. "Oh, jadi kedatanganku ini nggak diterima nih? Ya udah kalau gitu aku pulang aja deh," ucap wanita itu pura-pura merajuk."Eh, jangan gitu dong. Ya udah ayo masuk, masuk." Mimi pun mempersilakan Embun dan Gio masuk ke dalam rumahnya.Sepasang suami istri itu pun mengikuti sang tuan rumah masuk ke dalam rumah itu."Maaf ya rumahnya lagi berantakan, akunya lagi malas beres-beres, eh nggak tahunya kedatangan tamu yang nggak kuduga-duga. Tahu gitu kan dari tadi malam aku beres-beres," ringis Mimi."Santai aja kali, lagian kami ini bukan tamu penting, tujuanku ke sini cuma mau silahturahmi aja, sekalian mau tahu kabar kamu kayak gimana," celetuk Embun."Bukan tamu penting apa maksud kamu? Kalian itu tamu penting, apalagi Pak Gio, hehehe. Maaf ya, Pak, saya menjamu Anda dengan ala kadarnya saja," kata wanita itu seraya menundukkan kepalanya.Gio tampak mengibas-ngibaskan tangannya. "Saya bukan atasan kamu l
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu