"Untuk apa Mama datang ke sini?" tanya Gio to the poin.
"Mama benar-benar kecewa sama kamu. Kenapa setiap wanita yang datang ke sini, selalu kamu tolak?"Fokus Gio langsung buyar, kali ini dia menatap wanita paruh baya itu dengan kesal. Rena, itulah nama mamanya yang selalu saja membuat dirinya jengkel. Bagaimana tidak, wanita itu selalu mendesaknya untuk segera menikah."Aku sudah pernah bilang, kalau aku nggak bakalan menikah!" tandas pria itu.Rena menggeleng tak setuju. "Sebenarnya kamu ini kenapa? Kenapa menikah saja tidak mau?" tanyanya dengan kesal. "Mama sudah membawakan wanita untuk kamu, mungkin kalau semuanya dihitung ada ratusan, tapi dari satu di antara mereka kenapa tidak ada yang kamu pilih?"Gio menyugar rambutnya dengan kasar, ingin sekali dia mengumpat ataupun berkata kasar, tapi selalu dia urungkan karena menyadari yang ada di hadapannya itu bukan orang lain, melainkan mamanya sendiri."Karena aku nggak suka sama mereka, mereka semua bukan tipeku.""Lalu kamu mau mencari yang seperti apa? Tinggal bilang saja, nanti Mama yang carikan."Gio mendengkus sebal. "Mama ini kenapa sih, yang dipikiran Mama itu cuma nikah, nikah, nikah terus. Kenapa nggak Mama aja yang nikah. Aku mau fokus kerja, masalah nikah itu urusan belakangan," sahutnya ketus.Rena menghela napas panjang, menatap anaknya dengan sedih. Banyak yang bilang kalau anaknya itu tidak suka dengan wanita, itu yang wanita itu takutkan. Dan sekarang ketakutannya pun akhirnya terjadi, sudah banyak dia mendatangkan wanita untuk Gio, pria itu tetap saja menolaknya."Mama hanya takut dengan rumor yang beredar kalau kamu itu tidak suka dengan--""Dan Mama percaya dengan gosip murahan itu?" sela Gio cepat.Rena terdiam, membuat Gio tersenyum sinis. "Lihat, Mama saja meragukanku.""Kalau kamu memang suka dengan wanita, buktikan hal itu pada Mama. Bisa?"Gio terdiam cukup lama, sepertinya tengah memikirkan sesuatu, dia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, hingga akhirnya pria itu tersenyum miring ketika nama Embun terlintas dipikirannya."Oke," jawab pria itu pada akhirnya.Rena menatap anaknya penuh curiga. "Jangan membohongi Mama.""Siapa? Mama nuduh aku?" tanya Gio heran."Oke, Mama kasih waktu tiga hari. Kalau kamu nggak bisa buktikan, berarti rumor yang beredar kalau kamu suka dengan sesama jenis berarti benar."Diam-diam Gio mengepalkan tangannya, jelas saja dia tidak terima dikatakan seperti itu, tapi dia juga tidak bisa mengelak. Maka hal yang dia lakukan adalah diam seribu bahasa."Wanita tadi. Aku menyukainya."Rena mengerutkan keningnya, berpikir cukup lama. Kemudian dia tersenyum tipis."Wanita yang bernama Siska? Ya, dia memang cantik, selain cantik, dia juga model, karirnya bagus dan--""Bukan yang itu," sela Gio cepat."Haduh, yang mana dong. Clara, Diana, Shella, Yolanda atau--""Yang terakhir kalinya dia datang ke sini, tadi kalian juga berpapasan di depan pintu," sahut Gio, pria itu sepertinya jengah karena mendengar mamanya begitu bersemangat menyebut nama wanita-wanita itu."Office girl?"Gio mengangguk, membuat mulut Rena menganga lebar. "Office girl? Kamu serius?""Kenapa? Mama nggak percaya?""Office girl? Oh ya Tuhan, kamu jatuh cinta dengan dia?""Kenapa? Ada yang salah?""Jelas aja ada yang salah. Kalian beda kasta. Ingat, kamu itu keluarga terpandang, sedangkan dia?""Intinya sama-sama manusia, kan? Sama-sama makan nasi, sama-sama kalau malam tidur, dia bukan monster dan juga bukan hantu. Ingat, Ma, sama-sama manusia!" tekan Gio."Tapi--""Aku suka dengan dia!"Rena manggut-manggut, dia harus pura-pura memahami apa yang dirasakan oleh anaknya."Jadi, siapa namanya? Kamu bilang tadi kalau kamu menyukainya? Pasti dia juga suka sama kamu, kan?" pancing wanita paruh baya itu.Gio berdeham sejenak. "Untuk masalah itu, aku rasa Mama tidak perlu tahu. Jadi sekarang Mama sudah percaya, kan, kalau aku menyukai wanita? Bukan sesama jenis.""Sebenarnya belum sepenuhnya percaya. Kalau kamu memang menyukai wanita itu, Mama tantang kamu untuk menikah dengannya."Gio mengeraskan rahangnya, dan itu terlihat begitu jelas dari pandangan Rena. Wanita itu sangat yakin jika Gio tidak akan melakukannya. Namun, senyuman wanita itu sirna ketika mendengar jawaban dari Gio."Oke, tunggu tiga hari ke depan, atau paling lama satu minggu, aku akan segera menikahinya," ujar Gio mantap.Rena langsung berdiri dari duduknya, dia benar-benar tidak terima jika Gio menyanggupi permintaannya. Masalahnya wanita itu sama sekali tidak setara dengan anaknya, bagaimana bisa mereka akan menikah? Apa reaksi orang-orang ketika mengetahui hal itu? Bukankah itu akan mencoreng nama keluarga mereka?"Kamu serius dengan niatmu itu?" tanya Rena serius."Ya, aku akan buktikan ke kalian semua kalau aku ini menyukai wanita."Rena menghela napas panjang. "Baiklah, aku tunggu kabar membahagiakan itu. Aku akan pulang."Gio mengangguk. "Hati-hati di jalan, Ma. Maaf aku tidak bisa mengantar, karena aku benar-benar sibuk."Rena memakluminya, wanita paruh baya itu melangkah ke luar, tepat di ambang pintu, dia menoleh ke belakang. "Siapa nama wanita itu?"Gio menatap kembali mamanya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Untuk apa Mama menanyakan hal itu?""Aku hanya ingin tahu saja namanya, memangnya tidak boleh?"Gio manggut-manggut, dalam hatinya menduga jika mamanya akan melakukan sesuatu pada wanita itu. Sebelum hal itu terjadi, Gio dengan cepat mengambil ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu di sana."Namanya Embun."Rena tersenyum tipis, wanita itu langsung melenggang pergi tanpa meninggalkan kata-kata lagi.Melihat mamanya sudah tidak ada lagi di ruangannya, membuat Gio bernapas lega."Wanita, wanita, dan wanita. Kenapa mereka selalu merepotkan?" keluh pria itu.***"Di sini siapa yang namanya Embun."Semua karyawan yang tengah bekerja langsung terhenti, mereka serempak menatap wanita paruh baya itu."Dia tidak ada di sini, Bu. Mungkin tengah bersih-bersih di bagian gudang," ucap salah satu dari mereka."Di antara kalian, bisa antarkan aku untuk bertemu dengannya?"Karyawan tersebut saling pandang satu sama lain. Heran saja, setahu mereka Embun adalah karyawan baru yang menjabat sebagai office girl. Lantas untuk apa orang tua bosnya mencari wanita itu?"Mari saya antar, Bu."Salah satu dari mereka pun mengantar Rena untuk bertemu dengan Embun."Ruangannya ada di sini, Bu. Mungkin Embun sedang ada di dalam, kalau begitu saya permisi," ucap wanita itu.Rena mengangguk, dia membiarkan karyawan itu pergi meninggalkannya. Rena membuka pintu gudang itu, dia melihat Embun tengah merapikan kardus-kardus dengan cekatan."Ehem!"Embun menoleh ke arah sumber suara, sedikit terkejut karena ternyata ada wanita paruh baya yang sedang menatapnya. Dia buru-buru mendekati wanita itu."Halo, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Embun ramah.Rena mendengkus keras. "Langsung saja, aku tidak suka basa-basi, jadi kamu butuh uang berapa?"Dahi Embun berkerut heran. "Maksudnya gimana, Bu?""Kamu butuh uang berapa? Katakan saja, aku akan memberikan uang itu, dengan syarat jauhi anakku!""Hah?""Tunggu dulu, Buk, ini maksudnya gimana ya? Setahu saya, saya tidak pernah dekat-dekat dengan lelaki manapun," kata Embun dengan raut wajah bingung."Jangan bohong, anakku sendiri yang bilang kalau dia menyukaimu."Embun menggaruk kepalanya, menoleh ke sana-sini, mencari jawaban apa yang tepat untuk wanita itu."Masalahnya saya nggak tahu siapa yang bicara seperti itu. Beneran deh, suer, saya tidak pernah dekat-dekat dengan pria manapun," kata Embun sungguh-sungguh.'Idih, udah kayak nggak laku aja aku ngomong kayak gitu,' cibir wanita itu dalam hati.Rena menatap Embun dari atas sampai bawah, tak lama setelah itu dia geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa Gio menyukai gadis berpenampilan sederhana seperti itu, padahal di luar sana banyak yang lebih cantik dari Embun. Tapi herannya malah ditolak mentah-mentah oleh anaknya."Aku benar-benar nggak habis pikir kenapa anakku bisa menyukaimu, aku yakin pasti kamu berusaha untuk menggodanya, kan? Pasti kamu bermimpi untuk menikah dengan dia,
Sudah beberapa hari ini Embun tidak masuk kerja. Alasannya karena dia enggan bertemu dengan bosnya yang bernama Gio itu. Kejadian waktu itu membuat dirinya membenci pria itu.Semua rasa kagum yang pernah ia lontarkan pada pria itu, dia tarik kembali karena ternyata Gio adalah laki-laki yang begitu licik."Aduh, pengin kerja. Capek juga kalau nganggur kayak gini terus di rumah. Tapi kalau kerja, males juga ketemu sama bos yang rese itu. Ngajakin nikah, tapi caranya kayak gitu, malah jebak aku seolah-olah aku yang melamar dia. Gila nggak tuh, ya aku mana mau," gerutu wanita itu.Tok ... tok ... tok ...Embun mendengkus keras ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya itu."Itu siapa lagi yang datang, masa iya ibu kos nagih bayar kos-kosan, perasaan bulan ini aku udah bayar deh," gerutu wanita itu seraya bangkit dari ranjangnya dan kehaluan yang sempat tadi dia pikirkan pun langsung musnah.Ketika Embun sudah membukakan pintu, matanya seketika membulat karena melihat kedatangan bosnya, Gio
"Kamu tidak ingin bertanya kita akan pergi ke mana?"Embun berdeham sejenak, sebenarnya dari tadi juga dia sangat ingin menanyakan hal itu, tapi dia sama sekali tidak memiliki keberanian. Jangankan untuk bertanya, menatap wajah pria itu saja mana mungkin Embun berani. Karena menurutnya pria itu begitu seram."Memangnya kita mau pergi ke mana, Pak?" tanya wanita itu pada akhirnya."Perlukah aku menjawab? Kamu tidak usah terlalu kepo dengan urusanku," sahut pria itu sinis.Embun memutar bola matanya malas.'Tau gitu kenapa tadi nawarin pertanyaan. Sakit sekali dengarnya, yang tadi dia bilang aku jelek aja sakitnya masih membekas, lah dia malah bikin lagi yang baru,' batin wanita itu. "Tapi, Pak. Saat ini posisinya Anda sedang membawa saya, jadi saya berhak tahu hal itu," kata wanita itu tak terima. "Yang nyupir itu aku, kamu cuma duduk anteng gitu kok banyak protes," ucap Gio sinis. Diam-diam Embun mengepalkan tangannya, jelas saja dia geregetan dengan tingkah Gio yang menurut wanita
Brak!"Astaga!" pekik Embun, wanita itu terkejut karena Rika membuka pintu ruangan itu cukup keras. "Buka pintunya bisa pelan-pelan nggak sih?" tanya wanita itu ketus.Bukannya menjawab, Rika malah berkacak pinggang, seolah tengah menantang Embun."Hebat ya jadi kamu. Udah lebih dari empat hari nggak kerja, tapi sama sekali nggak punya muka. Kamu sama sekali nggak merasa bersalah gitu? Baru aja kerja di sini, udah berani bolos banyak. Awas aja, aku bakal kasih tahu kamu sama bos, biar kamu dipecat sama dia," ancam wanita itu.Embun mengedikkan bahunya acuh. "Kasih tahu aja, siapa takut," jawabnya cuek."Oh, jadi kamu nantangin aku? Nggak takut kalau aku kasih tahu beneran? Baiklah, aku akan memberitahukan hal ini pada bos ,biar tahu rasa kamu. Suruh siapa belagu banget jadi orang," ujar Rika seraya berkacak pinggang."Ya sana kalau berani. Nih, aku kasih tahu kamu satu rahasia besar ya, tapi jangan bilang sama siapa-siapa. Sebenarnya aku ini ada hubungan khusus sama bos," bisik Embun
Tok ... tok ... tok ...Gio membanting pulpen yang ada ditangannya itu dengan kasar. Sudah dia bilang, kan, kalau dia sedang bekerja, dia sama sekali tidak suka diganggu.Lantas kenapa sedari tadi selalu saja ada yang mengganggunya?"Masuk!" kata pria itu dengan suara nyaring.Tak lama setelah Gio mengatakan hal itu, pintu ruangannya itu langsung terbuka dengan lebar."Ini dia, Pak, orangnya, yang tadi ngaku-ngaku kalau dia mempunyai hubungan khusus dengan Anda," adu Rika seraya menarik tangan Embun agar segera mendekat ke arah pria itu."Rika! Kamu ini apaan sih, bisa nggak sih jangan rese jadi orang," kata Embun tak terima."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang seperti itu? Kamu juga tadi sempat nantangin aku, kan? Giliran udah aku aduin kenapa kamu jadi ketakutan seperti itu?" tanya Rika dengan senyum remeh."Kekanak-kanakan tahu nggak?""Bodo amat, yang penting kamu udah aku aduin, suruh siapa nantangin aku. Tahu sendiri, kan, akibatnya."Gio yang mendengar perdebat
"Kenapa wajahmu nggak enak dipandang seperti itu?" tanya teman Embun yang bernama Mimi. Embun mendengkus keras. "Lagi bete. Bete banget. Siapa yang nggak kesal coba kalau aku dibilang jelek terus. Memang nyebelin tuh orang, pantas aja sampai sekarang belum nikah-nikah, kalau ngomong aja nggak pake perasaan," celetuk wanita itu. "Kamu dibilang jelek? Sama siapa?" tanya Mimi, tampak begitu penasaran. "Adalah pokoknya, terlalu bagus kalau aku sebut namanya." "Cewek atau cowok?" "Cowok, tapi kalau ngomong itu ngelebihin kayak cewek. Suka nyelekit." Mulut Mimi menganga lebar. "Cowok? Jarang-jarang loh ada cowok yang bilang wanita itu jelek, kebanyakan dari mereka itu kan suka lebay, suka goda-goda cewek, apalagi kalau ada maunya, rayuan mautnya pasti langsung keluar." Embun mengedikkan bahu. "Iya, menurutku memang cuma dia yang kayak gitu. Cowok langka, nyebelin juga sih," timpal wanita itu. "Aku jadi penasaran, siapa sih orangnya, atau jangan-jangan gebetan kamu ya? Cowok yang kam
Semenjak Embun memergoki Gio yang saat itu tengah bersama seorang wanita, hidup Embun sudah tidak bisa dikatakan tentram lagi.Gio selalu bilang ke orang-orang kalau Embun dan pria itu akan menikah. Sungguh konyol bukan? Padahal sampai saat ini Embun sendiri belum menyetujui permintaan pria itu.Namun dasarnya Gio itu pria yang begitu licik, ada saja yang membuat Embun tidak bisa berkutik sedikitpun olehnya.Video yang waktu itu Embun disuruh memperagakan permainan Gio bagaimana caranya melamar seseorang akhirnya tersebar juga.Malu? Jangan ditanya lagi, itu sudah sangat jelas. Orang-orang mengira jika Embun lah yang mengejar-ngejar Gio, melamar pria itu dengan tidak tahu malunya. Padahal itu sama sekali tidak benar.Seandainya saja waktu itu Embun tidak pernah menolak ajakan Gio untuk mempersiapkan pernikahan mereka, pasti kejadiannya tidak seperti ini.Embun tidak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa dirinya yang selalu kena imbasnya.Akibat tersebarnya video itu, Embun tak bera
"Halo, Ma. Ini aku lagi di jalan, mau pulang." Ketika sambungan teleponnya itu sudah diangkat oleh mamanya, Embun langsung bicara to the poin. "Loh, loh, loh. Kok dadakan begini. Apa kamu nggak betah kerja di sana? Atau jangan-jangan kamu udah dikeluarin dari perusahaan itu? Kamu ini gimana sih, Embun. Cari kerjaan itu susah, coba kalau dapat kerjaan itu di eman-eman. Ini belum ada satu bulan kerja udah mau pulang aja. GImana mau dapat gaji kalau gitu," cerocos mama Embun yang bernama Ipah. Embun memijat pelipisnya secara perlahan. Mamanya memang seperti itu, selalu berasumsi sendiri tanpa menunggu penjelasan Embun terlebih dahulu. Kalau kebanyakan orang bilang mama Embun sangat cerewet. Ya, Embun akui itu, tapi kasih sayang mamanya ke Embun lebih besar dari sifat cerewetnya itu. "Ma, makanya kalau aku belum selesai ngomong didengar dulu. Mama ih, kebiasaan loh," gerutu wanita itu. "Terus alasan kamu pulang ke rumah kenapa?" tanya Ipah kemudian. "Itu ... aku cuma pengen pulang aj