Brak!"Astaga!" pekik Embun, wanita itu terkejut karena Rika membuka pintu ruangan itu cukup keras. "Buka pintunya bisa pelan-pelan nggak sih?" tanya wanita itu ketus.Bukannya menjawab, Rika malah berkacak pinggang, seolah tengah menantang Embun."Hebat ya jadi kamu. Udah lebih dari empat hari nggak kerja, tapi sama sekali nggak punya muka. Kamu sama sekali nggak merasa bersalah gitu? Baru aja kerja di sini, udah berani bolos banyak. Awas aja, aku bakal kasih tahu kamu sama bos, biar kamu dipecat sama dia," ancam wanita itu.Embun mengedikkan bahunya acuh. "Kasih tahu aja, siapa takut," jawabnya cuek."Oh, jadi kamu nantangin aku? Nggak takut kalau aku kasih tahu beneran? Baiklah, aku akan memberitahukan hal ini pada bos ,biar tahu rasa kamu. Suruh siapa belagu banget jadi orang," ujar Rika seraya berkacak pinggang."Ya sana kalau berani. Nih, aku kasih tahu kamu satu rahasia besar ya, tapi jangan bilang sama siapa-siapa. Sebenarnya aku ini ada hubungan khusus sama bos," bisik Embun
Tok ... tok ... tok ...Gio membanting pulpen yang ada ditangannya itu dengan kasar. Sudah dia bilang, kan, kalau dia sedang bekerja, dia sama sekali tidak suka diganggu.Lantas kenapa sedari tadi selalu saja ada yang mengganggunya?"Masuk!" kata pria itu dengan suara nyaring.Tak lama setelah Gio mengatakan hal itu, pintu ruangannya itu langsung terbuka dengan lebar."Ini dia, Pak, orangnya, yang tadi ngaku-ngaku kalau dia mempunyai hubungan khusus dengan Anda," adu Rika seraya menarik tangan Embun agar segera mendekat ke arah pria itu."Rika! Kamu ini apaan sih, bisa nggak sih jangan rese jadi orang," kata Embun tak terima."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang seperti itu? Kamu juga tadi sempat nantangin aku, kan? Giliran udah aku aduin kenapa kamu jadi ketakutan seperti itu?" tanya Rika dengan senyum remeh."Kekanak-kanakan tahu nggak?""Bodo amat, yang penting kamu udah aku aduin, suruh siapa nantangin aku. Tahu sendiri, kan, akibatnya."Gio yang mendengar perdebat
"Kenapa wajahmu nggak enak dipandang seperti itu?" tanya teman Embun yang bernama Mimi. Embun mendengkus keras. "Lagi bete. Bete banget. Siapa yang nggak kesal coba kalau aku dibilang jelek terus. Memang nyebelin tuh orang, pantas aja sampai sekarang belum nikah-nikah, kalau ngomong aja nggak pake perasaan," celetuk wanita itu. "Kamu dibilang jelek? Sama siapa?" tanya Mimi, tampak begitu penasaran. "Adalah pokoknya, terlalu bagus kalau aku sebut namanya." "Cewek atau cowok?" "Cowok, tapi kalau ngomong itu ngelebihin kayak cewek. Suka nyelekit." Mulut Mimi menganga lebar. "Cowok? Jarang-jarang loh ada cowok yang bilang wanita itu jelek, kebanyakan dari mereka itu kan suka lebay, suka goda-goda cewek, apalagi kalau ada maunya, rayuan mautnya pasti langsung keluar." Embun mengedikkan bahu. "Iya, menurutku memang cuma dia yang kayak gitu. Cowok langka, nyebelin juga sih," timpal wanita itu. "Aku jadi penasaran, siapa sih orangnya, atau jangan-jangan gebetan kamu ya? Cowok yang kam
Semenjak Embun memergoki Gio yang saat itu tengah bersama seorang wanita, hidup Embun sudah tidak bisa dikatakan tentram lagi.Gio selalu bilang ke orang-orang kalau Embun dan pria itu akan menikah. Sungguh konyol bukan? Padahal sampai saat ini Embun sendiri belum menyetujui permintaan pria itu.Namun dasarnya Gio itu pria yang begitu licik, ada saja yang membuat Embun tidak bisa berkutik sedikitpun olehnya.Video yang waktu itu Embun disuruh memperagakan permainan Gio bagaimana caranya melamar seseorang akhirnya tersebar juga.Malu? Jangan ditanya lagi, itu sudah sangat jelas. Orang-orang mengira jika Embun lah yang mengejar-ngejar Gio, melamar pria itu dengan tidak tahu malunya. Padahal itu sama sekali tidak benar.Seandainya saja waktu itu Embun tidak pernah menolak ajakan Gio untuk mempersiapkan pernikahan mereka, pasti kejadiannya tidak seperti ini.Embun tidak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa dirinya yang selalu kena imbasnya.Akibat tersebarnya video itu, Embun tak bera
"Halo, Ma. Ini aku lagi di jalan, mau pulang." Ketika sambungan teleponnya itu sudah diangkat oleh mamanya, Embun langsung bicara to the poin. "Loh, loh, loh. Kok dadakan begini. Apa kamu nggak betah kerja di sana? Atau jangan-jangan kamu udah dikeluarin dari perusahaan itu? Kamu ini gimana sih, Embun. Cari kerjaan itu susah, coba kalau dapat kerjaan itu di eman-eman. Ini belum ada satu bulan kerja udah mau pulang aja. GImana mau dapat gaji kalau gitu," cerocos mama Embun yang bernama Ipah. Embun memijat pelipisnya secara perlahan. Mamanya memang seperti itu, selalu berasumsi sendiri tanpa menunggu penjelasan Embun terlebih dahulu. Kalau kebanyakan orang bilang mama Embun sangat cerewet. Ya, Embun akui itu, tapi kasih sayang mamanya ke Embun lebih besar dari sifat cerewetnya itu. "Ma, makanya kalau aku belum selesai ngomong didengar dulu. Mama ih, kebiasaan loh," gerutu wanita itu. "Terus alasan kamu pulang ke rumah kenapa?" tanya Ipah kemudian. "Itu ... aku cuma pengen pulang aj
"Mama sama sekali nggak ngelarang aku nikah sama dia?" tanya Embun memastikan.Saat ini mereka sedang ada di dapur, tengah menyiapkan makanan yang akan dia hidangkan untuk calon suaminya itu. Cielah, calon suami? Bahkan Embun saja sama sekali tidak dikasih kesempatan untuk menyanggah pembicaraan antara Gio dan mamanya itu."Nggak, justru Mama sangat setuju kalau kalian akan menikah besok," kata Ipah dengan penuh semangat. "Ah, pasti para tetangga pada heboh kalau tahu anak aku akan menikah besok, apalagi calon suaminya ganteng, tajir lagi. Pasti banyak yang iri tuh."Embun mendengkus keras, mamanya benar-benar tidak bisa diajak kerjasama, apalagi kalau udah menyangkut masalah uang, pasti begitu silau. Padahal Ipah sendiri belum tahu seperti apa karakter dari Gio, tapi kenapa dia begitu yakin dan sangat setuju melihat anaknya menikah dengan pria itu?"Ma, Mama itu belum terlalu mengenal Gio loh, masa Mama langsung percaya aja sih sama dia. Kenapa Mama begitu gampangnya mengiyakan permi
Embun menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin dengan pandangan kosong. Hari ini dia sangat begitu cantik dengan memakai balutan gaun yang menurutnya begitu mahal. Namun bukan itu yang ada dipikirannya, akan tetapi mulai detik ini dia sudah resmi menjadi istri Gio.Semua itu sama sekali tidak pernah Embun bayangkan. Dari awal niat Embun datang ke kota ini hanya untuk mencari pekerjaan, agar bisa mempunyai uang untuk kebutuhan dirinya sendiri, dan juga memberikan uang pada mamanya dari hasil kerja kerasnya, setidaknya itu yang selama ini dia pikirkan, jodoh sama sekali tidak dalam daftar pemikirannya, tapi sialnya kenapa dia bisa menikah secepat ini? Bukankah ini terlalu terburu-buru? Anehnya Embun sama sekali tidak bisa mengelak.Padahal bisa saja dia kabur, pergi entah ke mana, atau cari cara lain agar Gio tidak jadi menikahinya, harusnya dia berpikir ke arah sana, kan? Tapi kenapa setelah Embun dan Gio sudah resmi menjadi suami-istri, kenapa dia baru berpikiran seperti itu?"Ini
Embun tidur dengan gelisah, dia sama sekali tidak nyaman memakai baju seperti itu. Ditambah lagi badannya terasa sakit karena tidur di lantai. Gio benar-benar tidak mempunyai rasa kasihan padanya. Pria itu malah asyik tidur di atas ranjang, sedangkan dirinya begitu menderita.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi namanya Embun, dia itu tidak bisa tidur tempatnya hanya sedikit, dia perlu yang luas-luas, jadi dia memutuskan untuk tidur di bawah saja."Udah hawanya dingin, ditambah pake baju kayak gini, tambah doble lah ini dinginnya. Ish, apa nggak ada baju lain selain ini? Bisa-bisa masuk angin aku kalau kayak gini," keluh wanita itu.Wanita itu melirik ke arah Gio. Tiba-tiba saja Embun mempunyai pikiran untuk tidur di samping pria itu, baru saja dia bangun untuk pindah ke ranjang, seketika dia kembali mengingat kejadian tadi waktu Gio menendangnya dengan keras karena Embun mencoba tidur di dekatnya. Akhirnya niat itu pun dia urungkan.'Ck! Gini amat deh hidup aku. Nggak ada be
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu