Embun tidur dengan gelisah, dia sama sekali tidak nyaman memakai baju seperti itu. Ditambah lagi badannya terasa sakit karena tidur di lantai. Gio benar-benar tidak mempunyai rasa kasihan padanya. Pria itu malah asyik tidur di atas ranjang, sedangkan dirinya begitu menderita.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi namanya Embun, dia itu tidak bisa tidur tempatnya hanya sedikit, dia perlu yang luas-luas, jadi dia memutuskan untuk tidur di bawah saja."Udah hawanya dingin, ditambah pake baju kayak gini, tambah doble lah ini dinginnya. Ish, apa nggak ada baju lain selain ini? Bisa-bisa masuk angin aku kalau kayak gini," keluh wanita itu.Wanita itu melirik ke arah Gio. Tiba-tiba saja Embun mempunyai pikiran untuk tidur di samping pria itu, baru saja dia bangun untuk pindah ke ranjang, seketika dia kembali mengingat kejadian tadi waktu Gio menendangnya dengan keras karena Embun mencoba tidur di dekatnya. Akhirnya niat itu pun dia urungkan.'Ck! Gini amat deh hidup aku. Nggak ada be
Embun mengerjapkan matanya berkali-kali, pertanda kalau dia sudah bangun dari tidurnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi adalah posisi Embun saat ini tengah memeluk tubuh Gio. Buru-buru wanita itu langsung menjauh dari suaminya itu."Gila! Kenapa aku jadi meluk dia. Perasaan bantal guling udah aku taruh di tengah deh, kok aku bisa melipir ke sini," gumam wanita itu seraya garuk-garuk kepala. "Eh, tapi nggak apa-apa deh, namanya juga nggak sadar, semoga aja dia juga nggak nyadar. Jam berapa ini, kok masih ngantuk ya?"Embun melirik ke arah jam yang ada di dinding dengan malas, ketika mengetahui masih jam tiga pagi, akhirnya dia memutuskan untuk tidur lagi.Baru saja dia ingin memejamkan mata, tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara berat seorang lelaki."Kau harus bertanggung jawab."Embun tersentak. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja Gio katakan.'Tanggung jawab? Emangnya aku habis ngapain? Yakali aku habis menyetubuhi dia makanya dia bilang seperti itu,' batin Embun."Kamu d
Kedua sejoli itu terdiam cukup lama. Apalagi Embun, wanita itu sepertinya syok ketika mengetahui sebuah fakta mengejutkan tentang Gio.Tidak bisa Embun bayangkan, nyatanya orang yang sudah bergelimang harta pun tetap mempunyai kekurangan. Embun pikir selama ini, tidak mempunyai banyak uang adalah kekurangan terbesar, nyatanya dia salah. Ternyata sebuah kekurangan itu tak melulu soal uang."Nggak, kayaknya aku tadi emang salah dengar deh." Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Embun nyeletuk seperti itu seraya terus menggeleng."Kamu nggak salah dengar, kenyataannya memang seperti itu. Selama ini aku tidak pernah dekat dengan wanita, selalu benci yang namanya wanita, itulah alasannya. Aku gay," ungkap Gio dengan penuh kejujuran."Aku tahu kalau ini hanya akal-akalan kamu aja, kan?" Rupanya Embun masih tidak mempercayai ucapan Gio."Aku serius, Embun.""Lalu kalau kamu memang gay ... kenapa harus menikahiku?" tanya wanita itu kemudian dengan sorot tak terbaca."Karena aku percaya sama ka
"Kamu tahu nggak, suami kamu itu so sweet banget sih. Beruntung banget kamu punya laki kayak dia," ucap Mimi penuh kagum ketika melihat aksi Gio tadi yang tengah mendatangi Embun. Embun tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh. Rasanya enggan membahas tentang pria itu. 'Di depan banyak orang dia memang seperti itu, tapi kalau di belakang ... entahlah. Bahkan aku juga bingung dengan tingkah dia. Lebih-lebih lagi waktu dia mengaku pecinta sesama jenis. Ya Tuhan! Rasanya nyesek banget. Tapi omong-omong dia, kan, udah ngaku kayak gitu. Kira-kira pasangan pria itu siapa ya? Atau jangan-jangan dia kerja juga di kantor ini?' Batin Embun bertanya-tanya. "Heh!" Embun terlonjak kaget ketika mendengar bentakan Mimi. "Kamu ini kenapa sih, dari tadi aku ajak ngomong kok malah bengong?" tanya wanita itu heran. Embun meringis pelan. "Siapa juga yang bengong," elaknya. "Itu barusan apa? Lagian kamu ini ya, katanya pengantin baru, tapi dari raut wajahnya kenapa nggak ada senang-senangny
"Ini seriusan aku disuruh nguras air kolam ini? Kok Gio kebangetan ya jadi orang," gerutu Embun. Wanita itu terus meringis ketika melihat kolam itu tampak besar. "Kalau kayak gini kapan selesainya coba, gede banget. Seharian pun belum tentu selesai.""Loh, Non, ngapain di sini?"Embun langsung menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang wanita paruh baya tengah menatapnya dengan tatapan heran."Oh, nggak. Saya cuma ... cuma mau lihat-lihat aja, hehehehe," jawab wanita itu salah tingkah."Oh, saya kira kenapa. Kalau Non butuh bantuan atau kalau perlu apa-apa, langsung bilang aja sama saya, jangan sungkan ya, Non."Embun mengangguk. "Iya, kalau boleh tahu, namanya siapa?" tanya Embun penasaran."Panggil aja Bik Sum. Non butuh bantuan?""Bik Sum udah tahu saya?"Wanita paruh baya itu tertawa pelan, menurutnya pertanyaan Embun sangatlah lucu."Tentu saja saya tahu. Non Embun adalah istri dari tuan Gio, siapa sih yang tidak mengenalinya. Non Embun ini ada-ada saja pertanyaannya," katanya sambi
"Kau sudah membersihkan kolamnya?" tanya Gio dengan suara datar. Embun mengerjapkan matanya berkali-kali. Baru saja Gio memuji masakannya di depan mama pria itu, lantas kenapa Gio kembali ke mode awal? 'Harusnya tadi aku nggak usah muji-muji dia. Gio tetaplah Gio, laki-laki yang begitu menyebalkan yang pernah aku temui,' gerutu wanita itu dalam hati. "Biar aku tebak, pasti kamu belum melakukannya, kan?" tanya pria itu sinis. "Bik Sum bilang air kolamnya udah dibersihkan kemarin sama pak Somat, apa perlu aku bersihkan lagi?" tanya Embun heran. "Menurutmu gimana?" Bukannya menjawab, Gio malah balik bertanya. "Ya mana aku tahu." "Gimana kalau kamu bersihkan sekarang?" Mata Embun melotot. "Kamu serius? Wah, wah, wah. Kok kamu keterlaluan sekali sih. Jadi suami jahat banget, masa tega nyuruh istri buat nguras air kolam ini. Bukannya kamu orang kaya? Kenapa nggak kamu gunakan aja buat sewa pembantu?" sarkas Embun. Kini giliran Gio yang menatap wanita itu dengan tatapan tajam. "Aku
Beberapa minggu sudah dilalui oleh Embun maupun Gio. Setelah mereka berdua memutuskan untuk pisah rumah dengan Rena, kehidupan Embun sudah mulai membaik. Tak ada lagi yang membuat hari-hari Embun menjadi suram.Memang benar yang orang katakan. Lebih baik hidup sederhana daripada bergelimang harta tapi rumah masih campur dengan mertua. Embun sangat bersyukur karena memiliki suami yang perhatian terhadapnya. Ya, meskipun Gio itu adalah ... gay. Awalnya memang Embun tak mempermasalahkan hal itu, toh menurutnya juga mereka menikah terlalu terburu-buru. Tapi semakin ke sini, semakin membuat wanita itu merasa tak tenang.Meskipun Embun tidak tinggal bersama mertuanya, sesekali Rena datang dan menanyakan kapan dirinya hamil."Kenapa wajahmu seperti itu? Jelek sekali dipandang," ujar Gio sinis.Embun menghela napas berat. "Mama chat aku lagi.""Apa katanya?""Seperti biasa," jawab wanita itu dengan lesu."Menanyakan kapan dirimu hamil?" tebak Gio.Embun menjawab dengan anggukan saja."Ngapai
"Apa maksudmu menyuruhku untuk menonton film dewasa seperti ini?" tanya Gio dengan pandangan mengernyit jijik."Untuk mengasah motorik kamu," jawab Embun asal, seraya mengunyah keripik kentang yang baru saja dibelinya tadi di supermarket."Heh! Apa kamu bilang? Mengasah motorik? Kamu pikir aku ini anak kecil yang nggak bisa apa-apa?" dengkus pria itu galak.Yang dimarahi hanya bisa nyengir lebar. "Habisnya kamu itu kalau ngomong raut wajahnya suka lempeng. Sekali-kali ngeluarin ekspresi gitu loh, biar aku tau kamu itu lagi marah, seneng, atau sedih. Jadi, kan, enak kalau nebaknya."Gio mendengkus keras. "Aku lebih baik berkutat dengan laptop dan lembaran-lembaran kertas daripada harus menonton film menjijikkan seperti ini," dengkus pria itu.Embun berdeham sejenak, tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak memakan keripik itu, matanya mengekor ke arah meja Gio, lalu secepat kilat dia mengambil dan langsung menenggaknya hingga tandas. Gio yang melihatnya hanya bisa mengernyit
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu