"Apa maksudmu menyuruhku untuk menonton film dewasa seperti ini?" tanya Gio dengan pandangan mengernyit jijik."Untuk mengasah motorik kamu," jawab Embun asal, seraya mengunyah keripik kentang yang baru saja dibelinya tadi di supermarket."Heh! Apa kamu bilang? Mengasah motorik? Kamu pikir aku ini anak kecil yang nggak bisa apa-apa?" dengkus pria itu galak.Yang dimarahi hanya bisa nyengir lebar. "Habisnya kamu itu kalau ngomong raut wajahnya suka lempeng. Sekali-kali ngeluarin ekspresi gitu loh, biar aku tau kamu itu lagi marah, seneng, atau sedih. Jadi, kan, enak kalau nebaknya."Gio mendengkus keras. "Aku lebih baik berkutat dengan laptop dan lembaran-lembaran kertas daripada harus menonton film menjijikkan seperti ini," dengkus pria itu.Embun berdeham sejenak, tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak memakan keripik itu, matanya mengekor ke arah meja Gio, lalu secepat kilat dia mengambil dan langsung menenggaknya hingga tandas. Gio yang melihatnya hanya bisa mengernyit
"Aku membencimu, Embun. Mulai hari ini aku tidak mau melihat wajahmu lagi."Embun menghela napas berkali-kali ketika mengingat ucapan Gio. Ini adalah hari ketiga setelah kejadian itu. Dia sama sekali tak menyangka jika akan terjadi seperti itu. Yang Embun pikirkan hanya ingin membantu Gio dari kubangan trauma, ya ... hanya itu saja, tidak lebih. Ingin membuat Gio menjadi pribadi yang lebih baik, untuk keluar dari zona nyaman. Namun rupanya Embun salah besar.Harusnya dia melihat kondisi Gio dulu seperti apa, barulah dia mencoba memperbaiki sifat pria itu. Kalau sudah seperti ini apa yang harus Embun lakukan? Bahkan sampai detik ini dia sama sekali tak berani untuk pulang, mengingat ucapan Gio yang begitu menakutkan."Aku tahu, yang namanya rumah tangga pasti nggak melulu tentang romantis atau manis. Ada kalanya pahit, asem, kecut dan lain sebagainya."Bulan menatap Mimi seraya mengernyit. "Kamu ngomong apa?" tanya wanita itu tak paham."Aku tahu kok. Pasti kamu sama suami kamu lagi b
"Gio, aku--""Apa kamu lupa sama apa yang aku bilang, Embun?" potong pria itu cepat."Gio, dengerin aku dulu, aku mau minta maaf. Maaf, gara-gara aku, kamu kembali mengingat masa lalumu. Aku benar-benar minta maaf," ucap wanita itu dengan penuh sesal.Gio menghela napas berat. Sejujurnya dia masih kesal dengan Embun, tetapi melihat bagaimana raut wajah wanita itu, entah kenapa dia merasa tidak enak hati."Harusnya aku lihat-lihat dulu situasinya seperti apa, kondisi kamu seperti apa, tapi aku malah ujuk-ujuk memberikan percobaan untuk kamu. Aku benar-benar menyesal karena udah membuatmu kembali mengingat kejadian masa lalu itu. Maafin aku Gio," ucap Embun dengan suara pelan."Asal kamu tahu, Embun. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan kejadian itu. Yang lebih menyedihkan aku menyembuhkan semua itu secara sendiri, tidak ada satupun yang tahu. Aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa di hadapan kedua orang tuaku dan orang-orang terdekatku. Sungguh, ketika mengingat hal itu hat
"Jadi sebenarnya kalian ini kenapa? Kok berantemnya nggak kunjung usai sih?" tanya Mimi penasaran.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. Mau curhat yang sebenarnya pada temannya pun dia rasa tidak mungkin."Entahlah, aku juga nggak ngerti," jawab Embun sekenanya."Lah, kamunya aja yang jalani pernikahan bingung, apalagi aku yang ngelihatnya, makinnya bingung. Jujur aja sih, Embun, sebenarnya kamu ini ada apa? Nggak apa-apa cerita sama aku, lagian kamu tahu sendiri, kan, aku ini orangnya mulutnya nggak bocor kok, tenang aja, aku bisa jaga rahasia kok."Embun menghela napas berat. Sebenarnya sangat ingin dia bercerita, tapi harus mulai dari mana? Saking banyaknya masalah yang dia hadapi, sampai-sampai untuk menjelaskannya pun terasa begitu susah."Nanti-nanti aja ya aku ceritanya, Mi. Sekarang isi kepalaku itu lagi penuh, rasanya mau pecah. Pengin istirahat, bisa kan?"Mimi mengangguk paham, dia sangat memahami itu, mungkin saat ini
Sedari tadi Gio terus diam, sorot matanya menandakan kalau dirinya tengah marah.Apalagi mengingat tadi ketika Embun tengah berbicara dengan seorang pria yang tidak dia kenal, tangannya mengepal erat karena terbayang bagaimana Embun tersenyum pada pria itu."Berengsek!" umpat pria itu seraya mengacak rambutnya frustrasi. "Bisa-bisanya dia tersenyum dengan pria lain tanpa beban, tapi denganku dia sama sekali tidak seperti itu," erangnya lagi.Setelah menggerutu kesal, dia pun langsung mengambil ponselnya. Ya, dia memutuskan untuk menghubungi nomor wanita itu. Siapa lagi kalau bukan istrinya, Embun.Gio semakin resah ketika sudah sampai deringan kedua, belum ada tanda-tanda Embun akan mengangkat teleponnya. Akhirnya Gio bernapas lega karena mendengar suara Embun dari ujung sana."Halo, Gio. Ada apa?" Gio mengernyit heran karena mendengar suara Embun tampak begitu cemas."Cepat datang ke kantor," titah pria itu dengan suara dingin."Kenapa?""Udah, tinggal datang aja ke sini, nggak usah
"Kau sedang apa?"Embun terlonjak kaget ketika mendengar suara Gio, saat ini dia sedang melakukan rutinitas memasak. Semua itu dia lakukan untuk Gio, karena Embun merasa pria itu sudah tak marah lagi padanya.Sebagai bentuk rasa terima kasihnya dia memutuskan untuk membuatkan sesuatu untuk pria itu, salah satunya memasak. Ya, walaupun sebenarnya dia tidak tahu makanan kesukaan pria itu apa."Aku sedang masak," jawab Embun pada akhirnya."Untuk siapa?""Kamu.""Aku?""Iya, memangnya untuk siapa lagi kalau bukan kamu?" tanya Embun heran.Gio menghela napas berat. "Sayang sekali, tadi sebelum aku pulang aku mampir di restoran, dan ya ... tanpa aku kasih tahu pun kamu pasti bisa menebaknya, bukan?"Embun langsung menghentikan aktivitasnya ketika mendengar Gio berbicara seperti itu, terlihat begitu jelas kalau wajah wanita itu tampak kecewa.'Yah, sia-sia deh aku masak semua ini,' batin wanita itu, sedih."Tapi nggak apa-apa deh, kamu masak akan tetap aku makan. Aku mandi dulu, kalau sudah
"Apa kabar, Cintya?"Cintya adalah anak dari teman dekatnya yang baru saja pulang dari luar negeri. Dulu Rena dan temannya memang sempat ingin menjodohkan anak mereka. Namun sayangnya hal itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Gio, dan juga Cintya masih ingin kuliah.Ketika Cintya sudah lulus dan kembali ke kotanya, hal itu sudah diketahui oleh Rena, wanita itu memutuskan untuk kembali mendekatkan Cintya pada anaknya. Ya, meskipun Gio sudah menikah, hal itu sama sekali tak jadi penghalang untuknya.Cintya adalah harapan terakhir dan satu-satunya yang saat ini dia harapkan agar Gio bisa lepas dengan Embun."Baik, Tante. Gimana kabar Tante juga?" tanya wanita itu balik.Rena menghela napas berat. "Yah, kamu lihat sendiri lah, seperti ini kehidupan Tante," jawabnya dengan murung."Loh, kok malah jadi sedih sih, apa pertanyaanku membuat Tante kurang nyaman? Kalau iya, aku minta maaf, Tante."Rena tersenyum tipis. "Nggak kok, nggak ada yang salah sama pertanyaan kamu. Dasar Tante aja kali
Berkali-kali Gio mengusap wajahnya dengan kasar. Dia masih tak habis pikir dengan cara berpikir mamanya.Gio sudah mengingatkan pada mamanya kalau dirinya sudah menikah, tapi mengapa sampai detik ini dia masih ingin menjodoh-jodohkan dirinya dengan wanita pilihannya?"Aku benar-benar bingung sama mama. Bukankah dia menginginkan aku segera menikah? Lantas ketika aku sudah menikah kenapa dia masih terus menyodorkan wanita padaku? Sebenarnya apa yang mama pikirkan?" katanya sambil terus menggeleng pelan.Sebenarnya Gio tahu alasan mamanya itu. Ya, karena istri Gio sangat tidak masuk kriteria mamanya, makanya wanita itu berusaha keras membuat Gio dan Embun segera berpisah.Oke, memang awalnya Gio menikahi Embun hanya untuk menutupi sifat aslinya saja, tapi makin ke sini, dia sangat begitu yakin akan mempertahankan istrinya itu, bagaimana pun caranya.Cukup lama pria itu melamun, tak lama kemudian mata Gio menatap ke arah luar jendela. Dia tersenyum tipis ketika mengingat seorang wanita ya