"Apa kabar, Cintya?"Cintya adalah anak dari teman dekatnya yang baru saja pulang dari luar negeri. Dulu Rena dan temannya memang sempat ingin menjodohkan anak mereka. Namun sayangnya hal itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Gio, dan juga Cintya masih ingin kuliah.Ketika Cintya sudah lulus dan kembali ke kotanya, hal itu sudah diketahui oleh Rena, wanita itu memutuskan untuk kembali mendekatkan Cintya pada anaknya. Ya, meskipun Gio sudah menikah, hal itu sama sekali tak jadi penghalang untuknya.Cintya adalah harapan terakhir dan satu-satunya yang saat ini dia harapkan agar Gio bisa lepas dengan Embun."Baik, Tante. Gimana kabar Tante juga?" tanya wanita itu balik.Rena menghela napas berat. "Yah, kamu lihat sendiri lah, seperti ini kehidupan Tante," jawabnya dengan murung."Loh, kok malah jadi sedih sih, apa pertanyaanku membuat Tante kurang nyaman? Kalau iya, aku minta maaf, Tante."Rena tersenyum tipis. "Nggak kok, nggak ada yang salah sama pertanyaan kamu. Dasar Tante aja kali
Berkali-kali Gio mengusap wajahnya dengan kasar. Dia masih tak habis pikir dengan cara berpikir mamanya.Gio sudah mengingatkan pada mamanya kalau dirinya sudah menikah, tapi mengapa sampai detik ini dia masih ingin menjodoh-jodohkan dirinya dengan wanita pilihannya?"Aku benar-benar bingung sama mama. Bukankah dia menginginkan aku segera menikah? Lantas ketika aku sudah menikah kenapa dia masih terus menyodorkan wanita padaku? Sebenarnya apa yang mama pikirkan?" katanya sambil terus menggeleng pelan.Sebenarnya Gio tahu alasan mamanya itu. Ya, karena istri Gio sangat tidak masuk kriteria mamanya, makanya wanita itu berusaha keras membuat Gio dan Embun segera berpisah.Oke, memang awalnya Gio menikahi Embun hanya untuk menutupi sifat aslinya saja, tapi makin ke sini, dia sangat begitu yakin akan mempertahankan istrinya itu, bagaimana pun caranya.Cukup lama pria itu melamun, tak lama kemudian mata Gio menatap ke arah luar jendela. Dia tersenyum tipis ketika mengingat seorang wanita ya
"Tadi mama datang ke rumah," ucap Embun seraya mengunyah makanannya.Gio yang tadinya sedang asik melahap, akhirnya memelankan kunyahannya, pria itu sama sekali tak menanggapi ucapan Embun. Namun ekor matanya tak pernah lepas pada istrinya.Karena melihat Gio tak bereaksi apapun, akhirnya Embun memutuskan untuk menatap pria itu.Kini tatapan mereka bertemu, membuat Embun salah tingkah."Kenapa menatapku seperti itu, apa penampilanku ada yang aneh?" tanya wanita itu gugup.Gio menggeleng pelan, lalu kembali melihat ke arah piring makanannya, sejujurnya dia sudah tak berselera lagi melihat makanan itu."Aku tidak suka kamu membahas hal lain ketika kita sedang makan," ungkap pria itu jujur."Iya, aku minta maaf.""Nggak apa-apa, lanjutin aja lagi makannya."Embun tak lagi menyahut. Dia pun menuruti perintah Gio. Dalam hati wanita itu bertanya-tanya, kenapa Gio moodnya cepat sekali berubah? Padahal tadi wajahnya tampak begitu berseri-seri ketika melahap makanan itu, lantas mengapa saat in
"Mama ngomong apa aja sama kamu?" tanya Gio tiba-tiba.Embun tak langsung menjawab, wanita itu menatap Gio yang saat ini sedang fokus menyetir."Nanti aja deh bicaranya, lebih baik kamu fokus aja," nasehat Embun.Gio menggeleng tak setuju. "Justru kalau diam kayak ini aku malah ngantuk. Jadi enaknya kita bawa ngobrol aja. Emangnya mama ngomong apa? Ada hal yang nyakitin perasaan kamu nggak?" tanya pria itu secara bertubi-tubi.'Aish! Kalau itu sih nggak usah ditanya lagi. Udah pasti, bahkan dia malah kenalin calon istri kamu juga ke aku,' batin Embun."Hem, ya ... seperti biasa."Gio menatap Embun, hanya sebentar, lalu fokus matanya kini kembali tertuju ke depan."Kamu tersiksa dengan kehidupan ini?""Maksudnya?" tanya Embun tak paham."Nggak apa-apa. Aku tanya mama ngomong apa aja ke kamu? Dari tadi aku tanya kok nggak dijawab-jawab sih," kata pria itu jengkel."Oh, sorry. Nggak ada ngomong apa-apa kok. Beliau bilang cuma pengen mampir, sekaligus tanya aku udah hamil apa belum. Udah
"APA?!"Embun menghela napas berat, sudah dia duga pasti temannya akan terkejut jika dia menceritakan lika-liku tentang perjalanan hidupnya selama dia menjadi status istri."Demi apa? Ini seriusan, Embun?" tanya Mimi sekali lagi, seakan-akan wanita itu tak percaya dengan ucapan Embun tadi."Menurut kamu aku lagi ngelawak? Aku lagi curhat. Sebenarnya aku malu mau cerita ini ke kamu, tapi ... kalau dipendam terus sendirian aku capek, rasanya stres, pikirannya selalu buntu. Jadi aku mohon kasih aku solusi, bukan malah diejek!" sungut wanita itu tak terima."Siapa yang ngejek? Emang kamu lihat aku ada ketawa? Nggak, kan? Aku cuma kaget aja sama cerita kamu tadi. Aku pikir kamu wanita yang paling beruntung karena menikah sama pak Gio. Eh nggak tahunya kayak gini toh ceritanya.""Tapi ingat ya, aku cerita kayak gini jangan kamu umbar ke yang lain, itu sama aja kamu umbar aib temanmu sendiri. Sebenarnya aku juga menyesal karena udah umbar aib suamiku, tapi ... ah sudahlah, sudah terlanjur ju
"Apa-apaan kamu kenapa pakai baju seperti itu?" tanya Gio kaget ketika baru saja masuk ke dalam kamarnya, dan mendapati Embun hanya memakai tanktop saja."Nggak apa-apa. Aku lagi gampang keringetan, makanya cuma pakai kayak gini aja," jawab wanita itu santai.Padahal sebenarnya dia sangat takut dengan reaksi Gio ketika memakai pakaian seperti ini. Kalau bukan Mimi memberikan dia usul, pasti dia tidak akan melakukan tindakan memalukan seperti ini.Temannya mengatakan kalau Embun harus segera turun tangan, dengan cara menjadi wanita agresif, agar Gio luluh padanya. Entahlah, Embun sejujurnya ragu untuk melakukan ide ini, dia sudah berusaha, urusan hasilnya itu belakangan, yang penting dia sudah mencoba.Gio mengernyit heran. "Keringetan? Sekarang, kan, lagi musim hujan. Terus AC juga nyala, kan? Kok bisa keringetan?" tanya pria itu heran.Embun mengedikkan bahunya acuh. "Ya mana aku tahu, kamu tanya aja sendiri sama badan aku kok bisa gampang keringetan.""Kalau kerigetan, kan, masih bi
"Kamu ngapain tidur di sini? Ini tempat tidurku, tempat tidurmu ada di sana," geram Gio. "Sementara aku tidur di ranjang kamu dulu ya," mohon Embun. "Emangnya kenapa dengan kasurmu? Kamu nggak habis ngompol, kan?" tanya pria itu penuh selidik. "Ish! Mana ada aku ngompol, udah besar gini juga," sahut Embun tak terima. "Terus kenapa kamu mau tidur di sebelahku? Ingat ya, kita udah punya ranjang masing-masing." Embun mengangguk paham. "Iya, aku ngerti kok. Masalahnya kasur aku itu bau keringet, terus aku juga nggak tahan sama baunya. Mau bersihin juga nggak sempat, jadi boleh, kan, kalau aku tidur di kasurmu? Cuma sementara aja kok. Boleh ya? Please," mohon wanita itu seraya mengatupkan kedua tangannya. Gio menghela napas berat, sebenarnya sih dia tidak masalah dengan hal itu. Waktu dia memutuskan untuk pindah rumah, dia juga tidak ingin tidur di ranjang berbeda dengan istrinya, yang ada dipikirannya kala itu dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Embun, sekaligus pendekatan. Siap
Embun tersentak ketika melihat ke arah jendela sudah terik. Sinar matahari sudah mulai condong ke atas.'Mampus! Bukannya waktu itu Gio berpesan kalau aku harus bangunin dia pagi-pagi ya? Aduh! Gimana ini?' batin wanita itu.Embun melihat ke arah samping, Gio sudah tak ada di sampingnya, itu artinya pria itu sudah bangun dari tidurnya."Kenapa dia nggak bangunin aku sih! Terus ini kenapa selimut dia malah aku pakai? Masa iya aku sampai ngigau kedinginan terus ngerebut selimutnya? Ah nggak mungkin. Tapi lebih nggak mungkin lagi kalau pria itu yang berinisiatif selimutin aku, kan? Ah, mustahil!" gumam wanita itu.Embun pun bangkit dari ranjang itu, dia harus bersiap-siap menuju ke arah dapur untuk membuat sarapan untuk suaminya itu.Entah sejak kapan Gio suka dengan masakan Embun, tapi yang pasti wanita itu senang, setidaknya ada gunanya juga dia menikah, bisa memasak untuk suami tercinta.'Tercinta? Haha.' Embun menertawakan dirinya sendiri. 'Loh, mana dia? Kok dari tadi aku lihat dia