"Kamu ngapain tidur di sini? Ini tempat tidurku, tempat tidurmu ada di sana," geram Gio. "Sementara aku tidur di ranjang kamu dulu ya," mohon Embun. "Emangnya kenapa dengan kasurmu? Kamu nggak habis ngompol, kan?" tanya pria itu penuh selidik. "Ish! Mana ada aku ngompol, udah besar gini juga," sahut Embun tak terima. "Terus kenapa kamu mau tidur di sebelahku? Ingat ya, kita udah punya ranjang masing-masing." Embun mengangguk paham. "Iya, aku ngerti kok. Masalahnya kasur aku itu bau keringet, terus aku juga nggak tahan sama baunya. Mau bersihin juga nggak sempat, jadi boleh, kan, kalau aku tidur di kasurmu? Cuma sementara aja kok. Boleh ya? Please," mohon wanita itu seraya mengatupkan kedua tangannya. Gio menghela napas berat, sebenarnya sih dia tidak masalah dengan hal itu. Waktu dia memutuskan untuk pindah rumah, dia juga tidak ingin tidur di ranjang berbeda dengan istrinya, yang ada dipikirannya kala itu dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Embun, sekaligus pendekatan. Siap
Embun tersentak ketika melihat ke arah jendela sudah terik. Sinar matahari sudah mulai condong ke atas.'Mampus! Bukannya waktu itu Gio berpesan kalau aku harus bangunin dia pagi-pagi ya? Aduh! Gimana ini?' batin wanita itu.Embun melihat ke arah samping, Gio sudah tak ada di sampingnya, itu artinya pria itu sudah bangun dari tidurnya."Kenapa dia nggak bangunin aku sih! Terus ini kenapa selimut dia malah aku pakai? Masa iya aku sampai ngigau kedinginan terus ngerebut selimutnya? Ah nggak mungkin. Tapi lebih nggak mungkin lagi kalau pria itu yang berinisiatif selimutin aku, kan? Ah, mustahil!" gumam wanita itu.Embun pun bangkit dari ranjang itu, dia harus bersiap-siap menuju ke arah dapur untuk membuat sarapan untuk suaminya itu.Entah sejak kapan Gio suka dengan masakan Embun, tapi yang pasti wanita itu senang, setidaknya ada gunanya juga dia menikah, bisa memasak untuk suami tercinta.'Tercinta? Haha.' Embun menertawakan dirinya sendiri. 'Loh, mana dia? Kok dari tadi aku lihat dia
"Menurutku di sini kamu sih yang aneh.""Kok aku?" tanya Embun tak terima."Ya emang iya. Semua yang kamu ceritakan itu hal yang paling lumrah dalam berumah tangga. Apanya yang aneh coba?" tanya Mimi dengan wajah datar."Tapi, kan, bukannya kamu udah pernah aku ceritain kalau Gio itu sebenarnya--""Iya, aku tahu, tapi dengan suami kamu yang seperti itu bukannya hal itu adalah sebuah kemajuan yang sangat bagus? Bisa jadi usaha kamu itu secara perlahan membuahkan hasil.""Usaha yang mana? Yang kamu suruh aku pakai pakaian mini itu? Heh, mana ada berhasil. Dia itu tetap aja kaku kok. Dia itu sama sekali nggak bereaksi apapun ketika melihat aku berpakaian seperti itu," sungut Embun kesal."Menurutku hati manusia, kan, nggak ada yang tahu ya. Kita cuma bisa nebak, nggak tahu sih yang sebenarnya seperti apa," ucap Mimi seraya mengedikkan bahunya.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Saat ini dia benar-benar tengah gelisah."Terus gimana dong?""Gimana apanya?" tanya Mimi heran."Ya m
"Kok dijemput sih. Aku, kan, udah bilang kalau aku bisa pulang sendiri," kata Embun ketika melihat Gio sudah berdiri di depan pintu rumah temannya."Bukannya bersyukur malah ngomong kayak gitu ke suami," celetuk Mimi tanpa sadar."Nggak apa-apa, aku khawatir aja sama kamu," ucap Gio seraya tersenyum tipis. "Udah selesai urusannya?" tanya pria itu lagi, pria itu menatap Embun dengan tatapan yang begitu tulus, sampai-sampai membuat Embun salah tingkah."Ah, udah kok," jawab wanita itu gugup."Ya udah, kalau gitu kita pulang yuk." Lalu arah pandang Gio beralih ke Mimi. "Hai, terima kasih ya karena sudah mengizinkan Embun main ke sini, saya minta maaf kalau istri saya merepotkan kamu.""Sama sekali tidak merepotkan kok, Pak. Yang ada malah saya senang. Lagian Embun itu teman dekat saya, jadi sama sekali tidak masalah kalau dia sering main ke sini.""Terima kasih, kalau begitu kami pamit pergi ya.""Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Embun dan Gio pun mendekat ke arah mobil, lalu Gio membukaka
Akhir-akhir ini Gio semakin memperlakukan Embun dengan manis, seperti laki-laki pada umumnya. Bahkan Embun pun masih tak menyangka jika Gio seperti itu.Kalau biasanya sikap Gio padanya sering berubah-ubah, untuk saat ini tidak. Pria itu tetap konsisten pada sikap manisnya.Contohnya seperti sekarang, sehabis pulang dari kantor, pria itu membawakannya makanan yang ia inginkan, selalu saja seperti itu."Kamu itu ya, bisa nggak sih pesan makanan yang lain? Menunya jangan itu-itu terus. Itu nggak sehat, banyak minyak, pedas, kalau sekali dua kali makan seperti itu nggak masalah, tapi kalau sering? Gimana nanti kalau kamu sakit?" omel pria itu seraya memberikan sebuah kantung plastik ke arah Embun.Sedangkan Embun, yang tengah diomeli sama sekali tak mendengarkan ucapan Gio, dia dengan suka cita menyambutnya, mengambil kantung plastik itu dengan cepat."Makasih, Sayang," jawabnya seraya tersenyum lebar."Kamu itu dengar nggak sih kalau aku ngomong?" sungut Gio."Dengar kok. Lagian ini men
"Apa? Kamu meremehkanku? Perusahaan bisa sesukses sekarang itu berkat siapa? Ya berkat aku, sampai sini kamu paham, kan, kalau aku ini pria yang hebat?" Gio berkacak pinggang.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.'Lah, apa hubungannya perusahaan sama bikin anak? Perasaan tadi yang dibahas tentang bikin anak deh,' batin wanita itu."Tapi ini bukan masalah perusahaan, Gio." Embun pun memberanikan diri berbicara seperti itu."Iya, aku tahu. Itu hanya perumpamaan aja. Aku bangun perusahaan dari nol. Awalnya dari yang nggak bisa, sampai bisa sukses seperti sekarang. Begitu juga dengan bikin anak. Oke, mungkin aku nggak ada pengalaman bikin anak, tapi aku yakin kalau aku bakal jago dalam hal itu. Tutorial juga, kan, banyak. Lagian pasti kamu juga paham, kan?" sinis pria itu.'Haduh, dia kok enteng banget sih bicara seperti itu. Kok kayak nggak ada beban.'"Asal kamu tahu ya, Embun. Guru itu nggak bakal disebut guru kalau dulunya nggak belajar, sama halnya juga dokter. Semua itu dimul
"Kamu ... nggak risih nonton ini?" tanya Embun ragu.Gio menggeleng. "Nggak.""Bukannya waktu itu aku pernah ngajak kamu, tapi kamunya malah bete, kenapa sekarang nggak?" tanya wanita itu, keheranan."Sekarang aku yang tanya sama kamu, raut wajah kamu kenapa kayak gitu ketika kita lagi nonton adegan dewasa? Bukannya waktu itu kamu biasa-biasa aja ya?" tanya Gio balik.Embun bergidik ngeri, entahlah, sekarang malah dirinya yang terlihat begitu aneh.'Ini sebenarnya yang salah aku apa Gio sih. Katanya dia trauma, tapi kenapa pas nonton biasa aja. Apa jangan-jangan selama ini dia hanya pura-pura?' batin wanita itu."Kamu udah paham, kan?" Embun tersentak, refleks dia mengangguk dengan cepat."Iya, aku paham kok. Tugas perempuan kan cuma ngangkang aja," celetuk wanita itu.Gio terbatuk-batuk mendengarnya. "Kamu lihat itu, ada banyak cara kok. Bahkan perempuan juga ikut kerja," kata Gio seraya menunjuk ke arah layar laptop yang saat ini sedang mereka tonton."Ah, itu mereka terlalu banyak
"Sebenarnya untuk proyek itu sudah hampir selesai, hanya saja biaya yang diperlukan ternyata kurang, jadi kami membutuhkan dana sekitar 200 juta lagi, Pak."Gio tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian itu. Sangat di luar dugaan, ternyata mereka melakukan lebih dari itu.Ya, Embun dan Gio telah melakukan malam pertama mereka. Semua itu di luar kendali Gio, bahkan dia sama sekali tak menyangka jika bisa melakukannya."Bagaimana, Pak?"Gio tersentak, dia berdeham sejenak untuk menormalkan degup jantungnya.'Sial! Bisa-bisanya sedang rapat aku malah mikir ke arah lain,' dengkus pria itu dalam hati.Gio mengambil berkas yang ada di depannya, tadi dia sama sekali tak mendengarkan apa yang dijelaskan oleh rekan kerjanya, jadi yang bisa dilakukannya hanya manggut-manggut."Oke, kalian atur aja," jawab pria itu, lalu menutup berkas itu.Setelahnya dia berdiri dari duduknya dan pergi dari ruangan itu."Seriusan tadi Pak Gio senyum?" tanya salah satu dari mereka."Iya.""Wah, wah, wah