Akhir-akhir ini Gio semakin memperlakukan Embun dengan manis, seperti laki-laki pada umumnya. Bahkan Embun pun masih tak menyangka jika Gio seperti itu.Kalau biasanya sikap Gio padanya sering berubah-ubah, untuk saat ini tidak. Pria itu tetap konsisten pada sikap manisnya.Contohnya seperti sekarang, sehabis pulang dari kantor, pria itu membawakannya makanan yang ia inginkan, selalu saja seperti itu."Kamu itu ya, bisa nggak sih pesan makanan yang lain? Menunya jangan itu-itu terus. Itu nggak sehat, banyak minyak, pedas, kalau sekali dua kali makan seperti itu nggak masalah, tapi kalau sering? Gimana nanti kalau kamu sakit?" omel pria itu seraya memberikan sebuah kantung plastik ke arah Embun.Sedangkan Embun, yang tengah diomeli sama sekali tak mendengarkan ucapan Gio, dia dengan suka cita menyambutnya, mengambil kantung plastik itu dengan cepat."Makasih, Sayang," jawabnya seraya tersenyum lebar."Kamu itu dengar nggak sih kalau aku ngomong?" sungut Gio."Dengar kok. Lagian ini men
"Apa? Kamu meremehkanku? Perusahaan bisa sesukses sekarang itu berkat siapa? Ya berkat aku, sampai sini kamu paham, kan, kalau aku ini pria yang hebat?" Gio berkacak pinggang.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.'Lah, apa hubungannya perusahaan sama bikin anak? Perasaan tadi yang dibahas tentang bikin anak deh,' batin wanita itu."Tapi ini bukan masalah perusahaan, Gio." Embun pun memberanikan diri berbicara seperti itu."Iya, aku tahu. Itu hanya perumpamaan aja. Aku bangun perusahaan dari nol. Awalnya dari yang nggak bisa, sampai bisa sukses seperti sekarang. Begitu juga dengan bikin anak. Oke, mungkin aku nggak ada pengalaman bikin anak, tapi aku yakin kalau aku bakal jago dalam hal itu. Tutorial juga, kan, banyak. Lagian pasti kamu juga paham, kan?" sinis pria itu.'Haduh, dia kok enteng banget sih bicara seperti itu. Kok kayak nggak ada beban.'"Asal kamu tahu ya, Embun. Guru itu nggak bakal disebut guru kalau dulunya nggak belajar, sama halnya juga dokter. Semua itu dimul
"Kamu ... nggak risih nonton ini?" tanya Embun ragu.Gio menggeleng. "Nggak.""Bukannya waktu itu aku pernah ngajak kamu, tapi kamunya malah bete, kenapa sekarang nggak?" tanya wanita itu, keheranan."Sekarang aku yang tanya sama kamu, raut wajah kamu kenapa kayak gitu ketika kita lagi nonton adegan dewasa? Bukannya waktu itu kamu biasa-biasa aja ya?" tanya Gio balik.Embun bergidik ngeri, entahlah, sekarang malah dirinya yang terlihat begitu aneh.'Ini sebenarnya yang salah aku apa Gio sih. Katanya dia trauma, tapi kenapa pas nonton biasa aja. Apa jangan-jangan selama ini dia hanya pura-pura?' batin wanita itu."Kamu udah paham, kan?" Embun tersentak, refleks dia mengangguk dengan cepat."Iya, aku paham kok. Tugas perempuan kan cuma ngangkang aja," celetuk wanita itu.Gio terbatuk-batuk mendengarnya. "Kamu lihat itu, ada banyak cara kok. Bahkan perempuan juga ikut kerja," kata Gio seraya menunjuk ke arah layar laptop yang saat ini sedang mereka tonton."Ah, itu mereka terlalu banyak
"Sebenarnya untuk proyek itu sudah hampir selesai, hanya saja biaya yang diperlukan ternyata kurang, jadi kami membutuhkan dana sekitar 200 juta lagi, Pak."Gio tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian itu. Sangat di luar dugaan, ternyata mereka melakukan lebih dari itu.Ya, Embun dan Gio telah melakukan malam pertama mereka. Semua itu di luar kendali Gio, bahkan dia sama sekali tak menyangka jika bisa melakukannya."Bagaimana, Pak?"Gio tersentak, dia berdeham sejenak untuk menormalkan degup jantungnya.'Sial! Bisa-bisanya sedang rapat aku malah mikir ke arah lain,' dengkus pria itu dalam hati.Gio mengambil berkas yang ada di depannya, tadi dia sama sekali tak mendengarkan apa yang dijelaskan oleh rekan kerjanya, jadi yang bisa dilakukannya hanya manggut-manggut."Oke, kalian atur aja," jawab pria itu, lalu menutup berkas itu.Setelahnya dia berdiri dari duduknya dan pergi dari ruangan itu."Seriusan tadi Pak Gio senyum?" tanya salah satu dari mereka."Iya.""Wah, wah, wah
Semakin ke sini hubungan Gio dan Embun semakin membaik. Perubahan Gio juga sangat berubah drastis. Dari yang awalnya begitu cuek dengan Embun, kini pria itu sangat romantis.Kalau ditanya Embun bahagia atau tidak, jawabannya adalah iya. Hari ini adalah tepat satu tahun mereka menikah. Embun ingin merayakan hari yang membahagiakan itu.Rumah mereka sedikit ia hiasi dengan dekorasi ala-ala dirinya, dia juga sudah membuat kue buatannya sendiri, selain itu juga dia sudah mempersiapkan makan malam romantis. Semua itu tampak sama persis seperti yang ada di film yang sering ia tonton."Ah, nggak sia-sia selama ini aku nonton film, tanganku ternyata multifungsi juga," decak wanita itu penuh kagum.Setelah melihat semuanya telah sempurna, wanita itu melirik jam yang ada di tangannya, ternyata sudah jam setengah tujuh, harusnya sedari tadi Gio sudah tiba di rumah."Kok tumben jam segini belum pulang. Apa aku telpon aja kali ya," gumamnya.Embun pun langsung mengambil ponsel, lalu menghubungi n
Gio mengerang pelan ketika cahaya matahari masuk ke indera penglihatannya. Matanya perlahan terbuka sembari tangannya meraba ke sebelah.Dia mengernyit heran karena sudah tak ada Embun di sisinya.'Kosong? Kemana dia?' batin pria itu.Gio langsung terduduk, kedua tangannya melipat, mulutnya cemberut karena Embun tak membangunkannya."Tumben dia nggak bangunin aku. Atau jangan-jangan dia ngambek sama aku gara-gara tadi malam aku pulangnya telat?"Pria itu langsung bangun, mencari keberadaan istrinya. Dia langsung menuju ke arah dapur, dan benar saja dugaannya, Embun tengah berada di sana.Gio celingukan ke sana-kemari, heran saja ke mana perginya lampu kelap-kelip yang ada di sana, kenapa tiba-tiba sudah tidak ada?Pria itu juga melihat hidangan yang ada di atas meja tadi malam sudah tidak ada, kini tergantikan dengan hidangan yang baru."Loh, makanan yang tadi malam ke mana?" tanya Gio tanpa basa-basi."Udah aku buang," sahut Embun cuek tanpa melirik ke pria itu sama sekali."Kenapa d
"Kamu ini kenapa sih, Gio. Bisa-bisanya perusahaan diambang bangkrut, kerjaanmu selama ini ngapain aja?" omel Rena."Ya aku kerja. Yang namanya orang dalam ada yang berbuat curang aku bisa apa?" Gio balik mengomel pada mamanya itu."Nggak, nggak. Dulu-dulu juga ada kejadian seperti ini tapi nggak separah yang sekarang. Dulu kamu bisa ngatasin semuanya, tapi sekarang kenapa malah seperti ini?"Gio tak menyahut, dia hanya bisa menghela napas berat. "Ini nih akibatnya kalau kamu nggak pernah dengar apa yang Mama katakan, jadinya seperti ini, kan?"Gio mengerutkan kening. "Maksud Mama?" tanya pria itu heran."Semenjak kamu nikah sama Embun, pasti bawaannya selalu sial. Lihat aja sekarang, bahkan perusahaan yang kamu bangun dari nol nyaris bangkrut. Emang wanita itu membawa pengaruh buruk buat kamu, Gio.""Mama ini apa-apaan sih. Dikit-dikit Embun yang selalu disalahkan. Dia itu sama sekali enggak ada sangkut-pautnya sama hal ini, Ma. Jadi tolong, jangan sebut-sebut namanya dalam pekerjaa
"Gio ya?"Gio menatap wanita yang menyebut namanya itu dari atas sampai bawah seraya mengerutkan keningnya.'Apa ini yang dibilang sama mama? Masa iya teman mama masih muda banget, aku kira laki-laki, tau gini, kan, aku nggak bakal datang,' gerutu pria itu dalam hati."Siapa ya?" tanya Gio balik.Wanita itu tersenyum lebar lalu duduk di dekat Gio. "Kenalin, aku Yuna. Tante Rena nyuruh aku buat datang temenin kamu, katanya kamu di sini sendirian, ya udah deh langsung aku samperin.""Maaf, aku di sini tidak sendiri, aku ingin bertemu dengan seseorang untuk membahas pekerjaan, sama sekali tidak ada niatan berkencan," sindir Gio."Yap, tujuan aku menemuimu memang untuk membahas itu, tapi apa salahnya basa-basi dulu, iya, kan? Omong-omong kamu mau minum apa?"Gio tersenyum remeh, sekarang ia mulai paham apa yang akan direncanakan oleh mamanya. Pantas saja dia tidak boleh membawa istrinya, ternyata inilah alasannya.Pria itu berdeham sejenak lalu berdiri, tak lupa juga ia memberikan senyum