"Kok dijemput sih. Aku, kan, udah bilang kalau aku bisa pulang sendiri," kata Embun ketika melihat Gio sudah berdiri di depan pintu rumah temannya."Bukannya bersyukur malah ngomong kayak gitu ke suami," celetuk Mimi tanpa sadar."Nggak apa-apa, aku khawatir aja sama kamu," ucap Gio seraya tersenyum tipis. "Udah selesai urusannya?" tanya pria itu lagi, pria itu menatap Embun dengan tatapan yang begitu tulus, sampai-sampai membuat Embun salah tingkah."Ah, udah kok," jawab wanita itu gugup."Ya udah, kalau gitu kita pulang yuk." Lalu arah pandang Gio beralih ke Mimi. "Hai, terima kasih ya karena sudah mengizinkan Embun main ke sini, saya minta maaf kalau istri saya merepotkan kamu.""Sama sekali tidak merepotkan kok, Pak. Yang ada malah saya senang. Lagian Embun itu teman dekat saya, jadi sama sekali tidak masalah kalau dia sering main ke sini.""Terima kasih, kalau begitu kami pamit pergi ya.""Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Embun dan Gio pun mendekat ke arah mobil, lalu Gio membukaka
Akhir-akhir ini Gio semakin memperlakukan Embun dengan manis, seperti laki-laki pada umumnya. Bahkan Embun pun masih tak menyangka jika Gio seperti itu.Kalau biasanya sikap Gio padanya sering berubah-ubah, untuk saat ini tidak. Pria itu tetap konsisten pada sikap manisnya.Contohnya seperti sekarang, sehabis pulang dari kantor, pria itu membawakannya makanan yang ia inginkan, selalu saja seperti itu."Kamu itu ya, bisa nggak sih pesan makanan yang lain? Menunya jangan itu-itu terus. Itu nggak sehat, banyak minyak, pedas, kalau sekali dua kali makan seperti itu nggak masalah, tapi kalau sering? Gimana nanti kalau kamu sakit?" omel pria itu seraya memberikan sebuah kantung plastik ke arah Embun.Sedangkan Embun, yang tengah diomeli sama sekali tak mendengarkan ucapan Gio, dia dengan suka cita menyambutnya, mengambil kantung plastik itu dengan cepat."Makasih, Sayang," jawabnya seraya tersenyum lebar."Kamu itu dengar nggak sih kalau aku ngomong?" sungut Gio."Dengar kok. Lagian ini men
"Apa? Kamu meremehkanku? Perusahaan bisa sesukses sekarang itu berkat siapa? Ya berkat aku, sampai sini kamu paham, kan, kalau aku ini pria yang hebat?" Gio berkacak pinggang.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.'Lah, apa hubungannya perusahaan sama bikin anak? Perasaan tadi yang dibahas tentang bikin anak deh,' batin wanita itu."Tapi ini bukan masalah perusahaan, Gio." Embun pun memberanikan diri berbicara seperti itu."Iya, aku tahu. Itu hanya perumpamaan aja. Aku bangun perusahaan dari nol. Awalnya dari yang nggak bisa, sampai bisa sukses seperti sekarang. Begitu juga dengan bikin anak. Oke, mungkin aku nggak ada pengalaman bikin anak, tapi aku yakin kalau aku bakal jago dalam hal itu. Tutorial juga, kan, banyak. Lagian pasti kamu juga paham, kan?" sinis pria itu.'Haduh, dia kok enteng banget sih bicara seperti itu. Kok kayak nggak ada beban.'"Asal kamu tahu ya, Embun. Guru itu nggak bakal disebut guru kalau dulunya nggak belajar, sama halnya juga dokter. Semua itu dimul
"Kamu ... nggak risih nonton ini?" tanya Embun ragu.Gio menggeleng. "Nggak.""Bukannya waktu itu aku pernah ngajak kamu, tapi kamunya malah bete, kenapa sekarang nggak?" tanya wanita itu, keheranan."Sekarang aku yang tanya sama kamu, raut wajah kamu kenapa kayak gitu ketika kita lagi nonton adegan dewasa? Bukannya waktu itu kamu biasa-biasa aja ya?" tanya Gio balik.Embun bergidik ngeri, entahlah, sekarang malah dirinya yang terlihat begitu aneh.'Ini sebenarnya yang salah aku apa Gio sih. Katanya dia trauma, tapi kenapa pas nonton biasa aja. Apa jangan-jangan selama ini dia hanya pura-pura?' batin wanita itu."Kamu udah paham, kan?" Embun tersentak, refleks dia mengangguk dengan cepat."Iya, aku paham kok. Tugas perempuan kan cuma ngangkang aja," celetuk wanita itu.Gio terbatuk-batuk mendengarnya. "Kamu lihat itu, ada banyak cara kok. Bahkan perempuan juga ikut kerja," kata Gio seraya menunjuk ke arah layar laptop yang saat ini sedang mereka tonton."Ah, itu mereka terlalu banyak
"Sebenarnya untuk proyek itu sudah hampir selesai, hanya saja biaya yang diperlukan ternyata kurang, jadi kami membutuhkan dana sekitar 200 juta lagi, Pak."Gio tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian itu. Sangat di luar dugaan, ternyata mereka melakukan lebih dari itu.Ya, Embun dan Gio telah melakukan malam pertama mereka. Semua itu di luar kendali Gio, bahkan dia sama sekali tak menyangka jika bisa melakukannya."Bagaimana, Pak?"Gio tersentak, dia berdeham sejenak untuk menormalkan degup jantungnya.'Sial! Bisa-bisanya sedang rapat aku malah mikir ke arah lain,' dengkus pria itu dalam hati.Gio mengambil berkas yang ada di depannya, tadi dia sama sekali tak mendengarkan apa yang dijelaskan oleh rekan kerjanya, jadi yang bisa dilakukannya hanya manggut-manggut."Oke, kalian atur aja," jawab pria itu, lalu menutup berkas itu.Setelahnya dia berdiri dari duduknya dan pergi dari ruangan itu."Seriusan tadi Pak Gio senyum?" tanya salah satu dari mereka."Iya.""Wah, wah, wah
Semakin ke sini hubungan Gio dan Embun semakin membaik. Perubahan Gio juga sangat berubah drastis. Dari yang awalnya begitu cuek dengan Embun, kini pria itu sangat romantis.Kalau ditanya Embun bahagia atau tidak, jawabannya adalah iya. Hari ini adalah tepat satu tahun mereka menikah. Embun ingin merayakan hari yang membahagiakan itu.Rumah mereka sedikit ia hiasi dengan dekorasi ala-ala dirinya, dia juga sudah membuat kue buatannya sendiri, selain itu juga dia sudah mempersiapkan makan malam romantis. Semua itu tampak sama persis seperti yang ada di film yang sering ia tonton."Ah, nggak sia-sia selama ini aku nonton film, tanganku ternyata multifungsi juga," decak wanita itu penuh kagum.Setelah melihat semuanya telah sempurna, wanita itu melirik jam yang ada di tangannya, ternyata sudah jam setengah tujuh, harusnya sedari tadi Gio sudah tiba di rumah."Kok tumben jam segini belum pulang. Apa aku telpon aja kali ya," gumamnya.Embun pun langsung mengambil ponsel, lalu menghubungi n
Gio mengerang pelan ketika cahaya matahari masuk ke indera penglihatannya. Matanya perlahan terbuka sembari tangannya meraba ke sebelah.Dia mengernyit heran karena sudah tak ada Embun di sisinya.'Kosong? Kemana dia?' batin pria itu.Gio langsung terduduk, kedua tangannya melipat, mulutnya cemberut karena Embun tak membangunkannya."Tumben dia nggak bangunin aku. Atau jangan-jangan dia ngambek sama aku gara-gara tadi malam aku pulangnya telat?"Pria itu langsung bangun, mencari keberadaan istrinya. Dia langsung menuju ke arah dapur, dan benar saja dugaannya, Embun tengah berada di sana.Gio celingukan ke sana-kemari, heran saja ke mana perginya lampu kelap-kelip yang ada di sana, kenapa tiba-tiba sudah tidak ada?Pria itu juga melihat hidangan yang ada di atas meja tadi malam sudah tidak ada, kini tergantikan dengan hidangan yang baru."Loh, makanan yang tadi malam ke mana?" tanya Gio tanpa basa-basi."Udah aku buang," sahut Embun cuek tanpa melirik ke pria itu sama sekali."Kenapa d
"Kamu ini kenapa sih, Gio. Bisa-bisanya perusahaan diambang bangkrut, kerjaanmu selama ini ngapain aja?" omel Rena."Ya aku kerja. Yang namanya orang dalam ada yang berbuat curang aku bisa apa?" Gio balik mengomel pada mamanya itu."Nggak, nggak. Dulu-dulu juga ada kejadian seperti ini tapi nggak separah yang sekarang. Dulu kamu bisa ngatasin semuanya, tapi sekarang kenapa malah seperti ini?"Gio tak menyahut, dia hanya bisa menghela napas berat. "Ini nih akibatnya kalau kamu nggak pernah dengar apa yang Mama katakan, jadinya seperti ini, kan?"Gio mengerutkan kening. "Maksud Mama?" tanya pria itu heran."Semenjak kamu nikah sama Embun, pasti bawaannya selalu sial. Lihat aja sekarang, bahkan perusahaan yang kamu bangun dari nol nyaris bangkrut. Emang wanita itu membawa pengaruh buruk buat kamu, Gio.""Mama ini apa-apaan sih. Dikit-dikit Embun yang selalu disalahkan. Dia itu sama sekali enggak ada sangkut-pautnya sama hal ini, Ma. Jadi tolong, jangan sebut-sebut namanya dalam pekerjaa
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu