"Akhir-akhir ini kamu sering banget telat pulang. Apa lagi ada masalah di kantor?" tanya Embun penasaran.Saat ini mereka tengah duduk santai sembari menonton televisi."Nggak kok, ada projek yang harus kuatasi. Kenapa tanya kayak gitu?" bohong Gio.Embun terdiam sejenak, wanita itu menatap Gio dengan seksama. Sebenarnya dia merasa kalau Gio sedang menyembunyikan sesuatu darinya."Nggak ada kok, cuma pengen tanya aja. Emangnya nggak boleh?""Apa sih yang nggak buat kamu?" Gio menoel hidung Embun, membuat wanita itu tersipu.Embun tak lagi menyahut, dia kembali fokus pada film yang ditontonnya. Sementara Gio, dia terus saja memperhatikan istrinya. Tatapannya menandakan antara bahagia, cemas, dan juga bingung.Sejujurnya dia ingin menceritakan semuanya pada Embun. Namun, dia takut kalau Embun tak akan menerimanya lagi, dia takut kalau nanti dia kehilangan materi, Embun juga akan ikut pergi meninggalkannya. Tidak! Hal itu tidak akan Gio biarkan.Tiba-tiba saja Gio memeluk Embun begitu er
"Pak."Gio yang sedari fokus langsung menatap orang yang memanggilnya."Iya, ada apa, Lara?" tanya pria itu dengan kening berkerut."Emmm .... itu, Pak, itu ...." Lara tampak kebingungan untuk berbicara."Ada apa? Kenapa kamu tampak begitu cemas?" tanya Gio heran."Di luar banyak orang, Pak. Mereka itu sebenarnya karyawan yang pernah bekerja di sini, akan tetapi resign.""Lalu, apa hubungannya?" Gio semakin tak paham ke mana arah pembicaraan Lara."Sebenarnya mereka ingin meminta hak mereka, Pak. Mereka datang beramai-ramai ke sini untuk menuntut hak mereka, mereka ingin gaji mereka segera dibayar.""Hah?! Kamu serius? Masalah gaji hanya telat saja, meskipun begitu mereka tetap dibayar. Kenapa bisa seperti ini?""Saya juga tidak tahu, Pak," jawab Lara pelan seraya tertunduk, wanita itu benar-benar takut dengan kemarahan Gio."Tolong panggil Rizal, suruh dia datang ke sini!""Baik, Pak."Setelah Lara menghilang dari pandangannya, Gio menghela napas berat.'Kenapa jadi separah ini sih.
"Properti yang saat ini banyak dicari adalah apartemen Anda dan juga rumah yang saat ini Anda tinggali. Anda memilih yang mana untuk dijual?"Gio terdiam cukup lama, hingga tak lama dia menghela napas panjang."Rumahku.""Anda yakin?" tanya Rizal ragu."Yakin!""Tapi, Pak, apa Anda tidak menyesal dengan keputusan Anda? Bukankah rumah itu penuh kenangan dengan istri Anda?""Kejutan! Aku belikan ini buat kamu, semoga kamu suka ya."Lamunan Gio buyar karena suara Embun, dia melihat wajah istrinya itu seraya tersenyum.Wajah Embun tampak berseri-seri ketika memberikan sebuah kotak kado itu pada Gio, Gio pun menerimanya dengan suka cita.Senyum Embun perlahan memudar karena Gio tak langsung membukanya, pria itu malah meletakkan kotak kado itu begitu saja."Kok nggak langsung dibuka?" tanya Embun dengan wajah cemberut."Nanti dulu ya, aku lagi sibuk. Pasti aku buka kok.""Iya deh. Kalau gitu aku masuk--""Eh, tunggu dulu!" sergah Gio sambil memegang tangan Embun."Ada apa?""Ada yang mau ak
"Kalian lagi kelahi?"Embun tersedak mendengar pertanyaan mamanya."Mana ada. Ngawur Mama ih," bantah Embun."Terus kenapa tiba-tiba Gio antar kamu ke rumah?" tanya Ipah penasaran."Gio mau pergi ke luar kota, ada urusan bisnis. Dia perginya nggak sebentar, agak lama, makanya dia nyuruh aku pulang biar aku ada temannya. Dia bilang nggak tega kalau ninggalin aku sendirian di rumah. Suamiku romantis, kan, Ma?"Ipah memutar bola matanya malas. "Heleh! Wajar aja masih pengantin baru, nanti kalau usia pernikahan kalian udah lima tahun, hemm ... rasakan akibatnya. Kamu akan merasakan gas dan beras habis secara bersamaan.""Idih! Mama ini loh bukannya ngomongin yang baik-baik, malah nyumpahin aku. Lagian nih ya, kami nggak bakal seperti itu. Mama, kan, tahu sendiri kalau suami aku itu--""Kaya raya?" potong Ipah cepat. "Ya, Mama tahu kalau suami kamu itu tajir, makanya Mama percaya sama Gio bisa jaga kamu. Mama yakin Gio nggak bakal ninggalin kamu.""Emangnya Mama peramal? Kok bisa nebak isi
"Sampai kapan Anda akan menyembunyikan semua ini dari istri Anda, Pak?" tanya Rizal."Sampai kapan pun sama sekali tidak ada urusanmu!" jawab Gio ketus."Tapi, Pak--""Ini hidupku, aku bisa atasi sendiri!"Rizal menghela napas panjang. "Saya hanya ingin mengingatkan kalau Anda sama sekali tak memiliki pengalaman dalam percintaan, Pak. Saya harap Anda tidak menyesal dengan keputusan Anda."Gio tersenyum sinis, sialnya dia membenarkan apa yang asistennya katakan."Untuk hal ini kamu benar. Sepertinya aku harus banyak belajar hal percintaan padamu, mengingat setiap bulannya kamu selalu gonta-ganti kekasih," sindir pria itu.Rizal cengengesan tak jelas."Dan aku peringatkan padamu, hati-hati dalam memilih pasangan, nanti terkena penyakit menular.""Astaga, Pak. Pemikiran Anda terlalu jauh," ringis Rizal."Hah! Sudahlah!""Maaf, Pak, untuk kali ini saya ingin menasehati Anda. Sebaiknya Anda beritahu saja istri Anda apa yang sebenarnya terjadi. Dia memang berhak tahu. Takutnya nanti dia ma
Sudah ada satu bulan Embun tinggal bersama mamanya, tapi sampai saat ini dia selalu bertanya-tanya mengapa suaminya belum datang menjemputnya. Jangankan jemput, menghubunginya saja sangatlah jarang.'Apa dia lagi sembunyiin sesuatu dariku ya? Kira-kira apa? Atau jangan-jangan dia diam-diam selingkuh di belakangku? Wah, nggak bisa dibiarin nih. Aku harus cari tahu sekarang,' batin Embun."Makanan dari tadi diaduk-aduk terus, coba sekali-kali dimakan gitu loh. Ini malah ngelamun," tegur Ipah.Embun tersenyum masam, ia pun segera menyuapkan nasinya ke dalam mulutnya."Lagi mikirin suami kamu ya?"Embun menggeleng, detik kemudian dia mengangguk."Kangen ya sama dia?" goda Ipah."Apaan sih, Ma," sergah Embun.Jadi, selain dia curiga dengan suaminya, dia juga sangat merindukan pria itu."Kalau kangen ya tinggal telepon, atau bila jemput. Mama nggak suka lihat wajah kamu cemberut kayak gitu. Emangnya kamu bosan ya di sini tinggal sama mama?"Embun menggeleng cepat. Duh, kalau sudah seperti i
"Jadi ... kamu curiga kalau suami kamu selingkuh?"Embun mengangguk mengiyakan."Ah, udah nggak heran lagi. Jadi benar ya semboyan orang kaya itu. Harta, tahta dan wanita," decak Mimi seraya geleng-geleng kepala."Ish! Kok kamu doainnya kayak gitu. Aku tuh cuma menduga. Tahu namanya dugaan nggak sih, kamu malah semakin bikin aku takut," ujar Embun dengan bibir mengerucut."Aku, kan, cuma ... ah udahlah lupain aja. Jadi apa rencana kamu?""Aku mau pulang ke rumah, siapa tahu dia menyembunyikan wanita di rumah itu." Tanpa sadar dia mengepalkan tangannya.Mimi berdecak malas. "Kalau mau pulang kenapa harus ke sini dulu. Ya tinggal pulang toh.""Masalahnya aku belum siap dan sebelum aku pulang, aku mau membelikan dia sesuatu, dan tentu saja aku minta temenin kamu, hehehe.""Halah, dasar modus. Kalau misalnya dugaan kamu salah gimana?"Embun menghela napas. "Ya ... aku harus minta maaf ke dia karena udah mikir yang nggak-nggak.""Kalau benar?" Mimi bertanya lagi.Embun terdiam beberapa saa
Gio semakin gila, menyetir mobil dengan ugal-ugalan. Bagaimana mungkin dirinya bisa tenang kalau Embun diam-diam pulang ke rumah yang jelas-jelas saat ini bukan punyanya lagi."Arghh! Bagaimana ini, bagaimana kalau dia sudah pulang ke rumah dan tidak melihatku di sana. Seperti apa tanggapannya. Sial! Embun, kenapa tidak memberitahuku kalau kamu mau pulang," racau Gio tak jelas.Gio berusaha menghubungi nomor Embun, sialnya tak ada respon dari Embun, membuat Gio semakin kalut.Karena Embun sama sekali tak mengangkat teleponnya, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi asistennya, Rizal."Halo, Pak.""Tolong cari istriku, jangan sampai dia datang ke rumah itu," pinta Gio.Rizal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencari? Dia harus mencari ke mana? Ah, kenapa dia harus punya bos yang menyebalkan."Saya harus cari ke mana, Pak?""Itu urusan kamu. Saat ini aku sedang dalam perjalanan, sekalian mencari istriku. Kalau ada kabar baik tolong hubungi aku."Tuh, kan. Selalu saja seperti ini.
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu