"Pak."Gio yang sedari fokus langsung menatap orang yang memanggilnya."Iya, ada apa, Lara?" tanya pria itu dengan kening berkerut."Emmm .... itu, Pak, itu ...." Lara tampak kebingungan untuk berbicara."Ada apa? Kenapa kamu tampak begitu cemas?" tanya Gio heran."Di luar banyak orang, Pak. Mereka itu sebenarnya karyawan yang pernah bekerja di sini, akan tetapi resign.""Lalu, apa hubungannya?" Gio semakin tak paham ke mana arah pembicaraan Lara."Sebenarnya mereka ingin meminta hak mereka, Pak. Mereka datang beramai-ramai ke sini untuk menuntut hak mereka, mereka ingin gaji mereka segera dibayar.""Hah?! Kamu serius? Masalah gaji hanya telat saja, meskipun begitu mereka tetap dibayar. Kenapa bisa seperti ini?""Saya juga tidak tahu, Pak," jawab Lara pelan seraya tertunduk, wanita itu benar-benar takut dengan kemarahan Gio."Tolong panggil Rizal, suruh dia datang ke sini!""Baik, Pak."Setelah Lara menghilang dari pandangannya, Gio menghela napas berat.'Kenapa jadi separah ini sih.
"Properti yang saat ini banyak dicari adalah apartemen Anda dan juga rumah yang saat ini Anda tinggali. Anda memilih yang mana untuk dijual?"Gio terdiam cukup lama, hingga tak lama dia menghela napas panjang."Rumahku.""Anda yakin?" tanya Rizal ragu."Yakin!""Tapi, Pak, apa Anda tidak menyesal dengan keputusan Anda? Bukankah rumah itu penuh kenangan dengan istri Anda?""Kejutan! Aku belikan ini buat kamu, semoga kamu suka ya."Lamunan Gio buyar karena suara Embun, dia melihat wajah istrinya itu seraya tersenyum.Wajah Embun tampak berseri-seri ketika memberikan sebuah kotak kado itu pada Gio, Gio pun menerimanya dengan suka cita.Senyum Embun perlahan memudar karena Gio tak langsung membukanya, pria itu malah meletakkan kotak kado itu begitu saja."Kok nggak langsung dibuka?" tanya Embun dengan wajah cemberut."Nanti dulu ya, aku lagi sibuk. Pasti aku buka kok.""Iya deh. Kalau gitu aku masuk--""Eh, tunggu dulu!" sergah Gio sambil memegang tangan Embun."Ada apa?""Ada yang mau ak
"Kalian lagi kelahi?"Embun tersedak mendengar pertanyaan mamanya."Mana ada. Ngawur Mama ih," bantah Embun."Terus kenapa tiba-tiba Gio antar kamu ke rumah?" tanya Ipah penasaran."Gio mau pergi ke luar kota, ada urusan bisnis. Dia perginya nggak sebentar, agak lama, makanya dia nyuruh aku pulang biar aku ada temannya. Dia bilang nggak tega kalau ninggalin aku sendirian di rumah. Suamiku romantis, kan, Ma?"Ipah memutar bola matanya malas. "Heleh! Wajar aja masih pengantin baru, nanti kalau usia pernikahan kalian udah lima tahun, hemm ... rasakan akibatnya. Kamu akan merasakan gas dan beras habis secara bersamaan.""Idih! Mama ini loh bukannya ngomongin yang baik-baik, malah nyumpahin aku. Lagian nih ya, kami nggak bakal seperti itu. Mama, kan, tahu sendiri kalau suami aku itu--""Kaya raya?" potong Ipah cepat. "Ya, Mama tahu kalau suami kamu itu tajir, makanya Mama percaya sama Gio bisa jaga kamu. Mama yakin Gio nggak bakal ninggalin kamu.""Emangnya Mama peramal? Kok bisa nebak isi
"Sampai kapan Anda akan menyembunyikan semua ini dari istri Anda, Pak?" tanya Rizal."Sampai kapan pun sama sekali tidak ada urusanmu!" jawab Gio ketus."Tapi, Pak--""Ini hidupku, aku bisa atasi sendiri!"Rizal menghela napas panjang. "Saya hanya ingin mengingatkan kalau Anda sama sekali tak memiliki pengalaman dalam percintaan, Pak. Saya harap Anda tidak menyesal dengan keputusan Anda."Gio tersenyum sinis, sialnya dia membenarkan apa yang asistennya katakan."Untuk hal ini kamu benar. Sepertinya aku harus banyak belajar hal percintaan padamu, mengingat setiap bulannya kamu selalu gonta-ganti kekasih," sindir pria itu.Rizal cengengesan tak jelas."Dan aku peringatkan padamu, hati-hati dalam memilih pasangan, nanti terkena penyakit menular.""Astaga, Pak. Pemikiran Anda terlalu jauh," ringis Rizal."Hah! Sudahlah!""Maaf, Pak, untuk kali ini saya ingin menasehati Anda. Sebaiknya Anda beritahu saja istri Anda apa yang sebenarnya terjadi. Dia memang berhak tahu. Takutnya nanti dia ma
Sudah ada satu bulan Embun tinggal bersama mamanya, tapi sampai saat ini dia selalu bertanya-tanya mengapa suaminya belum datang menjemputnya. Jangankan jemput, menghubunginya saja sangatlah jarang.'Apa dia lagi sembunyiin sesuatu dariku ya? Kira-kira apa? Atau jangan-jangan dia diam-diam selingkuh di belakangku? Wah, nggak bisa dibiarin nih. Aku harus cari tahu sekarang,' batin Embun."Makanan dari tadi diaduk-aduk terus, coba sekali-kali dimakan gitu loh. Ini malah ngelamun," tegur Ipah.Embun tersenyum masam, ia pun segera menyuapkan nasinya ke dalam mulutnya."Lagi mikirin suami kamu ya?"Embun menggeleng, detik kemudian dia mengangguk."Kangen ya sama dia?" goda Ipah."Apaan sih, Ma," sergah Embun.Jadi, selain dia curiga dengan suaminya, dia juga sangat merindukan pria itu."Kalau kangen ya tinggal telepon, atau bila jemput. Mama nggak suka lihat wajah kamu cemberut kayak gitu. Emangnya kamu bosan ya di sini tinggal sama mama?"Embun menggeleng cepat. Duh, kalau sudah seperti i
"Jadi ... kamu curiga kalau suami kamu selingkuh?"Embun mengangguk mengiyakan."Ah, udah nggak heran lagi. Jadi benar ya semboyan orang kaya itu. Harta, tahta dan wanita," decak Mimi seraya geleng-geleng kepala."Ish! Kok kamu doainnya kayak gitu. Aku tuh cuma menduga. Tahu namanya dugaan nggak sih, kamu malah semakin bikin aku takut," ujar Embun dengan bibir mengerucut."Aku, kan, cuma ... ah udahlah lupain aja. Jadi apa rencana kamu?""Aku mau pulang ke rumah, siapa tahu dia menyembunyikan wanita di rumah itu." Tanpa sadar dia mengepalkan tangannya.Mimi berdecak malas. "Kalau mau pulang kenapa harus ke sini dulu. Ya tinggal pulang toh.""Masalahnya aku belum siap dan sebelum aku pulang, aku mau membelikan dia sesuatu, dan tentu saja aku minta temenin kamu, hehehe.""Halah, dasar modus. Kalau misalnya dugaan kamu salah gimana?"Embun menghela napas. "Ya ... aku harus minta maaf ke dia karena udah mikir yang nggak-nggak.""Kalau benar?" Mimi bertanya lagi.Embun terdiam beberapa saa
Gio semakin gila, menyetir mobil dengan ugal-ugalan. Bagaimana mungkin dirinya bisa tenang kalau Embun diam-diam pulang ke rumah yang jelas-jelas saat ini bukan punyanya lagi."Arghh! Bagaimana ini, bagaimana kalau dia sudah pulang ke rumah dan tidak melihatku di sana. Seperti apa tanggapannya. Sial! Embun, kenapa tidak memberitahuku kalau kamu mau pulang," racau Gio tak jelas.Gio berusaha menghubungi nomor Embun, sialnya tak ada respon dari Embun, membuat Gio semakin kalut.Karena Embun sama sekali tak mengangkat teleponnya, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi asistennya, Rizal."Halo, Pak.""Tolong cari istriku, jangan sampai dia datang ke rumah itu," pinta Gio.Rizal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencari? Dia harus mencari ke mana? Ah, kenapa dia harus punya bos yang menyebalkan."Saya harus cari ke mana, Pak?""Itu urusan kamu. Saat ini aku sedang dalam perjalanan, sekalian mencari istriku. Kalau ada kabar baik tolong hubungi aku."Tuh, kan. Selalu saja seperti ini.
Karena saking frustrasi, Gio benar-benar tak bisa berpikir jernih. Beruntungnya asisten Gio yang bernama Rizal memberitahukan padanya kalau istrinya saat ini sedang berada di rumah teman wanita itu yang bernama Mimi."CK! Kenapa aku nggak kepikiran ke arah sana sih. Ah, mudahan aja dia mau memaafkan kesalahanku," gumam pria itu.Setidaknya Gio bisa bernapas lega karena sudah mengetahui keberadaan istrinya. Dia pun memelankan laju kecepatan mobilnya.Sesekali dia juga mencoba menghubungi nomor Embun, sialnya satupun dari panggilannya tidak ada yang diangkat."Angkat dong, Sayang. Aku cemas nih," lirih pria itu lagi.Karena usahanya tak membuahkan hasil, dia pun melemparkan ponselnya ke arah kursi kemudi yang ada di samping.Gio memutuskan untuk menjemput wanita itu. Meskipun saat ini Embun tengah marah padanya, dia akan tetap membawa pulang istrinya itu."Maafkan aku, istriku." Berkali-kali Gio menggumamkan kata-kata maaf yang ditujukan untuk Embun.Sementara Embun, dia tersenyum sinis