"Sampai kapan Anda akan menyembunyikan semua ini dari istri Anda, Pak?" tanya Rizal."Sampai kapan pun sama sekali tidak ada urusanmu!" jawab Gio ketus."Tapi, Pak--""Ini hidupku, aku bisa atasi sendiri!"Rizal menghela napas panjang. "Saya hanya ingin mengingatkan kalau Anda sama sekali tak memiliki pengalaman dalam percintaan, Pak. Saya harap Anda tidak menyesal dengan keputusan Anda."Gio tersenyum sinis, sialnya dia membenarkan apa yang asistennya katakan."Untuk hal ini kamu benar. Sepertinya aku harus banyak belajar hal percintaan padamu, mengingat setiap bulannya kamu selalu gonta-ganti kekasih," sindir pria itu.Rizal cengengesan tak jelas."Dan aku peringatkan padamu, hati-hati dalam memilih pasangan, nanti terkena penyakit menular.""Astaga, Pak. Pemikiran Anda terlalu jauh," ringis Rizal."Hah! Sudahlah!""Maaf, Pak, untuk kali ini saya ingin menasehati Anda. Sebaiknya Anda beritahu saja istri Anda apa yang sebenarnya terjadi. Dia memang berhak tahu. Takutnya nanti dia ma
Sudah ada satu bulan Embun tinggal bersama mamanya, tapi sampai saat ini dia selalu bertanya-tanya mengapa suaminya belum datang menjemputnya. Jangankan jemput, menghubunginya saja sangatlah jarang.'Apa dia lagi sembunyiin sesuatu dariku ya? Kira-kira apa? Atau jangan-jangan dia diam-diam selingkuh di belakangku? Wah, nggak bisa dibiarin nih. Aku harus cari tahu sekarang,' batin Embun."Makanan dari tadi diaduk-aduk terus, coba sekali-kali dimakan gitu loh. Ini malah ngelamun," tegur Ipah.Embun tersenyum masam, ia pun segera menyuapkan nasinya ke dalam mulutnya."Lagi mikirin suami kamu ya?"Embun menggeleng, detik kemudian dia mengangguk."Kangen ya sama dia?" goda Ipah."Apaan sih, Ma," sergah Embun.Jadi, selain dia curiga dengan suaminya, dia juga sangat merindukan pria itu."Kalau kangen ya tinggal telepon, atau bila jemput. Mama nggak suka lihat wajah kamu cemberut kayak gitu. Emangnya kamu bosan ya di sini tinggal sama mama?"Embun menggeleng cepat. Duh, kalau sudah seperti i
"Jadi ... kamu curiga kalau suami kamu selingkuh?"Embun mengangguk mengiyakan."Ah, udah nggak heran lagi. Jadi benar ya semboyan orang kaya itu. Harta, tahta dan wanita," decak Mimi seraya geleng-geleng kepala."Ish! Kok kamu doainnya kayak gitu. Aku tuh cuma menduga. Tahu namanya dugaan nggak sih, kamu malah semakin bikin aku takut," ujar Embun dengan bibir mengerucut."Aku, kan, cuma ... ah udahlah lupain aja. Jadi apa rencana kamu?""Aku mau pulang ke rumah, siapa tahu dia menyembunyikan wanita di rumah itu." Tanpa sadar dia mengepalkan tangannya.Mimi berdecak malas. "Kalau mau pulang kenapa harus ke sini dulu. Ya tinggal pulang toh.""Masalahnya aku belum siap dan sebelum aku pulang, aku mau membelikan dia sesuatu, dan tentu saja aku minta temenin kamu, hehehe.""Halah, dasar modus. Kalau misalnya dugaan kamu salah gimana?"Embun menghela napas. "Ya ... aku harus minta maaf ke dia karena udah mikir yang nggak-nggak.""Kalau benar?" Mimi bertanya lagi.Embun terdiam beberapa saa
Gio semakin gila, menyetir mobil dengan ugal-ugalan. Bagaimana mungkin dirinya bisa tenang kalau Embun diam-diam pulang ke rumah yang jelas-jelas saat ini bukan punyanya lagi."Arghh! Bagaimana ini, bagaimana kalau dia sudah pulang ke rumah dan tidak melihatku di sana. Seperti apa tanggapannya. Sial! Embun, kenapa tidak memberitahuku kalau kamu mau pulang," racau Gio tak jelas.Gio berusaha menghubungi nomor Embun, sialnya tak ada respon dari Embun, membuat Gio semakin kalut.Karena Embun sama sekali tak mengangkat teleponnya, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi asistennya, Rizal."Halo, Pak.""Tolong cari istriku, jangan sampai dia datang ke rumah itu," pinta Gio.Rizal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencari? Dia harus mencari ke mana? Ah, kenapa dia harus punya bos yang menyebalkan."Saya harus cari ke mana, Pak?""Itu urusan kamu. Saat ini aku sedang dalam perjalanan, sekalian mencari istriku. Kalau ada kabar baik tolong hubungi aku."Tuh, kan. Selalu saja seperti ini.
Karena saking frustrasi, Gio benar-benar tak bisa berpikir jernih. Beruntungnya asisten Gio yang bernama Rizal memberitahukan padanya kalau istrinya saat ini sedang berada di rumah teman wanita itu yang bernama Mimi."CK! Kenapa aku nggak kepikiran ke arah sana sih. Ah, mudahan aja dia mau memaafkan kesalahanku," gumam pria itu.Setidaknya Gio bisa bernapas lega karena sudah mengetahui keberadaan istrinya. Dia pun memelankan laju kecepatan mobilnya.Sesekali dia juga mencoba menghubungi nomor Embun, sialnya satupun dari panggilannya tidak ada yang diangkat."Angkat dong, Sayang. Aku cemas nih," lirih pria itu lagi.Karena usahanya tak membuahkan hasil, dia pun melemparkan ponselnya ke arah kursi kemudi yang ada di samping.Gio memutuskan untuk menjemput wanita itu. Meskipun saat ini Embun tengah marah padanya, dia akan tetap membawa pulang istrinya itu."Maafkan aku, istriku." Berkali-kali Gio menggumamkan kata-kata maaf yang ditujukan untuk Embun.Sementara Embun, dia tersenyum sinis
Mimi tersentak karena yang mengetuk pintu rumahnya ternyata Gio, suami temannya. "Eh, Pak Gio," sapa Mimi sedikit gugup."Embun ada di sini?""Eh, ada kok, Pak. Sebentar ya biar saya panggilkan.""Nggak usah, biar saya aja yang temui dia. Kamu cukup kasih tahu saya dia ada di mana.""Baik, Pak. Mari ikuti saya."Mimi pun menunjukkan keberadaan Embun, selepas itu Mimi pergi meninggalkan mereka berdua, menurutnya mereka juga membutuhkan privasi, jadi Mimi tak ingin mengusiknya."Eh tunggu dulu, kan, di sini aku yang punya rumah, terus kenapa malah aku yang keluar dari rumah ini?" decak Mimi.Dia baru sadar ketika sudah keluar dari pintu."CK! Biarin aja deh, nggak mau ikut-ikutan cari masalah sama Pak Gio, nanti aku nggak dibolehin kerja lagi di perusahaannya."Sementara Embun, dia mendengar suara derap langkah semakin jelas ke arahnya, tetapi dia tetap dengan posisinya, duduk setengah tidur seraya memejamkan mata."Siapa, Mi? Pasti pacar kamu ya?" tebak Embun setengah mengejek.Embun
"Kenapa diam aja? Katanya tadi kamu mau jelasin semuanya, Mas?" tanya Embun seraya melipatkan kedua tangannya.Gio yang saat ini sedang menyetir pun tersenyum."Nanti aku bakal jelasin kalau kita udah sampai rumah ya?" pinta Gio."Rumah yang mana? Bukannya rumah yang itu udah di tempati orang lain ya?" Embun terus saja nyerocos membuat Gio tertawa."Istriku ini kenapa bawel sekali?" godanya seraya mencolek dagu Embun."Ish! Aku serius tau, dari tadi aku tanya kok nggak dijawab-jawab?""Nanti ya, Sayang. Pasti bakal aku jelasin kok. Saat ini aku sedang fokus menyetir, jadi nggak bisa jelasin di sini, sabar ya," pinta Gio."Oke deh," lirih Embun.Kini wanita itu sudah tak berbicara lagi, dia malah asyik menatap ke arah luar jendela.'Sebenarnya kenapa Gio menyembunyikan semua ini? Kenapa juga aku nggak boleh tau! Ih, nyebelin banget sumpah,' gerutunya dalam hati.Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti, membuat Embun celingukan ke sana-sini, di depan dia melihat ada rumah yang sebelu
Setelah beberapa kali berperang dengan pikirannya, akhirnya Gio memutuskan untuk meminta bantuan pada Rena, mamanya.Dia tak ingin selalu berpangku tangan seperti ini, walau sebenarnya dia tahu kalau semua ini adalah ulah mamanya sendiri. Ya, ternyata orang yang berusaha menghancurkan perusahaannya adalah Rena, dengan bantuan orang dalam yang sangat Gio ketahui itu adalah rekan kerjanya sendiri.Selama ini Gio selalu mencari cara agar perusahaannya kembali normal, selalu mencari-cari nama-nama investor yang mau bekerja sama dengannya, sayangnya satupun tak membuahkan hasil.Usaha Gio selama ini terlihat sia-sia, padahal dia sudah berjuang mati-matian. Entahlah, pikiran Gio ini semua sudah bagian rencana dari mamanya agar dirinya mau mengikuti kemauan mamanya itu.Berkali-kali Gio menghela napas berat, dia menatap rumah yang sudah lama tak dia datangi dengan tatapan penuh makna. Setelah dia berusaha menenangkan pikirannya, dia pun memutuskan untuk memasuki rumah itu."Kirain siapa yang