"Kau sudah membersihkan kolamnya?" tanya Gio dengan suara datar. Embun mengerjapkan matanya berkali-kali. Baru saja Gio memuji masakannya di depan mama pria itu, lantas kenapa Gio kembali ke mode awal? 'Harusnya tadi aku nggak usah muji-muji dia. Gio tetaplah Gio, laki-laki yang begitu menyebalkan yang pernah aku temui,' gerutu wanita itu dalam hati. "Biar aku tebak, pasti kamu belum melakukannya, kan?" tanya pria itu sinis. "Bik Sum bilang air kolamnya udah dibersihkan kemarin sama pak Somat, apa perlu aku bersihkan lagi?" tanya Embun heran. "Menurutmu gimana?" Bukannya menjawab, Gio malah balik bertanya. "Ya mana aku tahu." "Gimana kalau kamu bersihkan sekarang?" Mata Embun melotot. "Kamu serius? Wah, wah, wah. Kok kamu keterlaluan sekali sih. Jadi suami jahat banget, masa tega nyuruh istri buat nguras air kolam ini. Bukannya kamu orang kaya? Kenapa nggak kamu gunakan aja buat sewa pembantu?" sarkas Embun. Kini giliran Gio yang menatap wanita itu dengan tatapan tajam. "Aku
Beberapa minggu sudah dilalui oleh Embun maupun Gio. Setelah mereka berdua memutuskan untuk pisah rumah dengan Rena, kehidupan Embun sudah mulai membaik. Tak ada lagi yang membuat hari-hari Embun menjadi suram.Memang benar yang orang katakan. Lebih baik hidup sederhana daripada bergelimang harta tapi rumah masih campur dengan mertua. Embun sangat bersyukur karena memiliki suami yang perhatian terhadapnya. Ya, meskipun Gio itu adalah ... gay. Awalnya memang Embun tak mempermasalahkan hal itu, toh menurutnya juga mereka menikah terlalu terburu-buru. Tapi semakin ke sini, semakin membuat wanita itu merasa tak tenang.Meskipun Embun tidak tinggal bersama mertuanya, sesekali Rena datang dan menanyakan kapan dirinya hamil."Kenapa wajahmu seperti itu? Jelek sekali dipandang," ujar Gio sinis.Embun menghela napas berat. "Mama chat aku lagi.""Apa katanya?""Seperti biasa," jawab wanita itu dengan lesu."Menanyakan kapan dirimu hamil?" tebak Gio.Embun menjawab dengan anggukan saja."Ngapai
"Apa maksudmu menyuruhku untuk menonton film dewasa seperti ini?" tanya Gio dengan pandangan mengernyit jijik."Untuk mengasah motorik kamu," jawab Embun asal, seraya mengunyah keripik kentang yang baru saja dibelinya tadi di supermarket."Heh! Apa kamu bilang? Mengasah motorik? Kamu pikir aku ini anak kecil yang nggak bisa apa-apa?" dengkus pria itu galak.Yang dimarahi hanya bisa nyengir lebar. "Habisnya kamu itu kalau ngomong raut wajahnya suka lempeng. Sekali-kali ngeluarin ekspresi gitu loh, biar aku tau kamu itu lagi marah, seneng, atau sedih. Jadi, kan, enak kalau nebaknya."Gio mendengkus keras. "Aku lebih baik berkutat dengan laptop dan lembaran-lembaran kertas daripada harus menonton film menjijikkan seperti ini," dengkus pria itu.Embun berdeham sejenak, tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak memakan keripik itu, matanya mengekor ke arah meja Gio, lalu secepat kilat dia mengambil dan langsung menenggaknya hingga tandas. Gio yang melihatnya hanya bisa mengernyit
"Aku membencimu, Embun. Mulai hari ini aku tidak mau melihat wajahmu lagi."Embun menghela napas berkali-kali ketika mengingat ucapan Gio. Ini adalah hari ketiga setelah kejadian itu. Dia sama sekali tak menyangka jika akan terjadi seperti itu. Yang Embun pikirkan hanya ingin membantu Gio dari kubangan trauma, ya ... hanya itu saja, tidak lebih. Ingin membuat Gio menjadi pribadi yang lebih baik, untuk keluar dari zona nyaman. Namun rupanya Embun salah besar.Harusnya dia melihat kondisi Gio dulu seperti apa, barulah dia mencoba memperbaiki sifat pria itu. Kalau sudah seperti ini apa yang harus Embun lakukan? Bahkan sampai detik ini dia sama sekali tak berani untuk pulang, mengingat ucapan Gio yang begitu menakutkan."Aku tahu, yang namanya rumah tangga pasti nggak melulu tentang romantis atau manis. Ada kalanya pahit, asem, kecut dan lain sebagainya."Bulan menatap Mimi seraya mengernyit. "Kamu ngomong apa?" tanya wanita itu tak paham."Aku tahu kok. Pasti kamu sama suami kamu lagi b
"Gio, aku--""Apa kamu lupa sama apa yang aku bilang, Embun?" potong pria itu cepat."Gio, dengerin aku dulu, aku mau minta maaf. Maaf, gara-gara aku, kamu kembali mengingat masa lalumu. Aku benar-benar minta maaf," ucap wanita itu dengan penuh sesal.Gio menghela napas berat. Sejujurnya dia masih kesal dengan Embun, tetapi melihat bagaimana raut wajah wanita itu, entah kenapa dia merasa tidak enak hati."Harusnya aku lihat-lihat dulu situasinya seperti apa, kondisi kamu seperti apa, tapi aku malah ujuk-ujuk memberikan percobaan untuk kamu. Aku benar-benar menyesal karena udah membuatmu kembali mengingat kejadian masa lalu itu. Maafin aku Gio," ucap Embun dengan suara pelan."Asal kamu tahu, Embun. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan kejadian itu. Yang lebih menyedihkan aku menyembuhkan semua itu secara sendiri, tidak ada satupun yang tahu. Aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa di hadapan kedua orang tuaku dan orang-orang terdekatku. Sungguh, ketika mengingat hal itu hat
"Jadi sebenarnya kalian ini kenapa? Kok berantemnya nggak kunjung usai sih?" tanya Mimi penasaran.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. Mau curhat yang sebenarnya pada temannya pun dia rasa tidak mungkin."Entahlah, aku juga nggak ngerti," jawab Embun sekenanya."Lah, kamunya aja yang jalani pernikahan bingung, apalagi aku yang ngelihatnya, makinnya bingung. Jujur aja sih, Embun, sebenarnya kamu ini ada apa? Nggak apa-apa cerita sama aku, lagian kamu tahu sendiri, kan, aku ini orangnya mulutnya nggak bocor kok, tenang aja, aku bisa jaga rahasia kok."Embun menghela napas berat. Sebenarnya sangat ingin dia bercerita, tapi harus mulai dari mana? Saking banyaknya masalah yang dia hadapi, sampai-sampai untuk menjelaskannya pun terasa begitu susah."Nanti-nanti aja ya aku ceritanya, Mi. Sekarang isi kepalaku itu lagi penuh, rasanya mau pecah. Pengin istirahat, bisa kan?"Mimi mengangguk paham, dia sangat memahami itu, mungkin saat ini
Sedari tadi Gio terus diam, sorot matanya menandakan kalau dirinya tengah marah.Apalagi mengingat tadi ketika Embun tengah berbicara dengan seorang pria yang tidak dia kenal, tangannya mengepal erat karena terbayang bagaimana Embun tersenyum pada pria itu."Berengsek!" umpat pria itu seraya mengacak rambutnya frustrasi. "Bisa-bisanya dia tersenyum dengan pria lain tanpa beban, tapi denganku dia sama sekali tidak seperti itu," erangnya lagi.Setelah menggerutu kesal, dia pun langsung mengambil ponselnya. Ya, dia memutuskan untuk menghubungi nomor wanita itu. Siapa lagi kalau bukan istrinya, Embun.Gio semakin resah ketika sudah sampai deringan kedua, belum ada tanda-tanda Embun akan mengangkat teleponnya. Akhirnya Gio bernapas lega karena mendengar suara Embun dari ujung sana."Halo, Gio. Ada apa?" Gio mengernyit heran karena mendengar suara Embun tampak begitu cemas."Cepat datang ke kantor," titah pria itu dengan suara dingin."Kenapa?""Udah, tinggal datang aja ke sini, nggak usah
"Kau sedang apa?"Embun terlonjak kaget ketika mendengar suara Gio, saat ini dia sedang melakukan rutinitas memasak. Semua itu dia lakukan untuk Gio, karena Embun merasa pria itu sudah tak marah lagi padanya.Sebagai bentuk rasa terima kasihnya dia memutuskan untuk membuatkan sesuatu untuk pria itu, salah satunya memasak. Ya, walaupun sebenarnya dia tidak tahu makanan kesukaan pria itu apa."Aku sedang masak," jawab Embun pada akhirnya."Untuk siapa?""Kamu.""Aku?""Iya, memangnya untuk siapa lagi kalau bukan kamu?" tanya Embun heran.Gio menghela napas berat. "Sayang sekali, tadi sebelum aku pulang aku mampir di restoran, dan ya ... tanpa aku kasih tahu pun kamu pasti bisa menebaknya, bukan?"Embun langsung menghentikan aktivitasnya ketika mendengar Gio berbicara seperti itu, terlihat begitu jelas kalau wajah wanita itu tampak kecewa.'Yah, sia-sia deh aku masak semua ini,' batin wanita itu, sedih."Tapi nggak apa-apa deh, kamu masak akan tetap aku makan. Aku mandi dulu, kalau sudah
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu