"Ini seriusan aku disuruh nguras air kolam ini? Kok Gio kebangetan ya jadi orang," gerutu Embun. Wanita itu terus meringis ketika melihat kolam itu tampak besar. "Kalau kayak gini kapan selesainya coba, gede banget. Seharian pun belum tentu selesai.""Loh, Non, ngapain di sini?"Embun langsung menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang wanita paruh baya tengah menatapnya dengan tatapan heran."Oh, nggak. Saya cuma ... cuma mau lihat-lihat aja, hehehehe," jawab wanita itu salah tingkah."Oh, saya kira kenapa. Kalau Non butuh bantuan atau kalau perlu apa-apa, langsung bilang aja sama saya, jangan sungkan ya, Non."Embun mengangguk. "Iya, kalau boleh tahu, namanya siapa?" tanya Embun penasaran."Panggil aja Bik Sum. Non butuh bantuan?""Bik Sum udah tahu saya?"Wanita paruh baya itu tertawa pelan, menurutnya pertanyaan Embun sangatlah lucu."Tentu saja saya tahu. Non Embun adalah istri dari tuan Gio, siapa sih yang tidak mengenalinya. Non Embun ini ada-ada saja pertanyaannya," katanya sambi
"Kau sudah membersihkan kolamnya?" tanya Gio dengan suara datar. Embun mengerjapkan matanya berkali-kali. Baru saja Gio memuji masakannya di depan mama pria itu, lantas kenapa Gio kembali ke mode awal? 'Harusnya tadi aku nggak usah muji-muji dia. Gio tetaplah Gio, laki-laki yang begitu menyebalkan yang pernah aku temui,' gerutu wanita itu dalam hati. "Biar aku tebak, pasti kamu belum melakukannya, kan?" tanya pria itu sinis. "Bik Sum bilang air kolamnya udah dibersihkan kemarin sama pak Somat, apa perlu aku bersihkan lagi?" tanya Embun heran. "Menurutmu gimana?" Bukannya menjawab, Gio malah balik bertanya. "Ya mana aku tahu." "Gimana kalau kamu bersihkan sekarang?" Mata Embun melotot. "Kamu serius? Wah, wah, wah. Kok kamu keterlaluan sekali sih. Jadi suami jahat banget, masa tega nyuruh istri buat nguras air kolam ini. Bukannya kamu orang kaya? Kenapa nggak kamu gunakan aja buat sewa pembantu?" sarkas Embun. Kini giliran Gio yang menatap wanita itu dengan tatapan tajam. "Aku
Beberapa minggu sudah dilalui oleh Embun maupun Gio. Setelah mereka berdua memutuskan untuk pisah rumah dengan Rena, kehidupan Embun sudah mulai membaik. Tak ada lagi yang membuat hari-hari Embun menjadi suram.Memang benar yang orang katakan. Lebih baik hidup sederhana daripada bergelimang harta tapi rumah masih campur dengan mertua. Embun sangat bersyukur karena memiliki suami yang perhatian terhadapnya. Ya, meskipun Gio itu adalah ... gay. Awalnya memang Embun tak mempermasalahkan hal itu, toh menurutnya juga mereka menikah terlalu terburu-buru. Tapi semakin ke sini, semakin membuat wanita itu merasa tak tenang.Meskipun Embun tidak tinggal bersama mertuanya, sesekali Rena datang dan menanyakan kapan dirinya hamil."Kenapa wajahmu seperti itu? Jelek sekali dipandang," ujar Gio sinis.Embun menghela napas berat. "Mama chat aku lagi.""Apa katanya?""Seperti biasa," jawab wanita itu dengan lesu."Menanyakan kapan dirimu hamil?" tebak Gio.Embun menjawab dengan anggukan saja."Ngapai
"Apa maksudmu menyuruhku untuk menonton film dewasa seperti ini?" tanya Gio dengan pandangan mengernyit jijik."Untuk mengasah motorik kamu," jawab Embun asal, seraya mengunyah keripik kentang yang baru saja dibelinya tadi di supermarket."Heh! Apa kamu bilang? Mengasah motorik? Kamu pikir aku ini anak kecil yang nggak bisa apa-apa?" dengkus pria itu galak.Yang dimarahi hanya bisa nyengir lebar. "Habisnya kamu itu kalau ngomong raut wajahnya suka lempeng. Sekali-kali ngeluarin ekspresi gitu loh, biar aku tau kamu itu lagi marah, seneng, atau sedih. Jadi, kan, enak kalau nebaknya."Gio mendengkus keras. "Aku lebih baik berkutat dengan laptop dan lembaran-lembaran kertas daripada harus menonton film menjijikkan seperti ini," dengkus pria itu.Embun berdeham sejenak, tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak memakan keripik itu, matanya mengekor ke arah meja Gio, lalu secepat kilat dia mengambil dan langsung menenggaknya hingga tandas. Gio yang melihatnya hanya bisa mengernyit
"Aku membencimu, Embun. Mulai hari ini aku tidak mau melihat wajahmu lagi."Embun menghela napas berkali-kali ketika mengingat ucapan Gio. Ini adalah hari ketiga setelah kejadian itu. Dia sama sekali tak menyangka jika akan terjadi seperti itu. Yang Embun pikirkan hanya ingin membantu Gio dari kubangan trauma, ya ... hanya itu saja, tidak lebih. Ingin membuat Gio menjadi pribadi yang lebih baik, untuk keluar dari zona nyaman. Namun rupanya Embun salah besar.Harusnya dia melihat kondisi Gio dulu seperti apa, barulah dia mencoba memperbaiki sifat pria itu. Kalau sudah seperti ini apa yang harus Embun lakukan? Bahkan sampai detik ini dia sama sekali tak berani untuk pulang, mengingat ucapan Gio yang begitu menakutkan."Aku tahu, yang namanya rumah tangga pasti nggak melulu tentang romantis atau manis. Ada kalanya pahit, asem, kecut dan lain sebagainya."Bulan menatap Mimi seraya mengernyit. "Kamu ngomong apa?" tanya wanita itu tak paham."Aku tahu kok. Pasti kamu sama suami kamu lagi b
"Gio, aku--""Apa kamu lupa sama apa yang aku bilang, Embun?" potong pria itu cepat."Gio, dengerin aku dulu, aku mau minta maaf. Maaf, gara-gara aku, kamu kembali mengingat masa lalumu. Aku benar-benar minta maaf," ucap wanita itu dengan penuh sesal.Gio menghela napas berat. Sejujurnya dia masih kesal dengan Embun, tetapi melihat bagaimana raut wajah wanita itu, entah kenapa dia merasa tidak enak hati."Harusnya aku lihat-lihat dulu situasinya seperti apa, kondisi kamu seperti apa, tapi aku malah ujuk-ujuk memberikan percobaan untuk kamu. Aku benar-benar menyesal karena udah membuatmu kembali mengingat kejadian masa lalu itu. Maafin aku Gio," ucap Embun dengan suara pelan."Asal kamu tahu, Embun. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan kejadian itu. Yang lebih menyedihkan aku menyembuhkan semua itu secara sendiri, tidak ada satupun yang tahu. Aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa di hadapan kedua orang tuaku dan orang-orang terdekatku. Sungguh, ketika mengingat hal itu hat
"Jadi sebenarnya kalian ini kenapa? Kok berantemnya nggak kunjung usai sih?" tanya Mimi penasaran.Embun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. Mau curhat yang sebenarnya pada temannya pun dia rasa tidak mungkin."Entahlah, aku juga nggak ngerti," jawab Embun sekenanya."Lah, kamunya aja yang jalani pernikahan bingung, apalagi aku yang ngelihatnya, makinnya bingung. Jujur aja sih, Embun, sebenarnya kamu ini ada apa? Nggak apa-apa cerita sama aku, lagian kamu tahu sendiri, kan, aku ini orangnya mulutnya nggak bocor kok, tenang aja, aku bisa jaga rahasia kok."Embun menghela napas berat. Sebenarnya sangat ingin dia bercerita, tapi harus mulai dari mana? Saking banyaknya masalah yang dia hadapi, sampai-sampai untuk menjelaskannya pun terasa begitu susah."Nanti-nanti aja ya aku ceritanya, Mi. Sekarang isi kepalaku itu lagi penuh, rasanya mau pecah. Pengin istirahat, bisa kan?"Mimi mengangguk paham, dia sangat memahami itu, mungkin saat ini
Sedari tadi Gio terus diam, sorot matanya menandakan kalau dirinya tengah marah.Apalagi mengingat tadi ketika Embun tengah berbicara dengan seorang pria yang tidak dia kenal, tangannya mengepal erat karena terbayang bagaimana Embun tersenyum pada pria itu."Berengsek!" umpat pria itu seraya mengacak rambutnya frustrasi. "Bisa-bisanya dia tersenyum dengan pria lain tanpa beban, tapi denganku dia sama sekali tidak seperti itu," erangnya lagi.Setelah menggerutu kesal, dia pun langsung mengambil ponselnya. Ya, dia memutuskan untuk menghubungi nomor wanita itu. Siapa lagi kalau bukan istrinya, Embun.Gio semakin resah ketika sudah sampai deringan kedua, belum ada tanda-tanda Embun akan mengangkat teleponnya. Akhirnya Gio bernapas lega karena mendengar suara Embun dari ujung sana."Halo, Gio. Ada apa?" Gio mengernyit heran karena mendengar suara Embun tampak begitu cemas."Cepat datang ke kantor," titah pria itu dengan suara dingin."Kenapa?""Udah, tinggal datang aja ke sini, nggak usah