"Halo, Ma. Ini aku lagi di jalan, mau pulang." Ketika sambungan teleponnya itu sudah diangkat oleh mamanya, Embun langsung bicara to the poin. "Loh, loh, loh. Kok dadakan begini. Apa kamu nggak betah kerja di sana? Atau jangan-jangan kamu udah dikeluarin dari perusahaan itu? Kamu ini gimana sih, Embun. Cari kerjaan itu susah, coba kalau dapat kerjaan itu di eman-eman. Ini belum ada satu bulan kerja udah mau pulang aja. GImana mau dapat gaji kalau gitu," cerocos mama Embun yang bernama Ipah. Embun memijat pelipisnya secara perlahan. Mamanya memang seperti itu, selalu berasumsi sendiri tanpa menunggu penjelasan Embun terlebih dahulu. Kalau kebanyakan orang bilang mama Embun sangat cerewet. Ya, Embun akui itu, tapi kasih sayang mamanya ke Embun lebih besar dari sifat cerewetnya itu. "Ma, makanya kalau aku belum selesai ngomong didengar dulu. Mama ih, kebiasaan loh," gerutu wanita itu. "Terus alasan kamu pulang ke rumah kenapa?" tanya Ipah kemudian. "Itu ... aku cuma pengen pulang aj
"Mama sama sekali nggak ngelarang aku nikah sama dia?" tanya Embun memastikan.Saat ini mereka sedang ada di dapur, tengah menyiapkan makanan yang akan dia hidangkan untuk calon suaminya itu. Cielah, calon suami? Bahkan Embun saja sama sekali tidak dikasih kesempatan untuk menyanggah pembicaraan antara Gio dan mamanya itu."Nggak, justru Mama sangat setuju kalau kalian akan menikah besok," kata Ipah dengan penuh semangat. "Ah, pasti para tetangga pada heboh kalau tahu anak aku akan menikah besok, apalagi calon suaminya ganteng, tajir lagi. Pasti banyak yang iri tuh."Embun mendengkus keras, mamanya benar-benar tidak bisa diajak kerjasama, apalagi kalau udah menyangkut masalah uang, pasti begitu silau. Padahal Ipah sendiri belum tahu seperti apa karakter dari Gio, tapi kenapa dia begitu yakin dan sangat setuju melihat anaknya menikah dengan pria itu?"Ma, Mama itu belum terlalu mengenal Gio loh, masa Mama langsung percaya aja sih sama dia. Kenapa Mama begitu gampangnya mengiyakan permi
Embun menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin dengan pandangan kosong. Hari ini dia sangat begitu cantik dengan memakai balutan gaun yang menurutnya begitu mahal. Namun bukan itu yang ada dipikirannya, akan tetapi mulai detik ini dia sudah resmi menjadi istri Gio.Semua itu sama sekali tidak pernah Embun bayangkan. Dari awal niat Embun datang ke kota ini hanya untuk mencari pekerjaan, agar bisa mempunyai uang untuk kebutuhan dirinya sendiri, dan juga memberikan uang pada mamanya dari hasil kerja kerasnya, setidaknya itu yang selama ini dia pikirkan, jodoh sama sekali tidak dalam daftar pemikirannya, tapi sialnya kenapa dia bisa menikah secepat ini? Bukankah ini terlalu terburu-buru? Anehnya Embun sama sekali tidak bisa mengelak.Padahal bisa saja dia kabur, pergi entah ke mana, atau cari cara lain agar Gio tidak jadi menikahinya, harusnya dia berpikir ke arah sana, kan? Tapi kenapa setelah Embun dan Gio sudah resmi menjadi suami-istri, kenapa dia baru berpikiran seperti itu?"Ini
Embun tidur dengan gelisah, dia sama sekali tidak nyaman memakai baju seperti itu. Ditambah lagi badannya terasa sakit karena tidur di lantai. Gio benar-benar tidak mempunyai rasa kasihan padanya. Pria itu malah asyik tidur di atas ranjang, sedangkan dirinya begitu menderita.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi namanya Embun, dia itu tidak bisa tidur tempatnya hanya sedikit, dia perlu yang luas-luas, jadi dia memutuskan untuk tidur di bawah saja."Udah hawanya dingin, ditambah pake baju kayak gini, tambah doble lah ini dinginnya. Ish, apa nggak ada baju lain selain ini? Bisa-bisa masuk angin aku kalau kayak gini," keluh wanita itu.Wanita itu melirik ke arah Gio. Tiba-tiba saja Embun mempunyai pikiran untuk tidur di samping pria itu, baru saja dia bangun untuk pindah ke ranjang, seketika dia kembali mengingat kejadian tadi waktu Gio menendangnya dengan keras karena Embun mencoba tidur di dekatnya. Akhirnya niat itu pun dia urungkan.'Ck! Gini amat deh hidup aku. Nggak ada be
Embun mengerjapkan matanya berkali-kali, pertanda kalau dia sudah bangun dari tidurnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi adalah posisi Embun saat ini tengah memeluk tubuh Gio. Buru-buru wanita itu langsung menjauh dari suaminya itu."Gila! Kenapa aku jadi meluk dia. Perasaan bantal guling udah aku taruh di tengah deh, kok aku bisa melipir ke sini," gumam wanita itu seraya garuk-garuk kepala. "Eh, tapi nggak apa-apa deh, namanya juga nggak sadar, semoga aja dia juga nggak nyadar. Jam berapa ini, kok masih ngantuk ya?"Embun melirik ke arah jam yang ada di dinding dengan malas, ketika mengetahui masih jam tiga pagi, akhirnya dia memutuskan untuk tidur lagi.Baru saja dia ingin memejamkan mata, tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara berat seorang lelaki."Kau harus bertanggung jawab."Embun tersentak. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja Gio katakan.'Tanggung jawab? Emangnya aku habis ngapain? Yakali aku habis menyetubuhi dia makanya dia bilang seperti itu,' batin Embun."Kamu d
Kedua sejoli itu terdiam cukup lama. Apalagi Embun, wanita itu sepertinya syok ketika mengetahui sebuah fakta mengejutkan tentang Gio.Tidak bisa Embun bayangkan, nyatanya orang yang sudah bergelimang harta pun tetap mempunyai kekurangan. Embun pikir selama ini, tidak mempunyai banyak uang adalah kekurangan terbesar, nyatanya dia salah. Ternyata sebuah kekurangan itu tak melulu soal uang."Nggak, kayaknya aku tadi emang salah dengar deh." Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Embun nyeletuk seperti itu seraya terus menggeleng."Kamu nggak salah dengar, kenyataannya memang seperti itu. Selama ini aku tidak pernah dekat dengan wanita, selalu benci yang namanya wanita, itulah alasannya. Aku gay," ungkap Gio dengan penuh kejujuran."Aku tahu kalau ini hanya akal-akalan kamu aja, kan?" Rupanya Embun masih tidak mempercayai ucapan Gio."Aku serius, Embun.""Lalu kalau kamu memang gay ... kenapa harus menikahiku?" tanya wanita itu kemudian dengan sorot tak terbaca."Karena aku percaya sama ka
"Kamu tahu nggak, suami kamu itu so sweet banget sih. Beruntung banget kamu punya laki kayak dia," ucap Mimi penuh kagum ketika melihat aksi Gio tadi yang tengah mendatangi Embun. Embun tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh. Rasanya enggan membahas tentang pria itu. 'Di depan banyak orang dia memang seperti itu, tapi kalau di belakang ... entahlah. Bahkan aku juga bingung dengan tingkah dia. Lebih-lebih lagi waktu dia mengaku pecinta sesama jenis. Ya Tuhan! Rasanya nyesek banget. Tapi omong-omong dia, kan, udah ngaku kayak gitu. Kira-kira pasangan pria itu siapa ya? Atau jangan-jangan dia kerja juga di kantor ini?' Batin Embun bertanya-tanya. "Heh!" Embun terlonjak kaget ketika mendengar bentakan Mimi. "Kamu ini kenapa sih, dari tadi aku ajak ngomong kok malah bengong?" tanya wanita itu heran. Embun meringis pelan. "Siapa juga yang bengong," elaknya. "Itu barusan apa? Lagian kamu ini ya, katanya pengantin baru, tapi dari raut wajahnya kenapa nggak ada senang-senangny
"Ini seriusan aku disuruh nguras air kolam ini? Kok Gio kebangetan ya jadi orang," gerutu Embun. Wanita itu terus meringis ketika melihat kolam itu tampak besar. "Kalau kayak gini kapan selesainya coba, gede banget. Seharian pun belum tentu selesai.""Loh, Non, ngapain di sini?"Embun langsung menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang wanita paruh baya tengah menatapnya dengan tatapan heran."Oh, nggak. Saya cuma ... cuma mau lihat-lihat aja, hehehehe," jawab wanita itu salah tingkah."Oh, saya kira kenapa. Kalau Non butuh bantuan atau kalau perlu apa-apa, langsung bilang aja sama saya, jangan sungkan ya, Non."Embun mengangguk. "Iya, kalau boleh tahu, namanya siapa?" tanya Embun penasaran."Panggil aja Bik Sum. Non butuh bantuan?""Bik Sum udah tahu saya?"Wanita paruh baya itu tertawa pelan, menurutnya pertanyaan Embun sangatlah lucu."Tentu saja saya tahu. Non Embun adalah istri dari tuan Gio, siapa sih yang tidak mengenalinya. Non Embun ini ada-ada saja pertanyaannya," katanya sambi
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu