“Hai, orang yang punya rasa kemanusiaan dan empati.”
Elive menegang di tempatnya. Ia tidak ingin menoleh sebab ia tahu siapa manusia yang mengatakan hal itu. Namun, jika dirinya tidak menoleh, maka pekerjaannya menjadi taruhannya.
Dengan sangat terpaksa, Elive menoleh dan tersenyum ke arah Zavian. Membungkuk kecil sebagai tanda penghormatan.
“Selamat atas jabatan baru anda, Tuan Zavian. Selamat datang dan mohon bimbingannya,” ucap Elive.
Zavian menatap datar ke arah Elive. Menatap sekilas wajah Elive dan berganti mentap lengannya.
“Pulang kerja, temui saya di ruangan.”
Tubuh Elive menegang. Ia bagai disambar listrik berkekuatan tinggi setelah mendengar ucapan CEO barunya tersebut.
Pikiran-pikiran buruk mendadak mampir di kepalanya. Tentang apakah Zavian akan memecatnya atau mempermalukannya, atau malah, menyiksanya perlahan dengan memberikan pekerjaan di luar kemampuannya.
Menggelengkan kepala, Elive mencoba menenangkan diri. Membasuh wajahnya dan menatap pantulan dirinya di cermin.
“Tidak, El. Dia tidak akan melakukan itu. Percayalah. Reputasimu di perusahaan ini sudah tidak main-main. Jadi, dia tidak akan mudah melakukan hal buruk kepadamu,” monolog Elive.
Gadis itu meyakinkan diri kembali sebelum berbalik menuju ruangannya, melanjutkan pekerjaan. Ia menjadi tidak tenang saat tiba-tiba waktu begitu cepat berlalu dan sebentar lagi jam kerja akan selesai.
Berkali-kali gadis itu menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Menautkan dua tangan, Elive merapalkan doa pada Tuhan semoga Javian tidak memecatnya.
“Apa sebaiknya aku meminta ampun terlebih dahulu supaya Tuan Zavian mau memaafkanku?” gumam Elive. Ia kini sudah berdiri di depan pintu ruangan milik Zavian.
“Astaga, bisa gila aku,” lanjut gadis itu.
Elive menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Begitu terus hingga tiga kali sebelum tangannya memberanikan diri mengetuk pintu di hadapannya. Setelah dipersilakan masuk, gadis itu memasuki ruang kerja Zavian dan berdiri di depan meja kerja pria itu.
“Pak, saya—“
“Duduk”
Ucapan Elive terpotong saat Zavian tiba-tiba memintanya duduk. Gadis itu segera duduk. Pikirannya melanglangbuana harus melakukan apa, sementara jantungnya berdebar kencang dengan tangan berkeringan dingin. Demi apa pun, berhadapan sengan Zavian sekarang lebih menegangkan dibanding saat dirinya harus interview dua tahun lalu.
Zavian berdiri dari tempat duduknya, membuat Elive semakin gugup. Pria itu tampak berjalan ke arah lemari di samping rak dokumen dan mengambil kotak obat. Kening Elive mengkerut dalam, penasaran dengan apa yang akan dilakukan atasannya tersebut.
“Kemari,” ucap Zavian. Pria itu memanggil Elive agar duduk di sofa ruangan tersebut.
Tanpa menunggu dua kali, Elive segera bangkit dan duduk di seberang Zavian. Hal itu membuat pria tersebut berdecak kecil dan mengubah posisi duduknya menjadi di samping Elive. Aktivitas tiba-tiba yang membuat Elive terkejut bukan main hingga reflek memundurkan badannya.
“Saya tidak akan memakanmu, jadi tenanglah,” ujar Zavian.
“Maaf,” balas Elive.
“Kemarikan lengan kamu,” lanjut Zavian setelah membuka kotak obat tersebut.
Pria itu meraih lengan kanan Elive dan mulai membersihkan luka gadis itu. Semestara Elive semakin dibuat terkejut. Ia hendak menarik tangannya namun segera ditahan oleh Zavian.
“Diam, saya sedang mengobati luka kamu,” ucap Zavian tanpa mengalihkan pandangannya dari lengan Elive.
Pria itu sibuk membersihkan dan mengolehkan salep pada lengan Elive, sementara gadis itu sesekali meringis menahan sakit saat merasakan perih.
Aktivitas itu berlangsung hingga Zavian akhirnya selesai mengobati Elive.
“Terima kasih, Tuan. Saya sebenarnya mau ke rumah sakit setelah ini, tapi terima kasih,” ucap Elive tulus.
“Kamu membiarkannya saja sejak tadi pagi? Bagaimana kalau infeksi?” balas Zavian.
“Saya sudah mengolesi salep tadi pagi. Hanya saja memang tidak sempat membersihkannya. Hanya saya bilas dengan air karena buru-buru,” tutur Elive.
Zavian berdecak kecil. Hal itu jelas membuat Elive merasa heran.
“Lain kali kalau terluka segera diobati. Kamu tidak tahu seberapa dalam luka yang ada di tubuhmu dan seberapa banyak bakteri yang ada di luka itu,” oceh Zavian.
“Baik, Tuan,” jawab Elive.
Keduanya sama-sama diam. Elive bingung harus melakukan apa, sementara Zavian entah memikirkan apa. Gadis itu bahkan rasanya sesak untuk bernapas. Bosnya duduk tepat di sampingnya hingga Elive bisa melihat dengan jelas pahatan indah wajah pria itu.
“Uncle!”
“Uncle!”Pintu yang terbuka dengan teriakan anak kecil membuat Elive serta Zavian segera bangun dari tempat duduknya.“Oh! Kakak cantik yang tadi pagi! Halo, Kakak. Apa tangan Kakak sudah diobati?” tanya anak tersebut.“Halo, sudah. Tangan kakak sudah diobati dan baik-baik saja. Kamu baik-baik saja?” Elive merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan anak tersebut.“Sudah. Yuan tidak terluka. Tadi Yuan makan es krim dan pizza, jadi sudah sembuh!” Anak itu bercerita dengan semangat.“Pintar.” Elive mencubit pelan pipi anak lelaki bernama Yuan tersebut.“Yuan, kenapa kamu masih di sini? Kakek belum pulang?” tanya Zavian dan dibalas gelengan oleh anak tersebut.“Kakak cantik, nama Kakak siapa?” tanya Yuan.“Nama Kakak Elive,” jawab Elive sembari tersenyum.“Oke, Kak Eli!”Elive kembali tersenyum. Gadis itu
"Elive, mau tinggal bersamaku saja?" Pertanyaa Zavian membuat Elive terkejut di tempatnya namun segera menetralkan diri. Gadis itu mengabaikan pertanyaan atasannya dan menyuguhkan makanan untuk pria itu “Tuan, ini susu dan roti isi untuk Anda,” ucap Elive.Zavian segera duduk di depan pantry dan melahap roti isi buatan Elive, sementara gadis itu menunggu dengan sabar. Membiarkan Zavian makan dengan tenang. Lagipula, kalau mereka terlambat, Elive bisa membuat alasan dengan menggunakan bosnya tersebut.“Sudah selesai,” ucap Zavian.Dengan cekatan, Elive mengambil susu dan tempat roti isi yang sudah habis isinya tersebut. meletakannya di wastafel dan mengajak Zavian untuk berangkat atau mereka akan terlambat.“Tuan, nanti saya turun agak jauh dari kantor tidak apa-apa. Saya tidak mau ada gosip menyebar tentang saya,” jujur Elive.“Saya akan ke parkiran bawah khusus kendaraan direksi. Jadi, kam
“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.” Elive dibuat terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap Zavian dengan pandangan penuh tanya. Namun, belum sempat Elive bertanya, Zavian lebih dulu meninggalkan gadis itu.Elive melihat punggung Zavian yang menghilang dibalik lorong. Gadis itu menebak-nebak apa isi kepala atasannya tersebut.Mengedikkan bahu tak acuh, Elive memilih kembali ke ruangannya. Mengerjakan pekerjaannya hingga jam pulang. Ia pikir Zavian hanya bermain-main saat mengajaknya makan malam bersama namun pria itu menepati perkataanya.Gadis itu dibuat terkejut saat pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh dan semakin terkejut saat menemukan Zavian.Menoleh kanan dan kiri, gadis itu memastikan tidak ada siapa pun yang melihat mereka atau akan timbul kesalahpahaman. Dengan perlahan, Elive melepas genggaman atasannya tersebut.“Kamu mau ke mana?” tanya Zavian.“Say
“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?” ucap Zavian.Elive diam, menunggu atasannya melanjutkan apa yang akan di ucapkannya.“Saya melakukannya karena saya menyukai kamu,”Elive membelalakan matanya terkejut saat mendengar penuturan Zavian. Pria itu mengatakan dengan sorot mata serius dan tajam hingga Elive tidak bisa mencari kebohongan dari pandangan pria itu.Mengerutkan keningnya heran, Elive berdeham saat tenggorokannya tiba-tiba kering. Kepalanya mendadak berkedut kencang sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan Zavian begitu dalam, seolah menusuk tepat di ulu hatinya hingga Elive tidak bisa merespon apa pun.Mengela napas berkali-kali, Elive memejamkan mata untuk menenangkan diri. Gadis itu mendogak dan kembali menatap Zavian dengan sorot penuh kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar. Hal itu membuat Zavian menautkan dua alisnya tidak suka. Ia tidak suka melihat Elive dengan binar meredu
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully. Zavian menatap kakaknya denga pandagan heran. Bagaimana perempuan di sampingnya bisa menebak sesuatu yang belum ia sampaikan sama sekali.Zavian mulai bertanya-tanya, membentuk kemungkinan bila kepekaan Yuan menurun dari kakaknya.“Ditanya malah bengong. Ada apa?” Jully kembali bersuara.Setelah mengela napas panjang, Zavian mulai menceritakan kejadian saat ia bertemu Elive untuk pertamakalinya. Meski Jully sempat marah karena mengetahui putranya hampir tertabrak dan Zavian tidak tahu, Jully kembali mendengarkan cerita adiknya hingga selesai.Tanpa menjeda, Jully membiarkan Zavian menyampaikan perasaannya. Sebab, selama ini, adiknya lebih banyak diam dan menyembunyikan perasaannya sendiri. Jadi, mendengar Zavian bercerita tanpa diminta membuat Jully bahagia.“Jadi, kamu benar-benar menyukai gadis itu?” tanya Jully setelah Za
“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian. Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih be
"Kakak Cantik!" Menoleh, Elive tersenum melihat anak lelaki kecil yang beberapa hari lalu ia selamatkan nyawanya. Elive menangkap Yuan yang menubruknya cukup kuat hingga Elive sedikit terhuyung ke belakang. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Yuan. Menatap anak lelaki di depanya sembari tersenym. Kedua tangannya berada di kedua bahu Yuan. “Kamu dengan siapa kemari, tidak sendiri lagi, ‘kan?” tanya Elive. “Tidak, aku bersama Paman Zav. Dia ada di belakang,” jawab Yuan bersemangat. Elive menoleh ke belakang dan melihat Zavian berjalan ke arah keduanya. Gadis itu segera berdiri dan membungkuk singkat untuk menyapa Zavian. “Kakak Cantik, boleh aku bermain di rumahmu? Aku ingin melihat rumah Kakak Cantik supaya nanti saat aku kangen, aku bisa ke rumah Kakak Cantik. Oh iya, nama Kakak Cantik, siapa?” oceh Yuan. Elive tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuan. “Nama kakak, Elive. Panggil Kak El saja, ya. Oh iya, Yuan boleh main ke rumah kakak,” jawab Elive. Yuan ter
“Elive, apa saya boleh berusaha?” Elive menghentikan aktivitas memasaknya kemudian menatap Zavian. Ia mencoba mencari kebohongan dari mata pria itu, tapi tidak menemukannya. Elive justru mendapati ketulusan dan keinginan besar dari tatapan atasannya. Meski sangat mengejutkan bahwa atasannya yang hampir tidak pernah peduli dengan sekitarnya termasuk para gadis yang mencoba mendekatinya, mendadak menyatakan perasaannya pada wanita biasa sepertinya. Elive takut kalau yang dilakukan Zavian hanya untuk kesenangannya belaka. Ia tidak ingin terlibat dengan orang-orang kaya yang akhirnya membuat dirinya kesulitan. Namun ini bukan pertamakalinya juga Zavian menyatakan perasaannya. Pria itu sudah jujur sejak pertama memberikan perhatiannya pada Elive dan jujur saja hal itu membuatnya sedikit terbebani. Zavian yang melihat Elie melamun, menyentuh bahu wanita itu pelan, membuyarkan lamunan Elive. Zavian paham kalau Elive tidak akan semudah itu percaya dengan ucapannya. Terlebih mereka