“Uncle!”
Pintu yang terbuka dengan teriakan anak kecil membuat Elive serta Zavian segera bangun dari tempat duduknya.
“Oh! Kakak cantik yang tadi pagi! Halo, Kakak. Apa tangan Kakak sudah diobati?” tanya anak tersebut.
“Halo, sudah. Tangan kakak sudah diobati dan baik-baik saja. Kamu baik-baik saja?” Elive merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan anak tersebut.
“Sudah. Yuan tidak terluka. Tadi Yuan makan es krim dan pizza, jadi sudah sembuh!” Anak itu bercerita dengan semangat.
“Pintar.” Elive mencubit pelan pipi anak lelaki bernama Yuan tersebut.
“Yuan, kenapa kamu masih di sini? Kakek belum pulang?” tanya Zavian dan dibalas gelengan oleh anak tersebut.
“Kakak cantik, nama Kakak siapa?” tanya Yuan.
“Nama Kakak Elive,” jawab Elive sembari tersenyum.
“Oke, Kak Eli!”
Elive kembali tersenyum. Gadis itu tidak sadar bahwa sedari tadi Zavian memperhatikannya. Tidak melepas pandangannya kala gadis itu tersenyum. Meskipun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.
“Apa masih ada yang harus saya lakukan Tuan Zavian? Jika tidak, saya pamit pulang,” ucap Elive.
“Pulang dengan saya.”
“Eh? Tapi,” kaget Elive.
“Tidak ada tapi. Cukup diam dan ambil barang-barang kamu. Tunggu di depan kantor, saya akan mengambil mobil saya terlebih dahulu.” Zavian berlalu dari hadapan Elive tanpa menunggu jawaban gadis itu. Sementara Elive hanya menatap kaget, sampai akhirnya ia sadar dan segera berlari ke ruangannya untuk mengambil tas miliknya.
Gadis itu berlari ke depan kantor. Beruntunglah suasana kantor sudah sepi, sebab kalau masih ada orang, dipastikan akan banyak gunjingan tentang dia.
Elive meremat tali tas tangan miliknya. Gadis itu gugup dan khawatir namun juga bingung dengan sikap Zavian yang sangat tiba-tiba. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Menebak-nebak apakah Zavian memang orang yang demikian atau sikapnya tersebut dilakukan karena rasa bersalah dan bentuk terima kasih.
Elive terlonjak saat mendengar suara klakson kendaraan. Gadis itu bergegas menuju mobil Zavian dan hendak duduk di belakang sebelum suara Zavian menginterupsi.
“Kamu pikir saya supir? Duduk di depan.”
“Baik, Tuan,” jawab Elive gugup.
Gadis itu duduk di samping Zavian. Ia menahan napas dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.
“Kamu tinggal di mana?” tanya Zavian.
“Di gang pertama setelah supermarket, Tuan. Nanti dari halte lurus saja dan belok kiri,” jelas Elive yang dianggukki oleh Zavian.
Tidak ada obrolan selama di perjalanan. Zavian sibuk mengemudi sementara Elive memilih menatap jalanan sore kota tersebut. Gadis itu tidak lupa menunjukan arah menuju tempat tinggalnya supaya Zavian tidak terlewat. Hingga kurang dari 10 menit, keduanya akhirnya sampai.
Elive tinggal di sebuah apartemen kecil daerah tersebut. Lingkungannya tampak tenang dan bersih.
“Terima kasih, Tuan Zavian,” ucap Elive. Namun, saat gadis itu hendak turun dari mobil milik Zavian, pria itu lebih dulu bersuara.
“Kamu jalan kaki ke kantor?”
“Benar, Tuan. Jaraknya cukup dekat dengan kantor. Hanya butuh 20-30 menit untuk tiba di kantor,” jawab Elive.
“Mulai besok, berangkat dengan saya.”
“Mulai besok, berangkat dengan saya.”
Elive terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap heran ke arah Zavian, sementara pria itu memandang datar wajah kebingungan karyawannya tersebut.
“Tidak apa, Tuan Zavian. Saya biasa berjalan kaki,” tolak Elive.
“Jangan membantah,” tegas Zavian.
Menghela napas pelan, Elive mengangguk kecil, tidak ingin berdebat dengan atasannya tersebut atau pekerjaannya yang jadi taruhan. Lebihbaik Elive cari aman dengan menurut pada Zavian, entah bagaimana kedepannya nanti.
Gadis itu bahkan sudah memperkirakan kalau akan ada gosip yang menyebar dengan cepat saat ada yang melihat Elive berangkat dengan Zavian besok pagi.
“Kalau begitu saya masuk dulu, Tuan,” ucap Elive lagi dan dianggukki oleh Zavian.
Gadis itu menatap kepergian mobil pria itu sebelum masuk ke dalam tempat tinggalnya. Menyalakan lampu dan segera membersihkan diri.
Hari ini cukup melelahkan untuknya. Belum lagi, badannya terasa sakit karena menolong Yuan tadi. Luka di lengannya juga mulai terasa perih, padahal sebelumnya ia tidak merasakan apa pun.
Gadis itu merebahkan diri setelah selesai mandi dan mengobati lukanya. Memikirkan perkataan Zavian dan menganggap bahwa ucapan bosnya hanya karena rasa bersalah. Tidak ada yang spesial, jadi Elive tidak perlu merasa dirinya spesial.
Memejamkan mata, Elive berharap hari esok akan lebih baik.
***
Keesokan paginya, Elive dibuat terkejut karena Zavian sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir tepat di depan gerbang rumah Elive. Gadis itu menghampiri Zavian dan menatap pria itu sekilas.
“Tuan sudah lama ada di sini?” tanya Elive.
“Sudah dan aku belum sarapan,” ucap Zavian dingin.
“Mau saya buatkan sarapan terlebih dahulu? Kita masih punya waktu sebelum berangkat,” tawar Elive.
“Bagus kalau begitu. Cepat buatkan aku sarapan. Aku terburu-buru karena menjemputmu,” oceh Zavian.
“Lagipula siapa yang memintamu menjemputku,” gumam Elive.
“Apa katamu?” tanya Zavian yang segera dibalas gelengan oleh Elive.
Gadis itu mengajak Zavian masuk ke dalam rumahnya, kemudian menyiapkan roti isi dengan susu untuk dimakan atasannya tersebut.
Elive membiarkan Zavian melihat-lihat tempat tinggalnya. Pria itu menyentuh tiap figura berisi foto milik Elive, kemudian beralih pada meja kerja gadis itu. Rumah dengan tipe studio tersebut membuat Zavian lebih mudah melihat seluruh isi rumah gadis itu hanya dengan sekali pandang. Hanya kamarnya saja yang memiliki sekat. Selebihnya, ruang kerja, dapur kecil, ruang tamu, dan kamar mandi berada di satu ruangan tanpa sekat utuh.
"Elive, mau tinggal denganku saja?"
"Elive, mau tinggal bersamaku saja?" Pertanyaa Zavian membuat Elive terkejut di tempatnya namun segera menetralkan diri. Gadis itu mengabaikan pertanyaan atasannya dan menyuguhkan makanan untuk pria itu “Tuan, ini susu dan roti isi untuk Anda,” ucap Elive.Zavian segera duduk di depan pantry dan melahap roti isi buatan Elive, sementara gadis itu menunggu dengan sabar. Membiarkan Zavian makan dengan tenang. Lagipula, kalau mereka terlambat, Elive bisa membuat alasan dengan menggunakan bosnya tersebut.“Sudah selesai,” ucap Zavian.Dengan cekatan, Elive mengambil susu dan tempat roti isi yang sudah habis isinya tersebut. meletakannya di wastafel dan mengajak Zavian untuk berangkat atau mereka akan terlambat.“Tuan, nanti saya turun agak jauh dari kantor tidak apa-apa. Saya tidak mau ada gosip menyebar tentang saya,” jujur Elive.“Saya akan ke parkiran bawah khusus kendaraan direksi. Jadi, kam
“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.” Elive dibuat terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap Zavian dengan pandangan penuh tanya. Namun, belum sempat Elive bertanya, Zavian lebih dulu meninggalkan gadis itu.Elive melihat punggung Zavian yang menghilang dibalik lorong. Gadis itu menebak-nebak apa isi kepala atasannya tersebut.Mengedikkan bahu tak acuh, Elive memilih kembali ke ruangannya. Mengerjakan pekerjaannya hingga jam pulang. Ia pikir Zavian hanya bermain-main saat mengajaknya makan malam bersama namun pria itu menepati perkataanya.Gadis itu dibuat terkejut saat pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh dan semakin terkejut saat menemukan Zavian.Menoleh kanan dan kiri, gadis itu memastikan tidak ada siapa pun yang melihat mereka atau akan timbul kesalahpahaman. Dengan perlahan, Elive melepas genggaman atasannya tersebut.“Kamu mau ke mana?” tanya Zavian.“Say
“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?” ucap Zavian.Elive diam, menunggu atasannya melanjutkan apa yang akan di ucapkannya.“Saya melakukannya karena saya menyukai kamu,”Elive membelalakan matanya terkejut saat mendengar penuturan Zavian. Pria itu mengatakan dengan sorot mata serius dan tajam hingga Elive tidak bisa mencari kebohongan dari pandangan pria itu.Mengerutkan keningnya heran, Elive berdeham saat tenggorokannya tiba-tiba kering. Kepalanya mendadak berkedut kencang sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan Zavian begitu dalam, seolah menusuk tepat di ulu hatinya hingga Elive tidak bisa merespon apa pun.Mengela napas berkali-kali, Elive memejamkan mata untuk menenangkan diri. Gadis itu mendogak dan kembali menatap Zavian dengan sorot penuh kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar. Hal itu membuat Zavian menautkan dua alisnya tidak suka. Ia tidak suka melihat Elive dengan binar meredu
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully. Zavian menatap kakaknya denga pandagan heran. Bagaimana perempuan di sampingnya bisa menebak sesuatu yang belum ia sampaikan sama sekali.Zavian mulai bertanya-tanya, membentuk kemungkinan bila kepekaan Yuan menurun dari kakaknya.“Ditanya malah bengong. Ada apa?” Jully kembali bersuara.Setelah mengela napas panjang, Zavian mulai menceritakan kejadian saat ia bertemu Elive untuk pertamakalinya. Meski Jully sempat marah karena mengetahui putranya hampir tertabrak dan Zavian tidak tahu, Jully kembali mendengarkan cerita adiknya hingga selesai.Tanpa menjeda, Jully membiarkan Zavian menyampaikan perasaannya. Sebab, selama ini, adiknya lebih banyak diam dan menyembunyikan perasaannya sendiri. Jadi, mendengar Zavian bercerita tanpa diminta membuat Jully bahagia.“Jadi, kamu benar-benar menyukai gadis itu?” tanya Jully setelah Za
“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian. Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih be
"Kakak Cantik!" Menoleh, Elive tersenum melihat anak lelaki kecil yang beberapa hari lalu ia selamatkan nyawanya. Elive menangkap Yuan yang menubruknya cukup kuat hingga Elive sedikit terhuyung ke belakang. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Yuan. Menatap anak lelaki di depanya sembari tersenym. Kedua tangannya berada di kedua bahu Yuan. “Kamu dengan siapa kemari, tidak sendiri lagi, ‘kan?” tanya Elive. “Tidak, aku bersama Paman Zav. Dia ada di belakang,” jawab Yuan bersemangat. Elive menoleh ke belakang dan melihat Zavian berjalan ke arah keduanya. Gadis itu segera berdiri dan membungkuk singkat untuk menyapa Zavian. “Kakak Cantik, boleh aku bermain di rumahmu? Aku ingin melihat rumah Kakak Cantik supaya nanti saat aku kangen, aku bisa ke rumah Kakak Cantik. Oh iya, nama Kakak Cantik, siapa?” oceh Yuan. Elive tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuan. “Nama kakak, Elive. Panggil Kak El saja, ya. Oh iya, Yuan boleh main ke rumah kakak,” jawab Elive. Yuan ter
“Elive, apa saya boleh berusaha?” Elive menghentikan aktivitas memasaknya kemudian menatap Zavian. Ia mencoba mencari kebohongan dari mata pria itu, tapi tidak menemukannya. Elive justru mendapati ketulusan dan keinginan besar dari tatapan atasannya. Meski sangat mengejutkan bahwa atasannya yang hampir tidak pernah peduli dengan sekitarnya termasuk para gadis yang mencoba mendekatinya, mendadak menyatakan perasaannya pada wanita biasa sepertinya. Elive takut kalau yang dilakukan Zavian hanya untuk kesenangannya belaka. Ia tidak ingin terlibat dengan orang-orang kaya yang akhirnya membuat dirinya kesulitan. Namun ini bukan pertamakalinya juga Zavian menyatakan perasaannya. Pria itu sudah jujur sejak pertama memberikan perhatiannya pada Elive dan jujur saja hal itu membuatnya sedikit terbebani. Zavian yang melihat Elie melamun, menyentuh bahu wanita itu pelan, membuyarkan lamunan Elive. Zavian paham kalau Elive tidak akan semudah itu percaya dengan ucapannya. Terlebih mereka
Elive bersiap pulang setelah membenahi berkas-berkas miliknya. Namun, saat hendak keluar dari ruangannya, ia dikejutkan dengan kehadiran Zavian yang sudah berdiri sambil bersandar tembok. Elive mengusap dadanya pelan, meredakan keterkejutannya. Harusya, ia tidak heran dengan kelakukan Zavian yang semakin sulit dimengerti. Pria itu dipastikan akan melakukan hal-hal yang lebih ekstrim dibanding memaksanya berangkat dan pulang bersama.Menyapa Zavian singkat, Elive hendak meninggalka pria itu, sampai pergelangan tangannya ditahan Zavia. Elive cukup terkejut, menatap sekitarnya dengan cepat kemudian berusaha melepaskan genggaman Zavian yang untungnya segera dilepaskan pria itu.“Pulang dengan saya namun sebelum itu kita makan malam dulu. Tidak ada penolakan atau kamu saya pecat,” ucap Zavian singkat, membuat Eive melongo, hingga beberapa detik setelahnya, wanita itu berdecak.“Kebiasaan, pemaksa, semaunya, dasar angkuh,” gumam Elive.“Ada yang kamu katakan?” tanya Zavian sambil menghentik