“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.”
Elive dibuat terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap Zavian dengan pandangan penuh tanya. Namun, belum sempat Elive bertanya, Zavian lebih dulu meninggalkan gadis itu.
Elive melihat punggung Zavian yang menghilang dibalik lorong. Gadis itu menebak-nebak apa isi kepala atasannya tersebut.
Mengedikkan bahu tak acuh, Elive memilih kembali ke ruangannya. Mengerjakan pekerjaannya hingga jam pulang. Ia pikir Zavian hanya bermain-main saat mengajaknya makan malam bersama namun pria itu menepati perkataanya.
Gadis itu dibuat terkejut saat pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh dan semakin terkejut saat menemukan Zavian.
Menoleh kanan dan kiri, gadis itu memastikan tidak ada siapa pun yang melihat mereka atau akan timbul kesalahpahaman. Dengan perlahan, Elive melepas genggaman atasannya tersebut.
“Kamu mau ke mana?” tanya Zavian.
“Saya mau pulang, Tuan,” jawab Elive.
“Bukankah sudah saya bilang kalau malam ini kita akan makan malam bersama?” tegas Zavian yang seketika membuat Elive ketakutan.
“Maaf, Tuan.” Hanya itu jawaban yang bisa Elive berikan.
“Lupakan, ayo pergi,” ucap Zavian. Pria itu berjalan di depan Elive dan segera diikuti gadis itu.
Elive tidak banyak protes saat Zavian membukakan pintu mobil untuknya atau bersikap begitu manis meski wajahnya tetap datar. Bahkan, Elive mencoba abai saat Zavian menarik kursi untuknya duduk, meski jantungnya berdebar dua kali lipat.
Gadis itu tidak bisa berkata apa pun karena sikap Zavian yang begitu tiba-tiba. Pria itu memperlakukannya seolah Elive seorang putri dari rekan kerjanya yang harus diperlakukan baik. Padahal, Elive ingat betul bagaimana pria itu abai terhadap keponakannya yang hampir tertabrak atau pada karyawan perempuan yang tadi siang tidak sengaja menumpahkan minuman ke kemejanya.
“Elive, kamu mau pesan apa?” tanya Zavian.
Elive menatap menu di tangannya dan seketika matanya membelalak lebar melihat harga yang tertera dalam setiap jenis makanan yang ada di sana.
“Jangan melihat harganya, saya yang akan membayar. Kamu cukup memesan apa yang mau kamu makan,” ucap Zavian seolah paham dengan gelagat Elive.
Gadis itu mencoba mencari makanan yang harganya paling murah. Meskipun Zavian mengatakan akan membayarnya, ia harus tetap berjaga-jaga. Siapa tahu Zavian hanya mengibulinya saja dan menyuruh Elive membayar sendiri. Kalaupun tidak seperti itu, Elive harus tetap tahu diri.
Setelah menyampaikan pesanannya, Zavian sempat menatap Elive sebentar sebelum menyampaikan apa saja yang ingin dirinya makan.
Elive sempat heran dengan banyaknya makanan yang dipesan Zavian. Dalam hati ia bertanya apakah orang kaya selalu membeli banyak makanan walau hanya memakannya sendirian.
“Elive, tenanglah. Kamu terlihat sangat tegang seolah saya adalah orang jahat,” ucap Zavian.
Elive menunduk kecil. “Maaf, Tuan,” jawab gadis itu.
“Bagaimana aku tidak tegang kalau dia saja menatapku begitu,” gerutu Elive yang untungnya tidak didengar Zavian.
“Tuan, apa saya boleh bertanya?” ucap Elive dan dianggukki Zavian.
“Dua hari ini, Tuan bersikap baik dengan saya. Mengantarkan saya pulang, mengobati luka saya, menjemput saya, dan sekarang mengajak saya makan malam bersama. Saya tidak tahu tujuan Tuan, tapi kalau ini dilakukan karena Tuan merasa bersalah atau berterima kasih karena saya sudah menyelamatkan keponakan Anda, Anda tidak perlu sampai sebegininya. Saya tidak pernah mengharapkan imbalan apa pun. Namun, kalau anda melakukan ini karena dendam dengan saya, tolong berhenti. Saya tidak akan sanggup membalas kebaikan Anda di masa depan,” beber Elive panjang.
Zavian menatap Elive cukup lama. Pria itu membiarkan pelayan menyajikan makanan mereka terlebih dahulu.
Begitu pelayan meninggalkan meja mereka, Zavian menghela napa pelan.
“Saya tidak melakukannya karena rasa bersalah atau bentuk terima kasih. Saya juga tidak melakukannya karena saya dendam dengan kamu. Saya melakukannya karena saya ingin,” jawab Zavian.
Elive diam, ia masih belum menemukan jawaban yang diinginkannya. Kenapa hanya ingin, padahal Elive dan Zavian bukan teman lama yang bertemu kembali sampai mereka memiliki alasan untuk menghabiskan waktu bersama.
“Makan makananmu, nanti dingin.”
Elive menatap steak di depannya, masih khawatir kalau-kalau ia harus membayarnya sendiri. Gadis itu melirik ke arah Zavian yang tengah sibuk memakan beef black pepper dari piringnya. Gadis itu memperhatikan pie dan puding di atas meja makan mereka dan dua gelas jus apel yang Elive duga rasanya akan sangat berbeda dengan jus yang biasa ia beli dari restoran pinggir jalan langganannya.
“Elive, kenapa masih diam? Kamu tidak suka dengan makanannya?” tanya Zavian.
“Ah, tidak. Saya suka,” jawab Elive sembari tersenyum. Gadis itu mulai memakan makanan dari piringnya dengan hikmad. Demi Tuhan, Elive akan berpikir berkali-kali hanya untuk merasakan steak. Lebihbaik dia membeli daging sapi mentah yang bisa ia olah sendiri dan diawetkan supaya bisa dimakan beberapa hari setelahnya.
“Apa yang biasanya kamu makan?” tanya Zavian, memecah keheningan diantara keduanya.
“Saya biasa memakan mie instan, Tuan. Semua jenis mie instan sudah pernah saya coba dan favorit saya adalah mie instan pedas. Saya juga suka dengan sayur, ikan, atau sesekali daging sapi. Semua makanan biasa saya makan,” jawab Elive sembari terkekeh.
“Saya suka sekali membeli sate usus setelah pulang kantor karena rasanya enak. Sebenarnya satenya dibuat dari daging ikan, tapi karena bentuknya seperti usus, jadi saya memanggilnya sate usus. Atau biasanya saya mengunjungi pasar pangan. Di sana banyak sekali jenis makanan yang luar biasa enak. Kaki ayam pedas, sosis pedas, daging cincang, sampai makanan penutup mulai dari pie, kue, puding, dan semuanya ada! Lebih menyenangkannya, harganya sangat murah dan tidak akan membuat kantong kita kering,” oceh Elive.
Zavian mengulum senyum mendengar Elive bercerita dengan semangat.
“Oh, saya juga punya makanan favorit. Anda harus mencobanya kapan-kapan. Di seberang kantor, masih cukup jauh sebenarnya. Kalau Anda berjalan ke arah utara, akan ada kedai makan rumahan. Dari luar saja sudah tercium aroma sedap. Saya suka sekali dengan sup di sana,” lanjut gadis itu.
“Ah, jadi ingin memakannya,” gumam Elive.
“Kamu sering memakan makanan seperti itu? Bukannya tidak sehat?” tanya Zavian.
“Tuan, bagi orang-orang di kelas saya, makanan apa pun yang mengenyangkan dan murah akan lebih baik dibanding makanan sehat dan mahal. Namun, bukan berarti saya menyepelekan kesehatan, ya. Saya rajin minum susu, makan buah dan sayur, juga olahraga. Jadi, supaya seimbang,” jelas Elive.
Zavian tersenyum melihat ekspresi yang ditampilkan Elive. Perasaannya menghangat menyadari binar mata yang ditampilkan gadis di hadapannya tersebut. Maka, dengan berani, Zavian menatap lurus ke arah Elive. Memanggil gadis itu hingga bola mata keduanya saling bertemu.
“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?”
“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?” ucap Zavian.Elive diam, menunggu atasannya melanjutkan apa yang akan di ucapkannya.“Saya melakukannya karena saya menyukai kamu,”Elive membelalakan matanya terkejut saat mendengar penuturan Zavian. Pria itu mengatakan dengan sorot mata serius dan tajam hingga Elive tidak bisa mencari kebohongan dari pandangan pria itu.Mengerutkan keningnya heran, Elive berdeham saat tenggorokannya tiba-tiba kering. Kepalanya mendadak berkedut kencang sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan Zavian begitu dalam, seolah menusuk tepat di ulu hatinya hingga Elive tidak bisa merespon apa pun.Mengela napas berkali-kali, Elive memejamkan mata untuk menenangkan diri. Gadis itu mendogak dan kembali menatap Zavian dengan sorot penuh kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar. Hal itu membuat Zavian menautkan dua alisnya tidak suka. Ia tidak suka melihat Elive dengan binar meredu
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully. Zavian menatap kakaknya denga pandagan heran. Bagaimana perempuan di sampingnya bisa menebak sesuatu yang belum ia sampaikan sama sekali.Zavian mulai bertanya-tanya, membentuk kemungkinan bila kepekaan Yuan menurun dari kakaknya.“Ditanya malah bengong. Ada apa?” Jully kembali bersuara.Setelah mengela napas panjang, Zavian mulai menceritakan kejadian saat ia bertemu Elive untuk pertamakalinya. Meski Jully sempat marah karena mengetahui putranya hampir tertabrak dan Zavian tidak tahu, Jully kembali mendengarkan cerita adiknya hingga selesai.Tanpa menjeda, Jully membiarkan Zavian menyampaikan perasaannya. Sebab, selama ini, adiknya lebih banyak diam dan menyembunyikan perasaannya sendiri. Jadi, mendengar Zavian bercerita tanpa diminta membuat Jully bahagia.“Jadi, kamu benar-benar menyukai gadis itu?” tanya Jully setelah Za
“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian. Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih be
"Kakak Cantik!" Menoleh, Elive tersenum melihat anak lelaki kecil yang beberapa hari lalu ia selamatkan nyawanya. Elive menangkap Yuan yang menubruknya cukup kuat hingga Elive sedikit terhuyung ke belakang. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Yuan. Menatap anak lelaki di depanya sembari tersenym. Kedua tangannya berada di kedua bahu Yuan. “Kamu dengan siapa kemari, tidak sendiri lagi, ‘kan?” tanya Elive. “Tidak, aku bersama Paman Zav. Dia ada di belakang,” jawab Yuan bersemangat. Elive menoleh ke belakang dan melihat Zavian berjalan ke arah keduanya. Gadis itu segera berdiri dan membungkuk singkat untuk menyapa Zavian. “Kakak Cantik, boleh aku bermain di rumahmu? Aku ingin melihat rumah Kakak Cantik supaya nanti saat aku kangen, aku bisa ke rumah Kakak Cantik. Oh iya, nama Kakak Cantik, siapa?” oceh Yuan. Elive tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuan. “Nama kakak, Elive. Panggil Kak El saja, ya. Oh iya, Yuan boleh main ke rumah kakak,” jawab Elive. Yuan ter
“Elive, apa saya boleh berusaha?” Elive menghentikan aktivitas memasaknya kemudian menatap Zavian. Ia mencoba mencari kebohongan dari mata pria itu, tapi tidak menemukannya. Elive justru mendapati ketulusan dan keinginan besar dari tatapan atasannya. Meski sangat mengejutkan bahwa atasannya yang hampir tidak pernah peduli dengan sekitarnya termasuk para gadis yang mencoba mendekatinya, mendadak menyatakan perasaannya pada wanita biasa sepertinya. Elive takut kalau yang dilakukan Zavian hanya untuk kesenangannya belaka. Ia tidak ingin terlibat dengan orang-orang kaya yang akhirnya membuat dirinya kesulitan. Namun ini bukan pertamakalinya juga Zavian menyatakan perasaannya. Pria itu sudah jujur sejak pertama memberikan perhatiannya pada Elive dan jujur saja hal itu membuatnya sedikit terbebani. Zavian yang melihat Elie melamun, menyentuh bahu wanita itu pelan, membuyarkan lamunan Elive. Zavian paham kalau Elive tidak akan semudah itu percaya dengan ucapannya. Terlebih mereka
Elive bersiap pulang setelah membenahi berkas-berkas miliknya. Namun, saat hendak keluar dari ruangannya, ia dikejutkan dengan kehadiran Zavian yang sudah berdiri sambil bersandar tembok. Elive mengusap dadanya pelan, meredakan keterkejutannya. Harusya, ia tidak heran dengan kelakukan Zavian yang semakin sulit dimengerti. Pria itu dipastikan akan melakukan hal-hal yang lebih ekstrim dibanding memaksanya berangkat dan pulang bersama.Menyapa Zavian singkat, Elive hendak meninggalka pria itu, sampai pergelangan tangannya ditahan Zavia. Elive cukup terkejut, menatap sekitarnya dengan cepat kemudian berusaha melepaskan genggaman Zavian yang untungnya segera dilepaskan pria itu.“Pulang dengan saya namun sebelum itu kita makan malam dulu. Tidak ada penolakan atau kamu saya pecat,” ucap Zavian singkat, membuat Eive melongo, hingga beberapa detik setelahnya, wanita itu berdecak.“Kebiasaan, pemaksa, semaunya, dasar angkuh,” gumam Elive.“Ada yang kamu katakan?” tanya Zavian sambil menghentik
Keesokan paginya, Elive dikejutkan dengan kedatangan Zavian di depan rumahnya. harusnya ia sudah terbiasa, tapi tetap saja hal ini terlalu tiba-tiba dan membuatnya sedikit tidak siap. Lagipula jarak kantor dan tempat tinggalnya tidak sejauh itu. Elive hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai di kantornya. Namun, sepertinya mulai sekarang, ia harus membiasakan diri dengan kehadiran Zavian di depan rumahnya.“Kenapa melamun? Ayo berangkat,” ajak Zavian membuyarkan lamunan Elive.Wanita itu tidak bisa menolak, naik ke mobil Zavian, meski harus berusaha menhilangkan keggupannya. Zavian juga tidak membuka suara, tidak mengajak Elive mengobrol, membiarkan wanita itu semakin tenggelam dalam lamunan dan kegugupannya. Hingga Elive menyadari bahwa mobil Zavian sudah berhenti di basement kantor, wanita itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan turun dari kendaraan roda empat tersebut.Elive sempat menatap ke sekelilingn
Zavian mengantar Elive dan menunggu hingga wanita itu masuk baru melajukan kendaraan roda empat miliknya menuju mansion keluarga Lee. Sudut bibirnya berkedut ingin tersenyum, tapi ia harus menahannya karena harus bertemu sang ayah. Jika ketahuan ia tersenyum karena urusan cinta, dipastikan ayahnya akan menggodanya dan berakhir Zavian akan menjadi bulan-bulanan seluruh anggota keluarga. Ia tidak mau menceritakan soal Elive sebelum semuanya pasti.Masuk ke dalam rumah, Zavian menaikkan sebelah alisnya saat mendengar suara tawa dari ruang tamu. Ia mendekat, melihat kakaknya sedan bercanda dengan seorang wanita. Saat Jully kemudian memanggilnya dan wanita itu menoleh, Zavian sedikit terkejut dibuatnya.“Vanesia?” “Zavian, halo!” Zavian cukup terkejut saat tiba-tiba Vanesia menubruknya dan memeluk tubuhnya erat. Wanita itu bahkan mendusal di ceruk leher Zavian, membuat Zavian yang masih berusaha menerna keadaannya mendapatkan kesadarannya kembali. Ia mencoba melepaskan pelukkan Vanesia, t