“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?” ucap Zavian.
Elive diam, menunggu atasannya melanjutkan apa yang akan di ucapkannya.
“Saya melakukannya karena saya menyukai kamu,”
Elive membelalakan matanya terkejut saat mendengar penuturan Zavian. Pria itu mengatakan dengan sorot mata serius dan tajam hingga Elive tidak bisa mencari kebohongan dari pandangan pria itu.
Mengerutkan keningnya heran, Elive berdeham saat tenggorokannya tiba-tiba kering. Kepalanya mendadak berkedut kencang sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan Zavian begitu dalam, seolah menusuk tepat di ulu hatinya hingga Elive tidak bisa merespon apa pun.
Mengela napas berkali-kali, Elive memejamkan mata untuk menenangkan diri. Gadis itu mendogak dan kembali menatap Zavian dengan sorot penuh kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar. Hal itu membuat Zavian menautkan dua alisnya tidak suka. Ia tidak suka melihat Elive dengan binar meredup.
“Tuan, sungguh, saya tidak mengerti maksud anda mengatakan hal seperti ini kepada saya. Namun, jika anda mengatakannya hanya untuk menyakiti saya, saya sungguh meminta maaf kalau ternyata hal-hal yang saya lakukan di masalalu membuat Anda sebeginiya membenci saja,” ucap Elive.
“Saya tahu kamu khawatir dan takut. Jadi, saya akan membuktikannya padamu. Saya akan menunjukka kalau saya benar-benar menyukai kamu tanpa maksud apa pun,” jawab Zavian.
Elive tidak menjawab. Gadis itu memilih diam dan melanjutkan makan malamnya dengan canggung.
Zavian juga tidak memaksa gadis itu untuk bicara. Ia sangat tahu bahwa Elive merasa terkejut dengan pernyataannya yang tiba-tiba. Maka, Zavian membiarkan Elive menenangkan dirinya, semetara ia akan menunjukkan pada gadis itu bahwa dirinya tidak berbohong sama sekali.
Setelah menyelesaikan makan malam, Zavian segera meantar gadis itu kembali ke rumahnya.
Tidak ada perbincangan selama perjalanan pulan. Elive memilih menatap ke luar jendela, sedangkan Zavian menatap lurus jalanan di hadapannya. Begitu sampai di rumah itu, Zavian menatap Elive sekilas kemudian berlalu dari sana setelah memastikan gadis itu masuk ke dalam rumahnya.
Zavian tiba di rumah orang tuanya. Ia memilih menginap di rumah orang tuanya, sebab inin menenangkan diri. Pikiran pria itu melanglanbuana, khawatir kalau Elive akan menjauhinya.
Menghela napas kasar, Zavian menoleh saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Pria itu melihat keponakan kecilnya melongokan kepala dan berjalan masuk ke dalam kamarnya, lantas naik ke atas tempat tidur dan duduk di samping tubuh Zavian. Matanya menatap pria tersebut dengan pandangan lucu yang membuat Zavian gemas.
“Ada apa?” tanya Zavian sembari mengangkat tubuh Yuan. Pria itu duduk dengan bersandar tempat tidur dan memangku Yuan yang masih menatapnya.
“Uncle, are you sad?” tanya Yuan yang membuat Zavian tertawa kecil.
“No, I’m O.K,” jawab pria itu sembari mengusap kepala keponakannya.
“Don’t be liar. I know that you sad and worry about something. Talk to me, Uncle. Yuan akan mentransfer energi positif kepada Uncle,” oceh Yuan yang membuat tawa Zavian pecah.
Pria itu memeluk Yuan denga erat dan gemas. Pipi anak lelaki kecil itu menjadi sasaran kecupan Zavian, hingga Yuan menggerutu dan protes terhadap perlakuan Zavian.
“Paman tidak apa-apa, Sayang. Paman hanya sedikit lelah. Kamu kenapa belum tidur? Mom akan memarahimu nanti,” ujar Zavian
“Mom sedang menonton televisi denga Grandma, jadi aku ke sini karena melihat Paman menampilkan wajah yang sangat buruk,” jujur Yuan.
Zavian kembali tersenyum dan menatap anak berusia tujuh tahun tersebut.
Perasaan anak kecil begitu jujur dan polos. Mereka bahkan mampu melihat perasaan orang lain hanya dengan melihat ekspresi wajahnya. Yuan seringkali tiba-tiba mengunjunginya di kamar saat pria itu pulang ke rumah dengan ekspresi gelisah atau apa pun dan seolah bisa membaca pikirannya, Yuan akan menenangkan Zavian dengan caranya sendiri.
Mengusap punggung sempit keponakannya, Zavian tersenyum kecil saat melihat Yuan tertidur. Pria itu meletakkan Yuan dengan hati-hati dan segera menyelimuti anak tersebut sebelum beranjak ke kamar mandi untuk membersihka diri.
Butuh kurang lebih setengah jam sampai Zavian menyelesaikan acara bersih-bersihnya. Pria itu turun dan menyapa ayah serta kakak iparnya yang tengah membahas perusahaa. Enggan bergabung, Zavian memilih pergi ke belakang rumahnya dan duduk sembari melihat langit malam.
Tepukkan di pundaknya mengagetkan pria itu. Menoleh, Zavian menemukan wajah kakaknya.
Perempuan berusia 35 tahun tersebut masih begitu cantik dan tidak banyak yang mengira bahwa Jully sudah memilki seorang putra. Bagi sebagian yang tidak tahu bahkan menganggap bahwa Jully adalah kekasih Zavian.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully. Zavian menatap kakaknya denga pandagan heran. Bagaimana perempuan di sampingnya bisa menebak sesuatu yang belum ia sampaikan sama sekali.Zavian mulai bertanya-tanya, membentuk kemungkinan bila kepekaan Yuan menurun dari kakaknya.“Ditanya malah bengong. Ada apa?” Jully kembali bersuara.Setelah mengela napas panjang, Zavian mulai menceritakan kejadian saat ia bertemu Elive untuk pertamakalinya. Meski Jully sempat marah karena mengetahui putranya hampir tertabrak dan Zavian tidak tahu, Jully kembali mendengarkan cerita adiknya hingga selesai.Tanpa menjeda, Jully membiarkan Zavian menyampaikan perasaannya. Sebab, selama ini, adiknya lebih banyak diam dan menyembunyikan perasaannya sendiri. Jadi, mendengar Zavian bercerita tanpa diminta membuat Jully bahagia.“Jadi, kamu benar-benar menyukai gadis itu?” tanya Jully setelah Za
“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian. Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih be
"Kakak Cantik!" Menoleh, Elive tersenum melihat anak lelaki kecil yang beberapa hari lalu ia selamatkan nyawanya. Elive menangkap Yuan yang menubruknya cukup kuat hingga Elive sedikit terhuyung ke belakang. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Yuan. Menatap anak lelaki di depanya sembari tersenym. Kedua tangannya berada di kedua bahu Yuan. “Kamu dengan siapa kemari, tidak sendiri lagi, ‘kan?” tanya Elive. “Tidak, aku bersama Paman Zav. Dia ada di belakang,” jawab Yuan bersemangat. Elive menoleh ke belakang dan melihat Zavian berjalan ke arah keduanya. Gadis itu segera berdiri dan membungkuk singkat untuk menyapa Zavian. “Kakak Cantik, boleh aku bermain di rumahmu? Aku ingin melihat rumah Kakak Cantik supaya nanti saat aku kangen, aku bisa ke rumah Kakak Cantik. Oh iya, nama Kakak Cantik, siapa?” oceh Yuan. Elive tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuan. “Nama kakak, Elive. Panggil Kak El saja, ya. Oh iya, Yuan boleh main ke rumah kakak,” jawab Elive. Yuan ter
“Elive, apa saya boleh berusaha?” Elive menghentikan aktivitas memasaknya kemudian menatap Zavian. Ia mencoba mencari kebohongan dari mata pria itu, tapi tidak menemukannya. Elive justru mendapati ketulusan dan keinginan besar dari tatapan atasannya. Meski sangat mengejutkan bahwa atasannya yang hampir tidak pernah peduli dengan sekitarnya termasuk para gadis yang mencoba mendekatinya, mendadak menyatakan perasaannya pada wanita biasa sepertinya. Elive takut kalau yang dilakukan Zavian hanya untuk kesenangannya belaka. Ia tidak ingin terlibat dengan orang-orang kaya yang akhirnya membuat dirinya kesulitan. Namun ini bukan pertamakalinya juga Zavian menyatakan perasaannya. Pria itu sudah jujur sejak pertama memberikan perhatiannya pada Elive dan jujur saja hal itu membuatnya sedikit terbebani. Zavian yang melihat Elie melamun, menyentuh bahu wanita itu pelan, membuyarkan lamunan Elive. Zavian paham kalau Elive tidak akan semudah itu percaya dengan ucapannya. Terlebih mereka
Elive bersiap pulang setelah membenahi berkas-berkas miliknya. Namun, saat hendak keluar dari ruangannya, ia dikejutkan dengan kehadiran Zavian yang sudah berdiri sambil bersandar tembok. Elive mengusap dadanya pelan, meredakan keterkejutannya. Harusya, ia tidak heran dengan kelakukan Zavian yang semakin sulit dimengerti. Pria itu dipastikan akan melakukan hal-hal yang lebih ekstrim dibanding memaksanya berangkat dan pulang bersama.Menyapa Zavian singkat, Elive hendak meninggalka pria itu, sampai pergelangan tangannya ditahan Zavia. Elive cukup terkejut, menatap sekitarnya dengan cepat kemudian berusaha melepaskan genggaman Zavian yang untungnya segera dilepaskan pria itu.“Pulang dengan saya namun sebelum itu kita makan malam dulu. Tidak ada penolakan atau kamu saya pecat,” ucap Zavian singkat, membuat Eive melongo, hingga beberapa detik setelahnya, wanita itu berdecak.“Kebiasaan, pemaksa, semaunya, dasar angkuh,” gumam Elive.“Ada yang kamu katakan?” tanya Zavian sambil menghentik
Keesokan paginya, Elive dikejutkan dengan kedatangan Zavian di depan rumahnya. harusnya ia sudah terbiasa, tapi tetap saja hal ini terlalu tiba-tiba dan membuatnya sedikit tidak siap. Lagipula jarak kantor dan tempat tinggalnya tidak sejauh itu. Elive hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai di kantornya. Namun, sepertinya mulai sekarang, ia harus membiasakan diri dengan kehadiran Zavian di depan rumahnya.“Kenapa melamun? Ayo berangkat,” ajak Zavian membuyarkan lamunan Elive.Wanita itu tidak bisa menolak, naik ke mobil Zavian, meski harus berusaha menhilangkan keggupannya. Zavian juga tidak membuka suara, tidak mengajak Elive mengobrol, membiarkan wanita itu semakin tenggelam dalam lamunan dan kegugupannya. Hingga Elive menyadari bahwa mobil Zavian sudah berhenti di basement kantor, wanita itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan turun dari kendaraan roda empat tersebut.Elive sempat menatap ke sekelilingn
Zavian mengantar Elive dan menunggu hingga wanita itu masuk baru melajukan kendaraan roda empat miliknya menuju mansion keluarga Lee. Sudut bibirnya berkedut ingin tersenyum, tapi ia harus menahannya karena harus bertemu sang ayah. Jika ketahuan ia tersenyum karena urusan cinta, dipastikan ayahnya akan menggodanya dan berakhir Zavian akan menjadi bulan-bulanan seluruh anggota keluarga. Ia tidak mau menceritakan soal Elive sebelum semuanya pasti.Masuk ke dalam rumah, Zavian menaikkan sebelah alisnya saat mendengar suara tawa dari ruang tamu. Ia mendekat, melihat kakaknya sedan bercanda dengan seorang wanita. Saat Jully kemudian memanggilnya dan wanita itu menoleh, Zavian sedikit terkejut dibuatnya.“Vanesia?” “Zavian, halo!” Zavian cukup terkejut saat tiba-tiba Vanesia menubruknya dan memeluk tubuhnya erat. Wanita itu bahkan mendusal di ceruk leher Zavian, membuat Zavian yang masih berusaha menerna keadaannya mendapatkan kesadarannya kembali. Ia mencoba melepaskan pelukkan Vanesia, t
Zavian sudah siap dengan setlan kerjanya dan hendak menuju meja makan saat tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Vanesia di depan pintu kamarnya. Wanita itu mnatapnya sambil tersenyum lebar, mengabaikan wajah Zavian yang sudah mengkerut bingung. Ia pikir Vanesia sudah pulang ke rumahnya, tapi wanita itu justru menginap di kediaman Lee. Zavian pikir ia akan pulang ke rumah miliknya saja dibanding ke mansion ini.Zavian mencoba melepakan pelukkan Vanesia pada lengannya. Ia mengatakan harus segera tiba di kantornya untuk rapat pagi ini, tapi sepertinya ayahnya tidak mendukung rencananya. Ayahnya justru meminta Zavian menantar Vanesia melihat gedung baru untuk butik miliknya, membuat Zavian hanya bisa menghela napas panjang. Padahal, ia sudah berencana menjemput Elive dan sarapan bersama. Dengan terpaksa, ia membatalkan janjinya pada wanita itu.Maka, begitu menyelesaikan sarapan mereka, Zavian segera membawa Vanesia ke alamat yang akan menjadi tempatnya mendirikan butik. Sebuah gedung d