Vanesia menatap Zavian dengan kening bertaut. Ia tidak menyukai ucapan pria itu. Zavian tampak memberontak, menolak keberadaannya dan Vanesia tidak mau. Pria itu harus menurut, harus elalu diampingnya, dan menjadi miliknya apapu yang terjadi. Vanesia akan melakukan apapun agar Zavian hanya menjadi miliknya, sekalipun harus mengorbankan diri sendiri.Berdiri dari tempat duduknya, Vanesia menatap Zavian nyalang.“Kenapa kamu bicara begitu? Kamu tidak lupa kalau orang tua kita sepakat menjodohkan kita jika tidak ada pilihan untuk menjadi pasangan atau kamu tidak tertarik memiliki pasangan, bukan? Seharusnya kamu mempersiapkan diri untuk hidup bersamaku,” ucap Vanesia.“Kenapa kamu terlalu percaya diri? kenapa kalian tidak bertanya padaku apakah aku mau atau tidak. Aku berhak menolak dan kau berhak memaksa. Aku berhak memilih pasanganku sendiri, maka lakukan peranmu dan jaga batasan karena aku tidak suka saat oranglain mengusikku,” jawab Zavian lantang kemudian meninggalkan ruangannya. Ia
Elive keluar dari ruangannya. Perasaannya menjadi buruk setelah kejadian tadi. Ia tidak mau terlibat dengan orang-orang kaya. Belum menjadi kekasih Zavian saja, Elive sudah mendapat ancaman, apalagi jika sudah menjadi kekasihnya. Namun, sepertinya Elive hanya terlalu percaya diri. Mungkin Zavian hanya penasaran dengannya dan tidak benar-benar menyukainya. Lagipula, orang kaya seperti Zavian mana mungkin menyukai wanita biasa sepertinya.Menghela napas panjang, Elive melewati lorong, dikejutkan dengan kedatangan Zavian yang tiba-tiba. Pria itu menggenggam pergelangan tangan Elive, mengajak wanita itu ke ruangannya. Elive tidak sempat menolak, ia takut, pun ia ingin mendengarkan penjelasan Zavian tentang wanita itu. Jika boleh jujur, Elive penasaran. Setelah Zavian menutup pintu, keduanya duduk di sofa ruangan tersebut. Zavian segera membuka suara, menjelaskan pada Elive tentang Vanesia. Pria itu sesekali melihat ekspresi Elive, mencoba menebak apa yang dipikirkan wanita itu. Ia tidak
Elive mengunjungi salahsatu kafe setelah pekerjaannya selesai. Ia memesan minuman dan makanan ringan. Wanita itu tengah sibuk memakan pesanannya ketika mendengar seseorang meneriakkan namanya. Saat menoleh, Elive melihat Yuan tersenyum lebar kemudian berlari ke arahnya. Elive membalas senyumannya, cukup terkejut ketika Yuan tiba-tiba memeluknya erat. Beruntung karena Elive bisa menahan beban tubuh Yuan.Elive mengangkat anak itu di sebelah kursi miliknya, menyapa sebentar pada wanita berambut pendek yang Elive duga merupakan ibu Yuan. Wanita itu tersenyum ramah ke arah Elive dan mendadak ia merasa kecil karena wanita berambut pendek itu tampak mewah.Dari pakaian dan tas yang dibawanya, Elive bisa mendua harganya sangat fantastis. Harusnya ia tidak terkejut mengingat wanita ini putri keluarga Lee. Ia menjadi salahtingkah, takut kalau sikapnya bisa menjadi bumeran dan ia harus beruruan lebih banyak dengan para orang tua ini. Padahal, sekarang saja ia sudah berhubungan dengan keluarga L
Elive berangkat ke kantor seperti biasa. Ia hendak ke ruangan miliknya saat tiba-tiba beberapa orang melihat ke arahnya. Hal itu membuat Elive heran dan segera mendekat ke arah papan pengumuman. Matanya membelalak kaget saat melihat foto-foto dirinya tampak diantar pulang oleh Zavian. Dalam foto itu terlhat seolah dirinya memaksa pria itu dan membuat semua oran melihat sinis ke arahnya.Elive mencabut foto-foto itu dengan cepat, mengabaikan para karyawan yang sudah menggunjingnya terang-terangan. Wanita itu memilih menuju ruangannya, walau ia tahu kalau hal itu tidak akan cukup membantu. Semua orang tampak menghakiminya dan Elive tidak suka. Ia bahkan belum memuai hubungannya dengan Zavian, tapi semua orang sudah ikut campur.Menghela napas panjang, Elive membiarkan karyawan lain menyindirnya. Mengatakan bahwa dirnya tidak pantas, mencurigai bahwa posisinya sekarang berkat menggoda atasan, bahkan menyimpulkan sesukanya kalau Elive masuk ke perusahaan karena bantuan orang dalam.Ia sak
Zavian mengusap kepala Elive yang saat ini merebahkan tubuhnya di sofa dengan pahanya sebagai bantal. Wanita itu memejamkan mata, entah tidur atau tidak, avian hanya berusaha menenangkan wanita itu. Elive masih tidak mau bicara apapun dan Zavian tidak akan tinggal dam untuk tidak tahu menahu soal perempuan yang ia cintai.Saat merasa Elive sudah tertidur, Zavian mengangkat tubuh wanita itu perlahan dan memindahkannya ke kamar. Menutup pintu kamar kemudian merogoh saku pakaiannya. Zavian menghubungi sekretarisnya, memintanya mencari informasi yang terjadi hari ini. Begitu mendengar cerita sekretarisnya, Zavian menggenggam ponselnya erat. Ia benar-benar tidak bisa meremehkan Vanesia. Wanita itu mengincar Elive dan bukan dirinya. Vanesia pasti tahu bahwa tidak mudah mengalahkan Zavian. Jadi, wanita itu menyerang Elive yang dianggapnya lemah.“Kau salah memilih lawan, Vanes.”Zavian beranjak dari tempat duduknya saat mendengar suara dari kamar Elive. Wanita itu terbangun, menatap Zavian d
“Zavian!” teriakkan Tuan Lee membuat meja makan seketika hening. Namun, Zavian tdak gentar. Ia menatap ayahnya tidak kalah datar, tidak takut sama sekali atas ancaman pria paruh baya itu.Zavian dengan sopan menyelesaikan makanannya kemudian mengajak Yuan beranjak lebih dulu dari meja makan. Sementara, Vanesia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tidak terbiasa dengan penolakkan. Semua orang menginginkannya, tapi Zavian justru menolaknya dan Vanesia tahu hal ini karena wanita itu.Zavian masuk ke kamarnya, sibuk menunggui Yuan yang sedang bermain game dari ponselnya. Pria itu menatap kosong tembok di depannya, hingga tidak lama setelahnya, Jully ikut masuk ke dalam kamar adiknya tersebut. Ibu satu anak itu menatap adiknya kemudian menghela napas panjang.“Tempo hari, aku bertemu dengan Elive. Dia perempuan yang sangat ramah dan apa adanya. Aku suka saat dia mengeluarkan energi positif, sangat menenangkan,” ucap Jully, membuat Zavian terkejut. Ia baru tahu kalau kakaknya tersebut sudah
Zavian tersenyum ke arah Elive yang sedikit terkejut melihat kedatangannya. Wanita itu memiringkan kepala, tampak lugu dan lucu hingga Zavian menjerit dalam hatinya. Jika tidak ingat saat ini dirinya berada di luar ruangan, Zavian ingin berteriak kencang, mengatakan pada siapapun tentang luar biasanya perempuan yang dirinya cintai.Menghampiri Elive, Zavian menuntun wanita itu menuju mobilnya dan mereka meninggalkan pelataran rumah Elive setelahnya.Seperti biasa, tidak ada yang bersuara dari keduanya. Elive sibuk menatap ke luar jendela, sedangkan Zavian sesekali melirik, memperhatikan gerak-gerik Elive. Wanita itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Hingga Zavian bertanya pada Elive dan hanya hela napas panjang jawabannya.Mencoba mengingat-ingat yang terjadi, Zavian seperti melewatkan sesuatu. Pria itu menautkan dua alisnya, menciptakan kerutan dalam pada dahinya. Ia memaksa kepalanya agar mengingat kebodohan apa yang sudah dirinya lakukan.Saat mengingatnya, mata pri
Elive menghela napas lelah. Emosinya benar-benar diuji, ia tetap harus menjaga batasannya atau nama baiknya akan semakin dipertaruhkan. Belum lagi statusnya sebagai kepala divisi menambah beban tersendiri untuknya. Rasanya, Elive ingin berteriak kencang, mengumpati seluruh karyawan yang berbicara dibelakang soal dirinya. Namun, Elive cukup sadar bahwa tindakan itu akan menjadi hal bodoh yang menyerangnya di masa depan.Memejamkan mata sejenak, Elive menarik dan menghembuskan napas, kemudian berlalu menuju rest room untuk membuat kopi. Tidak peduli kalau asam lambungnya akan naik, Elive butuh sesuatu untuk menenangkannya.Melamun, Elive tidak sadar jika air dalam gelasnya tumpah dan berhasil mengenai tangannya, menyadarkan Elive dari lamunannya. Ia meringis kecil, dalam hati berteriak kesal pada dirinya sendiri. Akhirnya, Elive batal menikmati secangkir kopi panas, ia memilih mengambil minuman bersoda dari lemari pendingin.Wanita itu duduk sambil menyesap soda di tangannya, mengabaika