Elive menunggu lampu berubah warna dengan sabar. Sesekali matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Masih ada cukup waktu sebelum ia sampai di kantor.
Kepalanya mendongak, suasana yang tadinya tenang mendadak runyam saat seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Seorang anak lelaki yang asik mengambil bola sementara dari arah kanan muncul kendaraan bermotor dengan sangat cepat.
Napas Elive tertahan dan orang-orang hanya menjerit. Bahkan seorang pria yang jelas-jelas lebih dekat dengan anak lelaki tersebut tampak tak acuh.
Berdecak keras, Elive berlari menghampiri anak lelaki tersebut dan dengan gerakan cepat, mendekapnya hingga keduanya jatuh ke pinggir jalan raya.
Jantung Elive berdebar kencang dengan tubuh gemetar di pelukannya. Gadis itu masih mencoba menenangkan diri saat suara anak tersebut memenuhi indera pendengarannya, disusul orang-orang yang ramai mengelilingi keduanya.
“Kakak.”
Elive membuka mata dan segera bangkit dari posisinya. Melepas pelukan anak tersebut dan memastikan bahwa anak itu tidak terluka.
“Kau baik-baik saja?” tanya Elive.
“Aku baik, tapi Kakak terluka,” jawab anak tersebut sembari menunjuk lengan Elive.
Gadis itu melihat ke arah lengannya yang tidak tertutup apa pun. Lengan kirinya terluka sedikit di bagian siku, sementara lengan kanannya tampak parah. Kulitnya mengelupas hingga meninggalkan goresan panjang berwarna merah.
“Tidak masalah. Besok jangan begitu lagi, ya. Kalau jalanan sedang ramai biarkan saja bolanya. Kamu bisa mengambilnya setelah jalanan sepi,” ucap Elive mengabaikan perih yang mulai terasa.
“Terima kasih Kakak cantik. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Elive tersenyum. Orang-orang sudah kembali pada kesibukannya masing-masing.
“Yuan.”
“Uncle!”
Elive ikut mendongak saat seorang pria memanggil nama anak lelaki tersebut. Matanya memicing menyadari fakta bahwa pria itu adalah pria yang hanya melihat anak kecil hampir tertabrak. Fakta mengejutkan lainnya, anak kecil tersebut adalah keponakannya dan pria itu tidak peduli sama sekali.
“Anda pamannya? Kenapa tadi anda diam saja? Anda membiarkan keponakan anda hampir tertabrak,” geram Elive.
“Saya tidak diam. Saya hendak menolongnya, tapi kamu lebih dulu. Kamu sendiri, kenapa begitu peduli dengan orang lain dan mengabaikan dirimu sendiri?” ucap pria tersebut sembari menatap lengan Elive yang berdarah.
“Rasa kemanusiaan dan empati,” jawab Elive ketus.
“Kalau begitu, sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan empati seperti yang kamu katakan, saya akan bertanggung jawab atas luka milikmu,” ujar pria itu lagi.
“Tidak perlu. Saya tidak peduli dengan manusia seperti anda.”
“Ya sudah kalau tidak mau.” Pria tersebut bergidik sebentar sebelum meninggalkan Elive yang hanya mampu melongo di tempatnya. Dia tidak percaya sama sekali bahwa ada pria yang tidak memiliki empati sedikit pun.
Menghentakkan kaki kesal, Elive berjalan menuju kantornya. Namun, sebelum itu, ia mampir ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya. Meringis kecil, Elive melihat lengan kanannya yang berwarna merah cukup panjang dan lebar. Beruntunglah perusahaan tempatnya bekerja benar-benar luar biasa. Menyediakan kotak pertolongan pertama di setiap kamar mandi dan lantai. Jadi, Elive bisa mengobati lukanya sebelum nanti membawanya ke rumah sakit agar tidak infeksi. Setidaknya, untuk sekarang gadis itu sudah membubuhkan obat merah dan mengoleskan salep luka sebelum membalutnya dengan perban.
Elive menatap cermin di kamar mandi tersebut. Membenahi tatanan rambutnya yang sedikit berantakan lantas kembali menggerutu. “Dasar pria tidak punya hati!”
Setelah puas, gadis itu menghela napas panjang dan segera berjalan menuju ruangannya. Ia menyapa beberapa karyawan dan menjawab satu persatu pertanyaan mengenai lengannya yang dibalut perban.
“Elive, ada apa dengan lenganmu?” tanya Hana. Sekretaris sekaligus sahabatnya di divisi produksi.
“Tadi ada anak kecil hampir tertabrak dan aku yah berubah menjadi pahlawan kepagian,” jawab Elive.
“Astaga. Kenapa tidak langsung ke rumah sakit? Bagaimana kalau infeksi?” heboh Hana.
“Aku masih cukup waras untuk terlambat di rapat besar hari ini. Hari ini kepala dewan akan mengumumkan kepala direktur yang baru.” Tangan Elive sibuk menyusun dokumen sembari menjawab ucapan Hana.
“Benar juga. Namun, ini bukan rapat penting yang harus dihadiri semuanya,” elak Hana.
“Tidak cukup penting untuk semuanya, tapi cukup penting untukku kalau masih ingin hidup di perusahaan ini,” jawab Elive.
Hana tertawa kecil menanggapi jawaban sahabatnya tersebut.
“Semangat calon manajer.” Hana menggoda Elive yang kemudian dihadiahi pukulan di lengannya.
“Sudah, aku mau pergi dulu.” Elive bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Hana yang masih mencob menggodanya.
Gadis itu duduk sesuai dengan jabatannya sebagai kepala divisi produksi. Ia menyapa sekilas kepala divisi personalia dan pemasaran yang berada di samping kanan kirinya.
Elive kembali fokus saat kepala dewan mulai bersuara. Memberikan sambutan dan memperkenalkan seorang pria yang berjalan ke mimbar.
“Perkenalkan, Zavian Lee, kepala direktur yang baru di perusahaan ini yang sudah terpilih secara sah melalui rapat dewan minggu lalu.”
Retina Elive membelalak seketika. Badannya sedikit menegang mengetahui fakta bahwa kepala direktur yang baru adalah pria yang beberapa jam lalu sudah ia marahi. Pria itu adalah pewaris kekayaan Lee Corp dan sekarang menjadi direktur utama perusahaan tempatnya bekerja.
Elive menertawakan nasibnya dalam hati. Berharap bahwa kisahnya berjalan baik seperti dalam web series yang selalu dirinya baca tentang karyawan dan CEO. Setidaknya, ia masih bisa bekerja di perusahaan tersebut.
“Tampan sekali ya. Dia anak kedua dari Tuan Lee. Wajahnya benar-benar seperti pangeran. Sesuai dengan panggilannya, ice prince.”
Elive tidak sengaja mendengar percakapan dua perempuan yang duduk di depannya. Entah mereka dari bagian mana, Elive tidak peduli. Gadis itu hanya ingin mengatakan bahwa pria yang ada di depannya sana sangat tidak punya hati. Pria yang bahkan hampir mencelakakan keponakannya sendiri itu tidak berhak punya penggemar.
Ice prince? Benar, pria itu berhati batu, berhati dingin, hilang rasa.
Menghembuskan napas kasar, Elive akhirnya dapat bernapas lega saat pertemuan tersebut akhirnya berakhir.
Dengan gerakan cepat dan cenderung terburu-buru, Elive segera beranjak dari tempat duduknya dan mencoba keluar, meski badan mungilnya sangat tidak bisa diajak bekerjasama di situasi seperti ini. Sebab, setiap ia ingin maju, ia pasti terdorong lagi ke belakang.
“Hai, orang yang punya rasa kemanusiaan dan empati.”
“Hai, orang yang punya rasa kemanusiaan dan empati.”Elive menegang di tempatnya. Ia tidak ingin menoleh sebab ia tahu siapa manusia yang mengatakan hal itu. Namun, jika dirinya tidak menoleh, maka pekerjaannya menjadi taruhannya.Dengan sangat terpaksa, Elive menoleh dan tersenyum ke arah Zavian. Membungkuk kecil sebagai tanda penghormatan.“Selamat atas jabatan baru anda, Tuan Zavian. Selamat datang dan mohon bimbingannya,” ucap Elive.Zavian menatap datar ke arah Elive. Menatap sekilas wajah Elive dan berganti mentap lengannya.“Pulang kerja, temui saya di ruangan.”Tubuh Elive menegang. Ia bagai disambar listrik berkekuatan tinggi setelah mendengar ucapan CEO barunya tersebut.Pikiran-pikiran buruk mendadak mampir di kepalanya. Tentang apakah Zavian akan memecatnya atau mempermalukannya, atau malah, menyiksanya perlahan dengan memberikan pekerjaan di luar kemampuannya.Menggelengkan
“Uncle!”Pintu yang terbuka dengan teriakan anak kecil membuat Elive serta Zavian segera bangun dari tempat duduknya.“Oh! Kakak cantik yang tadi pagi! Halo, Kakak. Apa tangan Kakak sudah diobati?” tanya anak tersebut.“Halo, sudah. Tangan kakak sudah diobati dan baik-baik saja. Kamu baik-baik saja?” Elive merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan anak tersebut.“Sudah. Yuan tidak terluka. Tadi Yuan makan es krim dan pizza, jadi sudah sembuh!” Anak itu bercerita dengan semangat.“Pintar.” Elive mencubit pelan pipi anak lelaki bernama Yuan tersebut.“Yuan, kenapa kamu masih di sini? Kakek belum pulang?” tanya Zavian dan dibalas gelengan oleh anak tersebut.“Kakak cantik, nama Kakak siapa?” tanya Yuan.“Nama Kakak Elive,” jawab Elive sembari tersenyum.“Oke, Kak Eli!”Elive kembali tersenyum. Gadis itu
"Elive, mau tinggal bersamaku saja?" Pertanyaa Zavian membuat Elive terkejut di tempatnya namun segera menetralkan diri. Gadis itu mengabaikan pertanyaan atasannya dan menyuguhkan makanan untuk pria itu “Tuan, ini susu dan roti isi untuk Anda,” ucap Elive.Zavian segera duduk di depan pantry dan melahap roti isi buatan Elive, sementara gadis itu menunggu dengan sabar. Membiarkan Zavian makan dengan tenang. Lagipula, kalau mereka terlambat, Elive bisa membuat alasan dengan menggunakan bosnya tersebut.“Sudah selesai,” ucap Zavian.Dengan cekatan, Elive mengambil susu dan tempat roti isi yang sudah habis isinya tersebut. meletakannya di wastafel dan mengajak Zavian untuk berangkat atau mereka akan terlambat.“Tuan, nanti saya turun agak jauh dari kantor tidak apa-apa. Saya tidak mau ada gosip menyebar tentang saya,” jujur Elive.“Saya akan ke parkiran bawah khusus kendaraan direksi. Jadi, kam
“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.” Elive dibuat terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap Zavian dengan pandangan penuh tanya. Namun, belum sempat Elive bertanya, Zavian lebih dulu meninggalkan gadis itu.Elive melihat punggung Zavian yang menghilang dibalik lorong. Gadis itu menebak-nebak apa isi kepala atasannya tersebut.Mengedikkan bahu tak acuh, Elive memilih kembali ke ruangannya. Mengerjakan pekerjaannya hingga jam pulang. Ia pikir Zavian hanya bermain-main saat mengajaknya makan malam bersama namun pria itu menepati perkataanya.Gadis itu dibuat terkejut saat pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh dan semakin terkejut saat menemukan Zavian.Menoleh kanan dan kiri, gadis itu memastikan tidak ada siapa pun yang melihat mereka atau akan timbul kesalahpahaman. Dengan perlahan, Elive melepas genggaman atasannya tersebut.“Kamu mau ke mana?” tanya Zavian.“Say
“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?” ucap Zavian.Elive diam, menunggu atasannya melanjutkan apa yang akan di ucapkannya.“Saya melakukannya karena saya menyukai kamu,”Elive membelalakan matanya terkejut saat mendengar penuturan Zavian. Pria itu mengatakan dengan sorot mata serius dan tajam hingga Elive tidak bisa mencari kebohongan dari pandangan pria itu.Mengerutkan keningnya heran, Elive berdeham saat tenggorokannya tiba-tiba kering. Kepalanya mendadak berkedut kencang sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan Zavian begitu dalam, seolah menusuk tepat di ulu hatinya hingga Elive tidak bisa merespon apa pun.Mengela napas berkali-kali, Elive memejamkan mata untuk menenangkan diri. Gadis itu mendogak dan kembali menatap Zavian dengan sorot penuh kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar. Hal itu membuat Zavian menautkan dua alisnya tidak suka. Ia tidak suka melihat Elive dengan binar meredu
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jully. Zavian menatap kakaknya denga pandagan heran. Bagaimana perempuan di sampingnya bisa menebak sesuatu yang belum ia sampaikan sama sekali.Zavian mulai bertanya-tanya, membentuk kemungkinan bila kepekaan Yuan menurun dari kakaknya.“Ditanya malah bengong. Ada apa?” Jully kembali bersuara.Setelah mengela napas panjang, Zavian mulai menceritakan kejadian saat ia bertemu Elive untuk pertamakalinya. Meski Jully sempat marah karena mengetahui putranya hampir tertabrak dan Zavian tidak tahu, Jully kembali mendengarkan cerita adiknya hingga selesai.Tanpa menjeda, Jully membiarkan Zavian menyampaikan perasaannya. Sebab, selama ini, adiknya lebih banyak diam dan menyembunyikan perasaannya sendiri. Jadi, mendengar Zavian bercerita tanpa diminta membuat Jully bahagia.“Jadi, kamu benar-benar menyukai gadis itu?” tanya Jully setelah Za
“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian. Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih be
"Kakak Cantik!" Menoleh, Elive tersenum melihat anak lelaki kecil yang beberapa hari lalu ia selamatkan nyawanya. Elive menangkap Yuan yang menubruknya cukup kuat hingga Elive sedikit terhuyung ke belakang. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Yuan. Menatap anak lelaki di depanya sembari tersenym. Kedua tangannya berada di kedua bahu Yuan. “Kamu dengan siapa kemari, tidak sendiri lagi, ‘kan?” tanya Elive. “Tidak, aku bersama Paman Zav. Dia ada di belakang,” jawab Yuan bersemangat. Elive menoleh ke belakang dan melihat Zavian berjalan ke arah keduanya. Gadis itu segera berdiri dan membungkuk singkat untuk menyapa Zavian. “Kakak Cantik, boleh aku bermain di rumahmu? Aku ingin melihat rumah Kakak Cantik supaya nanti saat aku kangen, aku bisa ke rumah Kakak Cantik. Oh iya, nama Kakak Cantik, siapa?” oceh Yuan. Elive tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuan. “Nama kakak, Elive. Panggil Kak El saja, ya. Oh iya, Yuan boleh main ke rumah kakak,” jawab Elive. Yuan ter