Season 2 ini nanti ada hubungannya dengan season 3. Happy reading
______
"Apa? Nikah?"
Dara tersentak kaget. Mata bulatnya makin membulat. Mama dan papanya serta tamu yang ada dirumahnya saja sampai terkejut. Halah, jangankan mereka, dia yang baru saja pulang dari rumah cantik miliknya juga terkejut dengan pernyataan mamanya tadi. Untung saja tidak jantungan.
"Astaga sayang. Duduk dulu."
Dara mendesah kesal. Saking terkejutnya dia tadi sontak berdiri."Gini, dengar sayang. Mama papa sama om Deri dan tante Windi...""Gak mau. Emang Dara apaan. Dara bisa kok cari jodoh sendiri. Gak perlu dicariin."Mama dan tante Windi saling tatap.
"Sayang. Mama percaya kamu bisa cari sendiri. Ya meskipun sampai saat ini gak ada buktinya sih. Malah ditinggal nikah lagi."
Dara mendengkus. Secara terang-terangan mama menyindirnya.
"Tapi mama mohon, kali ini saja. Lagipula Dirga itu pria mapan. Ganteng lagi. Gak akan nyes
Lucunya, Dara dan Dirga menolak untuk saling bertemu lebih dulu. Sibuk. Alasan yang sama dari keduanya. Bahkan melihat poto masing-masing saja mereka malas. Ya mereka pikir untuk apa, percuma juga melihat poto kalau ujung-ujungnya, suka tidak suka tetap harus menikah.Hari ini wedding day mereka. Pesta besar-besaran digelar. Jangan ditanya, mereka sama sekali tak ikut campur. Jadi kedua orang tua lah yang menyiapkan semuanya. Mungkin kalau bukan karena para orang tua yang ngebet pengen jodohin kedua anak mereka, mereka tak akan mau serepot ini.Beauty and Care Salon yang jadi penata riasnya. Mama dan papa menyambut tamu di luar sana dengan senyum sumringah. Raut bahagia kedua orang tua itu tercetak jelas. Sangat berbeda dengan pria tampan berjas yang memasang wajah angkuhnya."Mbak yakin? Mau berpenampilan seperti ini?" Nana menatap berkedip, tak percaya dengan tingkah nekat bossnya itu."Lakukan saja, Na."Nana mengoleskan make up ragu-ragu. Dia tak k
"Sial. Dia ninggalin gue sendirian," umpat Dara.Dia bangun tidur mendapati apartemennya sepi. Tentu saja Dirga sudah berangkat tadi. Hari ini dia tidak ke salonnya. Dan untuk kedepannya mungkin dia tidak ke salon dulu. Untuk urusan salon, dia serahkan pada Nana."Ah, gue ada ide." Senyum smirk terulas di bibirnya."Tapi, gue kan gak tahu alamat kantor Dirga," keluhnya menyadari sesuatu. Jelas saja, mereka memang belum kenal. Rencananya dia mau membuat malu Dirga. Tentunya dengan datang ke kantor pemuda itu dengan penampilan buruknya. Biarin. Biar cowok itu malu dan segera ada alasan mereka bertengkar. Sepertinya seru."Nanya tante Windi aja deh."Dia scrool gawai mahalnya. Mencari kontak mama mertuanya. Lalu menghubunginya."Halo sayang." Suara lembut mertuanya itu terdengar."Ha-halo tan...""Loh, kok tante sih. Panggil mama dong. Kan sekarang saya mama kamu."Dara nyengir."Hehe. Iya ma.""Nah, gitu dong.
"Apa yang kau lakukan dikantorku?" Tak seperti pertanyaan. Kalimatnya datar dan menusuk. Seperti hawa dingin yang menakutkan. Dara sebisa mungkin tak menunduk. Meski tangannya meremat kuat."Gu-gue cuma mau antar bekal lo."Mata Dirga menyipit. Tapi tetap saja tak mengurangi kesan sangarnya."Terus sekarang dimana bekalnya?"Dara mengerjapkan matanya. Ah, benar saja. Tadi kan jatuh gara-gara security sialan itu. Dirga mendekat, membuat Dara juga beringsut mundur. Percuma, dia mentok tembok sekarang. Gugup. Wajahnya tepat di dada Dirga. Aroma parfum maskulin tercium di hidungnya."Kamu pura-pura kan?supaya dekat denganku?hmm." "Hah?" Hilang sudah ketakutannya. Dara mendongak, pria ini memang kelewat tinggi. Sungguh naif sekali pria ini. Pede sekali dia."Jangan ngimpi lo. Lagian gue cuma bosen aja di apart."Dengan santainya dia melenggang duduk di sofa. Menyilangkan kakinya sebelah diatas paha sebelahnya. Dirga memutar badannya. Menatapi gadis jelek yang tanpa rasa takut mengambil
"Hari yang buruk. Uh!"Dara melempar butir kacang asal. Dia sudah sampai apartemen. Tadi dia langsung memesan taksi dan langsung pulang. Capek. Apalagi hari ini cukup menyebalkan. Sebelah kakinya nangkring di ranjang. Asal kalian tahu saja, Dara rebahan di lantai. Memang sama sekali tak menampakkan kalau dia itu wanita berada yang kecantikannya menjadi idaman setiap wanita. Dara yang dulu aslinya memang tomboy. Makanya sifat aslinya nongol pas dia di rumah atau sedang sendirian. Selain itu, mana pernah dia menampilkan sisi lain dirinya itu. Harus jadi wanita elegan dan memukau. Itu prinsipnya. Jika kalian bertanya, berapa sih usia Dara? Maka jawabannya dua puluh lima. Masih muda kan?Sejenak kemudian gadis cantik atau jelek itu merenung."Apa gue buka penyamaran aja ya? Sebel gue dihina jelek terus. Huh!"Bagi Dara, anti mendapat hinaan. Baginya kesempurnaan adalah nomor satu. Kecuali untuk urusan cinta. Dia akui, nol besar dalam masalah itu. Kebanyakan orang mendekatinya karena kecan
"Apa!" Dara terjingkat. Reflek bangun dari posisinya."Kenapa? Kau istriku kan? Sudah seharusnya mendampingi suami.""Ta-tapi...""Gak ada tapi-tapian. Mulai besok dan seterusnya ikut aku ke kantor," ucapnya tanpa penolakan. Langsung keluar dari kamar Dara.Apa ini? Gila! Sehari saja di kantor dia sudah muak dengan hinaan, eh ini malah setiap hari.Argh! Nyesel. Niat mempermalukan, malah sial sendiri."Nyebelin! Nyebelin!" Umpatnya. Memukuli ranjang tak bersalahnya."Dasar arogan. Pemaksa."Dara berguling-guling di ranjang miliknya. Lama-lama dia capek sendiri. Dan malah kebablasan tidur.-----------Bau harum masakan membuat Dara terbangun. Bersandar di headbordnya. Matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawanya. Sedikit pusing akibat tidur sore."Emm, siapa yang masak?" gumamnya. Perutnya keroncongan. Ia baru ingat, dia hanya makan sarapan tadi pagi yang dia beli di restoran. Sekalian bawain bekal untuk Dirga. Alasannya, karena dia tidak bisa masak.Aroma harum makin menguar.
Dirga bersidekap memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Satu jam dia menunggui gadis itu dandan, sampai jadwal keberangkatannya mundur tak seperti biasa. Tapi lihatlah, tak ada perubahan yang berarti. Alis tebal, kulit wajah yang tak mulus dengan blush on ketebalan, tompel besar di pipinya, juga jangan lupakan lipstik merah menyala. Sungguh, tampilan yang tidak sesuai dengan sifat galak gadis ini. Ah, menurutnya, lebih baik gadis ini tak usah berdandan saja. Lebih mengerikan seperti ini. Tapi anehnya, dia nyaman dengan gadis ini daripada gadis-gadis relasinya yang kadang bersikap centil dan genit."Kenapa lihat-lihat? Mau gue colok mata lo," gertak Dara melotot."Segitu lamanya dandan cuma begini hasilnya?" ucapnya lirih tapi cukup membuat darah Dara mendidih."Apa kata lo?" umpatnya, matanya makin membulat lebar. "Dasar ya, cowok gak ada hati. Hargai dong usaha cewek yang udah dandan cantik gini. Dasar semua cowok sama aja. Cuma fisik yang dilihat."Sebelah sudut bibir Dirga
"Ingat, kita belum malam pertama sayang," bisiknya intens di telinga Dara, menyeringai kecil. Jantung Dara berdegup kencang. Matilah dia. Salah sendiri membangkitkan singa yang tertidur.Tatapan intimidasi Dirga membuat nyalinya mendadak menciut. Pria ini lebih menyeramkan dari yang dia bayangkan. Mulut kecilnya yang biasanya mengomel, kini hanya bisa menelan salivanya kasar."A-apa maksud lo? Jangan macam-macam deh." Pembelaan yang mirip cicitan kecil. Netra gadis itu melirik tangan Dirga yang membelai lembut pipinya. Memainkan jemari panjang itu di pipinya. Sialan. Jantungnya berdegup kencang."Haha. Kenapa wajahmu pucat sayang. Tenang saja, tak ada yang akan mengganggu kita. Kita hanya BERDUA disini.""Yah! Hentikan beruang kutub!"Entah keberanian darimana, Dara berteriak keras. Telinga Dirga berdengung. Suara gadis itu sangat melengking, seperti speaker rusak."Minggir! Enak saja. Lo pikir gue sudi apa nikah sama lo." Omelannya kembali keluar. Mendorong dada Dirga menjauh darinya
"Gimana kabarmu?""Yah, beginilah. Bisa lihat sendiri." Hey! Lagi-lagi beruang kutub itu tertawa. "Ayo, silakan duduk." Dirga mempersilakan. Mereka terlihat akrab. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?"Oh? Ini siapa?" Raka baru menyadari keberadaan Dara. Kaget dengan tampilan aneh gadis di ruangan Dirga.Dirga tak menjawab. Justru mengerutkan dahi melihat perubahan dadakan Dara. Yang tadinya seperti gadis tak punya sopan santun, tiba-tiba saja mematung."Saya Raka, rekan kerja Dirga." Dara melirik uluran tangan Raka dan menghentakkan kakinya kesal. Moodnya yang sudah buruk bertambah buruk. Dia keluar dari ruangan Dirga dan membanting kasar pintu ruangan Dirga.Brak!"Ada apa dia?" tanya Raka heran. Gadis yang aneh, pikirnya. Dirga menatap tajam kepergian gadis itu."Biarkan saja," ucapnya datar."Kau minum apa?" tawarnya kemudian. Raka menggeser duduknya. Belum pulih keterkejutannya dari sikap gadis jelek barusan.
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik