Dirga menyambut cengiran tipis di bibirnya saat papa dan mama mertuanya menyapanya. Aih! Dia malu karena bangung kesiangan. Rusak sudah citra disiplinnya. Tapi ya sudahlah, kepalang basah. Segera dia membuatkan susu kehamilan untuk Dara dan membawanya ke meja makan."Mama dan papa sudah selesai. Kami berangkat dulu. Dan Dara, kalau belum sehat betul, di rumah saja. Oke?" Pesan Mama. "Yaaah, bosen.""Eih, dibilangin." Dara mengerucutkan bibirnya. Kadang sifat manjanya masih muncul saat sedang bersama orang tuanya. Itu sebelum terjadinya pemutusan sepihak hubungan cintanya oleh Raka. Dan kini, sifat itu muncul lagi. Dirga terkekeh kecil. Mengusak surai Dara."Tenang aja, Ma. Ntar kunci aja dia di rumah seharian," godanya. Dara melotot, tapi bukannya takut, Dirga malah tertawa."Ya udah, mama sama papa berangkat. Yang hati-hati kalian."Dirga dan Dara mengangguk kompak.Mama menggandeng tangan papa, lalu meninggalkan dua sejoli itu
Tersenyum Dirga melihat pesan di ponselnya. Padahal tidak ada sweet-sweetnya, sumpah. Bayangkan saja, hanya pesan 'nanti pulang kantor jangan lupa cukur tuh rambut. Mau nyaingin rambutku apa gimana? Hm?'. Sama sekali tidak sweet bukan? Raut Dara yang suka mengomel itulah yang terbayang. Reflek mengusap rambutnya yang baru sadar, memang lebih panjang, Dirga terkekeh pelan. Mengetik beberapa kata sebagai balasan. Namun ketukan pintu mengalihkan perhatiannya sejenak."Ada apa, Lin?"Linda, gadis itu nongol dari balik pintu."Ada pak Raka, pak. Beliau ingin menemui bapak."Raut Dirga seketika berubah. Mengeras dan datar."Hm. Suruh masuk."Linda mengangguk, dan berbalik keluar. Tak lama ketukan terdengar. Dirga mendesah malas. Ayolah, meski pelakunya Dita, tetap saja Raka menyisakan kekesalan di hatinya. Meletakkan ponselnya diatas meja."Masuk," ucapnya melirik sekilas dan langsung membuang pandangan. Memandang asal dinding ruangannya. Ya
Rahang Dirga mengeras. Dasar tisak punya malu! Jangan dikira Dirga tidak emosi. Sangat. Dia sangat emosi. Terlihat dari wajahnya yang berubah memerah dan jemarinya yang terkepal kuat. Tapi dia mencoba mengendalikannya. Menghembuskan napas kasar. "Dicabut? Di kurangi? Haha," kekehnya sinis mencetak senyum asimetris. Sorot matanya berubah tajam lagi. "Lalu untuk apa ada hukuman kalau dengan permintaan maaf saja selesai? Hukum ada untuk memberi efek jera. Dan maaf, mengenai itu, dan permintaan maafmu itu, aku tidak bisa. Bicaralah sendiri dengan Dara," ucapnya membuang pandangan.Raka sudah menduganya. Dari awal seharusnya yang dia temui adalah Dara. Tapi karena rasa bersalah dan malunya, dia tak ada keberanian untuk menampakkan wajahnya di depan Dara."Baiklah. Aku tahu, ini salah. Tidak sepantasnya meminta hal yang menggelikan setelah apa yang dilakukan Dita.""Nah, itu tahu," tukasnya masih mengarahkan pandangan ke arah lain."Kalau begi
Sampai larut malam Dara tak bisa tidur. Pikirannya mengarah ke sesuatu. Hal itu terus mengganjal sejak tadi siang. Membolak balikkan badannya tak tenang. Hingga tangan Dirga menariknya dalam pelukannya."Tidak bisa tidur?"Mata Dirga yang semula sudah lelap kini terbuka sayup-sayup. Memandang netra Dara yang masih terbuka lebar."Apa ada masalah?"Dara malah mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan wajahnya di dada Dirga."Tidak. Hanya susah tidur," jawabnya."Aku nyanyikan lagu?"Tanpa menjawab pun Dirga tahu, wanita itu butuh ketenangan. Dan mulailah alunan merdu mengalun dari bibirnya. Perlahan tapi pasti, Dara mulai terlelap. Deru teratur dan hembusan napas pelannya membuktikan wanita itu telah menjemputnya.Dara tersenyum melihat istrinya telah tidur. Mengecup puncak kepalanya. Berbisik lirih."Good night, my wife..."Dan dia pun menyusul ke alam mimpi. Karena jujur saja, dia sebenarnya ngantuk. Badan
"Masih lemes?"Dirga mengangguk. Hari ini dia sampai tidak ke kantor. Lemas sekali badannya. Kini dia sedang tiduran di paha Dara. Memejamkan matanya dengan deru napas teratur. "Kasihan sekali papamu nak. Jangan nakal-nakal ih. Ntar papamu pingsan gimana?"Mendengar perkataan Dara, Dirga membuka matanya. Tersenyum terkekeh. Beringsut memalingkan dan mengusak wajahnya ke perut Dara. Menciumi perut datar namun berisi calon nyawa tersebut."Tidak apa sayang. Mau bermain-main dengan papa juga gak papa. Asal kamu disana sehat-sehat saja," ucapnya lalu memeluk perut wanita itu."Haha... dasar. Ntar giliran dikerjain beneran bingung. Sok kuat kamu.""Aku emang kuat ya... emuach! Emuach! Kamu denger kan, jagoan papa?" ucapnya kembali mengusak wajahnya di perut Dara."Ih, udah. Geli. Lepas."Dara tertawa kecil. Kembali ke posisinya tadi. Memandang wanitanya dari bawah. "Untung aja kamu gak nyidam yang lebih aneh," tukasnya."Aneh gimana?" Alis D
Dara meringsek mengambil paksa ponsel dari tangan Dirga. Tentu posisinya kini memeluk pria itu. Ya gimana lagi, ponsel itu tersembunyi di balik punggung Dirga."Kamu cantik tahu, Ga.""Gak peduli.""Ayolaah.""No!"Chup.Dirga terpaku. Satu kecupan di bibirnya membuatnya terkejut.Chup.Kali ini dengan sedikit lumatan yang mendarat. Lemas sudah Dirga. "Yeaay! Berhasil..."Tipuan. Melihat keterkejutan Dirga, Dara tersenyum. Menambah satu lagi kecupan dengan sedikit lumatan, dan ternyata upayanya berhasil. Dia langsung kabur keluar dengan ponsel di tangan. Dirga? Terpaku bagai patung. Menyentuh bibir yang kini lipstiknya belepotan."Aih, Dara!" Pekiknya begitu tersadar. Berlari keluar mencari Dara.Dan lihatlah, Dara tengah tertawa-tawa duduk di sofa, tentunya menatapi layar ponselnya. Aish! Sudahlah. Mungkin juga sudah dia uopload.Menyusul Dara dan menghempaskan bobot tubuhnya di s
Dirga terbahak saat Dara kembali ke kamar. Dia bergegas melihat wajahnya di cermin. Lalu menatap Dirga kesal, tapi yang di pelototinya santai saja menghapus make up plontengannya dengan miceller water. Sebelah tangannya mengangkat dua jari ke atas."Satu sama sayang..."Dara mendengkus. Mengambil kapas dan menuang cairan penghapus lipstik mengusap ke bibirnya dan juga bagian dekat bibirnya yang belepotan lipstik.******Dirga sudah menduga, akan terjadi seperti ini. Ya, gara-gara poto yang diposting Dara kemarin, hari ini dia menjadi bahan gosip karyawannya. Meski mereka tak menunjukkan raut ketawa mereka, tapi dia tahu, pasti para karyawan menertawakan dirinya. Huft, dasar ibu hamil. Tak pernah upload poto berdua, sekalinya upload bikin geger.Pun Linda, dia juga terlihat sekali menahan senyumnya. Dirga sampai kesal sendiri. Hingga setelah Linda keluar, Dirga menguatkan diri memeriksa akun instagram Dara. Dann...Yah, dia langsung kena se
Berdiri di hadapannya kini, lapas khusus untuk wanita. Para polisi berseragam hilir mudik memasuki area lapas. Ada juga masyarakat biasa, yang mungkin sama seperti dirinya. Mengunjungi kerabat atau teman yang kebetulan ada disini juga.Sebuah tangan menjangkau jemarinya. Tanpa menoleh pun Dara tahu tangan ini milik siapa. Jemari lentik nan panjang dengan telapak lebar milik Dirga."Mau disini saja atau masuk?" Dara sedikit mendongak, lalu mengangguk. Keduanya melangkah bersama menuju gedung depan.******Terkejut dan tak menyangka. Itulah yang sempat dirasakan Dita. Bahkan dia sampai menangis melihat keberadaan Dara disini. Tapi kini tangisnya perlahan mereda. Dara sedari tadi hanya melihatnya. Tanpa sepatah katapun terucap.Sedang Dara menatap miris gadis di depannya. Gadis atau wanita? Entahlah. Keadaan Dita banyak berubah. Tak serapi dan terurus seperti dulu. Rambutnya pun hanya dia cempol asal. Miris sekali keadaannya. Kantong matanya terlihat jelas. Kul
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik