Pernikahan sederhana telah di gelar. Tanpa undangan terhadap teman-temannya atau yang lain. Hanya beberapa keluarga yang menghadiri.
Kini pasangan muda itu berada di kamar yang sama."Mandi sana kak. Ntar gantian."Lily mendengus kesal. Lihatlah, bahkan anak itu tidak punya sopan santun. Bersandar di ranjang pengantin mereka dengan santainya mabar.Sebenarnya jika dilihat dengan seksama, Doni ini cukup tampan. Wajahnya bersih dan rapi. Hidung mancung yang terpahat indah di atas bibir tebalnya yang kenapa terlihat seksi. Doni juga tinggi. Jadi melihatnya selintas, tak akan ada menyangka jika anak itu masih kelas dua STM.Lily mengambil pakaian gantinya dari dalam lemari. Dan meletakkan diatas meja.Ia bermaksud membuka resleting gaunnya. Namun apalah, tangannya tak sampai.Ia melirik Doni yang sedang serius mabar. Ya kali dia meminta bantuan pada bocah mesum itu. Bisa-bisa habis dia malam ini. Tapi kalau tidak juga, bagaimana ia mandi."Kenapa kak?""Tidak apa-apa," jawabnya jutek. Doni tersenyum kecil. Turun dari ranjang dan menghampiri Lily."Kalau kesulitan, minta tolong. Jangan dipaksa," ujarnya sembari menarik resleting gaunnya. Tubuh Lily menegang. Bulu kuduknya meremang. Dapat ia rasakan hembusan napas Doni menerpa tengkuknya."Sudah."Lily langsung bergegas mengambil bajunya dan bergegas ke kamar mandi. Menutup pintunya dengan keras."Dasar cewek. Gue juga mesum milih-milih kali," gumam Doni."Tapi, gue pikir-pikir, kak Lily cantik juga," ujarnya sembari tersenyum.Ia kembali ke ranjang dan melanjutkan mabarnya. Tapi pikirannya teralih, bohong jika dia tadi tidak tertarik dengan punggung mulus Lily. Dia tadi bahkan sempat menelan salivanya kasar. Bagaimana bisa ia bertahan satu rumah dengan Lily untuk kelanjutannya."Sial! Kenapa gue tiba-tiba mikirin itu sih!"Ia lempar ponselnya dan mengusap wajahnya kasar.----Lily selesai mandi dan mendapati Doni yang tertidur pulas. Ia hanya mendecak. Bisa-bisanya dia tertidur padahal belum mandi.Lily menghampiri Doni dan bermaksud membangunkannya, tapi ia urung. Melihat wajah Doni yang kelihatan sekali lelahnya.Akhirnya dia membiarkan pemuda itu larut dalam mimpinya. Lalu dia sendiri menggelar kasur lantai dan berbaring di bawah.----Esok harinya, Doni bangun lebih dulu. Dia terkesip dengan seberkas sinar matahari yang menerobos lewat jendela kamar. Asing, itu kata yang pertama kali muncul. Mana serba pink lagi. Girly sekali. Tempelan bulan bintang memenuhi tembok kamar. Juga wallpaper kupu-kupu dan bunga di sudut lain.Doni menguap dan bangun dari rebahannya. Netranya menangkap sosok yang terbaring pulas di atas kasur lantai. Oh ya, baru sadar kalau ternyata dia sudah menikah sekarang."Ck. Kenapa gak bangunin gue aja sih. Gini kan kesannya gue yang jahat," gerutunya.Dia beranjak menghampiri Lily, bukan untuk membangunkannya, melainkan memindahkannya di kasur."Kecil-kecil gini ternyata berat juga yah," gumamnya.Lalu dia mengambil handuknya dan bergegas mandi.Lily menggeliat, menguap lebar. Kaget saat menyadari dirinya sudah pindah di kasur. Dia bergegas memeriksa pakaiannya. Masih sempurna menempel di badannya. Ia meraih cermin di nakasnya, melihat leher atau bagian lainnya. Aman. Untung pemuda itu tak mengganggunya.Lily menghela napas lega."Cklek!"Lily reflek menoleh. Mendapati Doni yang hanya keluar mengenakan handuknya. Rambutnya basah habis keramas. Aroma sabun menguar di penciumannya. Lily menelan salivanya susah. Bagaimana bisa badan anak yang masih SMA sebagus itu. Apakah Doni rajin nge-gym? Tubuhnya bagus."Buruan mandi, ada jam juga kan?" ujar Doni."Emang lo mau berangkat sekolah?" Tanyanya heran."Ya iyalah, ngapain juga gue mandi pagi-pagi kalau gak sekolah,"Lily melirik jam mungilnya. Sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit."Percuma. Bakal telat juga.""Gak masalah. Emang biasanya juga gue berangkat telat," tukasnya santai tanpa beban. Lily mendengkus. Sepertinya dia salah mencari lawan bicara."Mau kuliah atau diam aja?" tukas Doni lagi.Lily membuang selimutnya kasar. Kalau saja tak ingat ada jam pak Rendra, ogah banget dia kuliah. Mana jarak rumah dan kampus hampir dua jaman.Doni hanya menggelengkan kepala melihat tingkah bar-bar istrinya."Ck. Mimpi apa gue dapat istri kayak dia," ujarnya sembari mengambil seragamnya.-----Untung saja kemarin Doni membawa motornya sendiri. Alias dia datang di pernikahannya dengan membawa motor gedenya. Ya niatnya kan biar gak ada yang curiga dengan kepergiannya. Meski tentu saja orang-orang di rumah Lily melongo melihat tingkah calon pengantin. Untung ganteng.Doni mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Di belakang Lily memejamkan mata dengan berpegangan bagian belakang motor Doni. Dia menolak untuk berpegangan pinggang Doni. Malu dong.Ia hanya bisa berharap semoga tuhan belum berkenan mengambilnya. Dosanya masih banyak. Dia belum punya suami untuk kedua kalinya, eh maksudnya suami yang dia cintai. Masih pengen punya anak, terus cucu, terus pokoknya belum pengen mati.Di depan Doni menyeringai, puas mengerjai gadis di belakangnya. Siapa suruh mengabaikan peringatannya.Sampai di gerbang kampus, Doni menghentikan laju motornya. Lily menarik napas lega. Membuka helm, rambutnya berantakan kena angin. Lalu menyerahkan helm kasar pada Doni."Nanti jam berapa keluar?""Ntar aja, gue hubungi," ujar Lily datar dan langsung bergegas masuk.Doni memandangi Lily dari belakang, tersenyum tipis dan kemudian menghidupkan motornya. Melaju entah kemana.---"Itu tadi siapa Ly? Adek lo?" ujar Bila dengan wajah kagumnya. Dia tadi melihat Lily diantar Doni. Seketika terpana dengan ketampanan cowok itu. Sayang, seragamnya masih putih abu-abu."Bukan. Dia suami gue,""What! Suami? Yang bener?" Mata Nabila membulat tak percaya. Mana mungkin, Lily yang terkenal ogah-ogahan dengan cowok itu tiba-tiba nikah? Sama berondong ganteng lagi."Iya, gara-gara kemarin tuh. Kalian ngajakin gue ke club. Tiba-tiba aja gue gak inget apa-apa. Eh, besoknya gue tidur sama tuh bocil.""Tidur? Maksud lo, lo udah.. emmm," Bila menyatukan kedua tangannya.Lily menoyor kepala Bila."Enak aja. Kagaklah. Kita cuma tidur doang.""Jangan-jangan dia yang ngeracun minuman lo. Soalnya lo waktu itu habis minum langsung pamit pulang. Kata lo pusing. Mau diantar gak mau. Ya udah deh. Orang kamunya nolak."Lily terdiam. Kok dia gak ingat sama sekali ya? Doni bilang dia kebetulan sedang di club dan meilhat dirinya ditarik oleh seorang pria.Bahkan Doni menunjukkan bekas lebam di pelipisnya yang memang tidak terlalu kentara sih. Cuma herannya kenapa dia mengaku pada orang tuanya kalau dia sengaja menjebak dirinya? Entahlah."Gimana? Lo setuju kan?"Lily terdiam. Mereka tetap melangkah menuju kelas."Entahlah. kayaknya gak deh. Gue rasa dia jujur. Tapi memang ada yang di sembunyiin. Udahlah Bil. Jangan bahas. Gue lagi pusing.""Oke deh. Lagian dia ganteng. Tinggi lagi. Kalo aja dia pakai baju kasual, gak bakal ada yang ngira dia masih SMA.""Udah. Jangan bahas."Bila malah terus menggodanya, membuat Lily kesal."Awas aja lo ngasih tahu yang lain. Bogem melayang," ancamnya."Ih, sadis." Bila bergidik tapi tertawa."Bodoh amat."Bila tertawa dan terus-terusan menggoda Lily.Disinilah mereka sekarang. Sebuah apartemen pemberian papa Doni. Tentunya untuk di huni oleh mereka berdua. Jaraknya tak terlalu jauh dari kampus Lily juga sekolahan Doni. Sebenarnya Doni juga di pegangi mobil oleh papanya, tapi dia malah menolak. Dirinya lebih menyukai menaiki motor. Maklum anak muda, baginya apa sih serunya naik mobil mau gas-gasan juga tidak ada serunya sama sekali. Mending motor, dapet kerennya iya, modusnya iya. Biar cewek yang digonceng bisa meluk gitu. Akhirnya dengan beribu alasan yang mengada-ada, papanya mengizinkan Doni untuk membawa motornya saja. Tentunya mobil itu masih untuknya, dan dia bisa mengambilnya sewaktu-waktu.Berhubung mereka baru pindah, Doni membawa barang-barang mereka dengan mobil barunya. Apartemen mereka berada di lantai sepuluh. Lumayanlah, tak terlalu tinggi. Lagian ada lift yang memudahkan.Keringat membasahi dahi Lily, meski memakai lift, tetap saja barang yang di bawanya berat, koper berisi baju-bajunya juga kardus beris
Keasyikan mabar memang melupakan segalanya. Doni, si berandal itu juga sama saja. Dia kalau sudah mabar, lupa waktu, lupa keadaan dan yang pasti sekarang lupa status kalau udah punya istri.Detak jam mengisi kekosongan apartemen. Tak ada ocehan, omelan, atau kebawelan Lily yang biasanya mampir di telinga Doni.Seakan tersadar, Doni menghentikan mabarnya. Melihat jam di gawainya yang sudah menunjukkan angka empat dan dua puluh. Sudah sore ternyata.Tapi tak ada suara Lily sedari tadi.Doni mengernyitkan dahi. Dia beranjak dari berbaringnya dan mencari Lily. Kan gak lucu kalau istrinya yang lebih tua itu hilang di hari pertama mereka pindahan.Dengan mulut menguap dan mata pedas karena mantengin ponsel mulu, dia keluar dari kamar yang langsung berhadapan dengan ruang tengah. Netranya menangkap sosok yang meringkuk di sofa ruang tengah."Ckck. Tidur disini ternyata," gumamnya lalu menghampiri Lily.Bukan untuk membangunkan. Doni malah dudu
"Makanya, kalau di chat itu dibuka. Kan gue udah bilangin dari tadi. Ada pangeran di belakang lo. Eh lo nya ngeyel," ceramah Nabila."Ya sory, lagian kan emang pelajaran pak Suwinto gak bisa berkutik, beb. Kagak berani lah gue lihat ponsel gue."Ya, Lily sedang berteleponan dengan Nabila. Terang saja kejadian tadi membuatnya malu setengah mati."Itu si berondong yang tadi pagi kan? Suami lo?""Iye lah. Sapa lagi. Ya kali gue bawa cowok sembarangan di kamar.""Bwahaha. Kali aja lo khilaf gitu. Btw, dia tadi imut banget tahu. Mana polos gitu mukanya, gumush, pengen nguyel-nguyel. Sumpah, gue pengen ngakak, tapi takut dosa.""Sialan lu. Temen lagi sial malah di ketawain."Nabila makin tertawa di seberang sana."Eh, tapi kayaknya itu bukan kosan lo kan? Apa jangan-jangan lo sekarang di rumah Doni?""Gak. Ini apartemen.""Wah gile. Mainnya apartemen cuy. Emang dia tajir banget ya?"Lily mengangguk. Meski Bila gak bakal lihat ju
Sampai apartemen pun Doni masih diam. Tak ada kata sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Dia langsung menuju kamar mereka dan merebahkan badannya. Menarik selimut tebalnya juga tak lupa memeluk bantal guling kesayangannya. Memutar tubuh membelakangi Lily."Apa dia marah? Kok diam mulu sih. Kan guenya yang jadi gak enak," batin Lily. Dia melepas jaketnya sembari melirik Doni. Menyantolkan jaket tersebut ke hanger. Meninggalkan aroma parfum mereka yang bercampur di jaket Doni.Lily lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Selesai, dia kembali lagi untuk mengambil baju tidurnya dan ganti di kamar mandi.Dia berdiri di sisi ranjang. Canggung juga rasanya. Baru pertama kali ini dia tidur satu ranjang dengan pria. Ya meski pada kenyataannya cowok yang sedang meringkuk itu adalah suaminya. Suami berondongnya.Ragu-ragu, akhirnya Lily merebahkan badannya di samping Doni. Cowok itu tak ada pergerakan sedikitpun. Dia lelap dalam mimpinya.Posisi mereka sekar
Setelah beres-beres, mandi dan segala macam, mengecek Doni yang sedang tidur, Lily menghamparkan kasur lantai yang berbulu halus di lantai kamar mereka. Bukan untuk tidur loh ya. Dia membawa laptop dan kertas-kertas serta pena dan buku. Tengkurap, dengan bersanding cemilan.Tidak kuliah bukan berarti berleha-leha. Sudah di katakan bukan kalau Lily itu mahasiswi rajin. Makanya aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan berondong, berandal lagi. Sangat berbalik dengannya.Dia kembali berkutat dengan tugas-tugas kampusnya yang bejibun. Beda dengan yang dikatakan orang-orang. Katanya semesternya itu masih sedengan dan masih buat main-main. Menurutnya gak juga. Tetap saja tugas menanti bagai tak tahu diri.Saat sedang sibuk berkutat dengan tugasnya, tiba-tiba dirasanya punggungnya berat. Lily menoleh."Eh, Don. Kok pindah di bawah sih," ucapnya, melihat Donilah pelaku penyandar kepala di punggungnya. Wajah cowok itu masih pucat, menoleh ke arahnya dengan tatap
Selesai mandi, Doni memilih pakaian yang akan dipakainya. Kaos hitam lengan pendek, jeans yang bolong dengkulnya, dan memakai jaket, sebagai luaran. Meminyaki rambutnya dan menyisirnya, meski pada ujung-ujungnya, dia acak-acak lagi.Dia menoleh ke arah Lily yang masih terlelap."Kebo juga ternyata," gumamnya.Doni menghampiri Lily. Menggoyang-goyangkan lengannya."Kak, bangun woy.""Ashdjdjdkkk....""Yaelah. Malah ngelindur. Kak, bangun. Kuliah."Lily bergeming. Dia malah mengeratkan selimutnya. Doni mendecak pelan."Ya ampun. Gini amat sih bangunin istri."Dia memandang lekat ke wajah Lily. Entah dorongan darimana, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Lily, memejamkan matanya, dan...Chup.Cukup lama, hingga Lily bergerak risih. Doni segera menjauhkan wajahnya."Astaga! Gue ngapain," rutuknya. Doni memukuli kepalanya, bisa-bisanya dia kebablasan. Untung saja gadis itu tak sadar."Untung aja kak Lily gak kebangun. Bisa habis gue. Ckck.
Lily masih kesal. Sedari tadi sobat yang satunya itu merengek mulu. Apalagi kalau bukan karena minta dikenalkan dengan Doni. Meski dia gak suka sama Doni, tapi gak ikhlas dong kalau berondongnya digodain cewek lain.Matanya melirik julid, dengan tangan bersidekap mengawasi cowok di sebelah sana yang lagi ketawa-tawa dengan wajah sok tampannya. Dan sialnya ngapain sih Doni ngelayani pembicaraan Vinna. Huh, gak banget."Cie, cemburu," bisik Bila, meledek."Ck. Apaan sih. Gak lah.""La itu, bibirnya sampek maju gitu. Haha, Lily cemburu tuyulnya digodain.""Diem gak, Bil," ucapnya melotot."Bunga-bunga cemburu bermekaran..." Bila memeletkan lidahnya."Gue tabok mulut lo, mau?""Iih, ngeri. Haha," tetap saja yang namanya Bila mana mau diam saja."Sana geh, samperin. Seret aja bawa pulang," ujar Bila memanasi.Dia melirik kesal. Saking asyiknya Doni melayani obrolan Vinna dan beberapa mahasiswi lain yang dia gak tahu namanya sa
Lily di dapur, dia bikin mie. Debat sama Doni membuat badmood, ditambah perutnya lapar. Dia taburkan bubuk cabe diatas mie siap sajinya, padahal sebelumnya juga sudah dia tambahi potongan cabe.Santai saja dia melahap mie buatannya sambil menscrool scrool layar IG. Perlu diketahui ya, Lily ini bucin sama oppa-oppa negeri seberang. So, makanya dia gak gampang jatuh cinta. La wong standarnya aja ketinggian. Baru pas di kampus, dia ketemu Mukhtar, klepek-klepek lah dia. Katanya Mukhtar itu mirip J-hope, tapi versi jeniusnya RM. Ngaco memang.Padahal mirip aja gak. Ya, namanya udah kagum, apapun terlihat baik di matanya. Beda sama Doni, mau cowok itu seganteng pun, incaran cewek-cewek juga, dia gak peduli.Saat sedang asyik menscrol-scrol layar, eh, ponselnya berdering."Ck. Apaan sih, ganggu aja," tukasnya. Dia menekan tombol hijau. Dan langsung disambut lengkingan suara, siapa lagi kalau bukan Bila.("Woy, kampret. Lo tahu gak?")"Apaan sih, Bil. Gu
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik