Disinilah mereka sekarang. Sebuah apartemen pemberian papa Doni. Tentunya untuk di huni oleh mereka berdua. Jaraknya tak terlalu jauh dari kampus Lily juga sekolahan Doni. Sebenarnya Doni juga di pegangi mobil oleh papanya, tapi dia malah menolak. Dirinya lebih menyukai menaiki motor. Maklum anak muda, baginya apa sih serunya naik mobil mau gas-gasan juga tidak ada serunya sama sekali. Mending motor, dapet kerennya iya, modusnya iya. Biar cewek yang digonceng bisa meluk gitu. Akhirnya dengan beribu alasan yang mengada-ada, papanya mengizinkan Doni untuk membawa motornya saja. Tentunya mobil itu masih untuknya, dan dia bisa mengambilnya sewaktu-waktu.
Berhubung mereka baru pindah, Doni membawa barang-barang mereka dengan mobil barunya. Apartemen mereka berada di lantai sepuluh. Lumayanlah, tak terlalu tinggi. Lagian ada lift yang memudahkan.Keringat membasahi dahi Lily, meski memakai lift, tetap saja barang yang di bawanya berat, koper berisi baju-bajunya juga kardus berisi buku-buku kuliahnya. Doni meliriknya dan tertawa dalam hati. Dia santai saja hanya membawa koper kecil. Tak ada niatan untuk membantu Lily. Memang, benar-benar berondong nyebelin. Andai sekarang mereka di ujung sebuang gedung, ingin rasanya mendorongnya saat ini juga.Tiba di depan kamar mereka, Doni memencet password pintu. Pintu terbuka, dan terlihatlah ruangan yang luas dan bersih. "Masuk dulu. Ilang kamu ntar," ujar Doni, menyuruh Lily.Lily mendecak, tidak sopan sekali suami berondongnya ini. Dia menyeret kopernya masuk ke dalam.Lily mengagumi interior apartemen baru mereka. Maklumlah, baru kali ini dia merasakan punya apartemen sendiri. Biasanya cuma kamar kosan sepetak. Itupun sempit sekali. Sudah begitu, dipenuhi dengan lemari dan meja belajarnya. Sungguh berbanding terbalik dengan apartemen Doni ini.Ada tiga sofa empuk di ruang tamu. Juga lemari besar berwarna hitam mengkilat sebagai pembatas ke ruang tengah. Lily meletakkan barang bawannya di ruang tengah dan berkeliling melihat-lihat ruangan dalam apartemen. Doni sih gak peduli. Karena dia juga sebelumnya memang tinggal disini, hanya saja diam-diam dia kabur dan mengontrak rumah bersama temannya.Dia menuju kamar dengan membawa barang-barangnya yang tak seberapa itu. Barang yang pernah dia bawa ke kontrakan, akhirnya di bawa pulang lagi. Huft.Lily menyusul kemudian. Mulutnya mengoceh memberi laporan."Dapurnya bersih. Tapi kok kulkasnya ada isinya ya? Apa sebelumnya ada yang tinggal disini?" Ujarnya."Ya, gue dulu yang nempatin.""Eh? Beneran? Jadi ini apart lo?"Doni mengangguk lagi. Tangannya dengan sigap menata bajunya ke dalam lemari."Pantas saja. Auranya gelap. Masak warnanya cuma hitam putih sih. Gak seru banget," protesnya. Menurutnya apartemen ini terlalu gelap. Yah, mungkin karena penghuninya cowok. Lily bertekad akan merubahnya sesuai dengan seleranya. Lihat saja nanti."Jangan di ganti. Awas aja gue pulang-pulang kamarnya jadi pink."Lily menjebikkan bibirnya tak peduli, tahu aja sih cowok itu tentang apa yang dia pikirin tadi. Lily menghampiri ranjang king size yang empuk, rasanya pantatnya serasa dimanjakan. Dia duduk di pinggiran ranjang."Capek gue. Pengen rebahan aja. Btw kamar gue yang mana ya?" tanyanya, menoleh ke Doni."Ya disinilah.""What! Serius lo? Terus elo?""Ya disini juga lah. Emang kemana lagi. Orang kamarnya cuma ini," jawabnya santai."Eh, ya gak bisalah. Masak kita harus tidur bareng sih," tolak Lily gak terima. Dia menatap nanar ranjang satu-satunya di kamar ini. Bagaimana bisa dia tidur dengan bocah mesum ini. Bisa gila dia.Doni menutup pintu lemarinya dan beranjak mendekati Lily. Lily grogi dong. Apalagi Doni berada sangat dekat dengannya. Tangan cowok itu terulur di belakang Lily."Kan ada ini kak. Tenang aja. Gue gak bakal ngapa-ngapain," ujarnya sembari mengacungkan bantal guling."Tapi ini buat gue ya. Gue gak bisa tidur kalau gak memeluk sesuatu," tambahnya lagi.Lily harus mengerjapkan mata berapa kali dong. Menatap Doni yang entah kenapa terlihat polos dengan ucapannya barusan. Cowok seaneh itu dan sok keren itu gak bisa tidur tanpa bantal guling? Gak bisa di percaya."Kenapa sih kak. Mandangin gue gitu amat. Ntar cinta baru tahu rasa."Barulah Lily kembali mendengus. Dia sadar, berhadapan dengan siapa. Berondong berandal mesum STM."Ck. Serah deh. Awas aja kalau macam-macam," ancamnya yang justru membuat Doni terkekeh. Lucu saja melihat Lily yang ketakutan akan dirinya. Padahal nakalnya juga baru sebatas kissing. Belum pernah kelewat batas. Dia juga mikir kali, belum saat bagi dirinya untuk menghamili anak orang. Terlalu beresiko.Tapi melihat Lily bereaksi demikian kenapa malah membuatnya penasaran pada cewek yang terpaut tiga tahun darinya itu."Udah ah. Bantuin gue beres-beres," ujarnya sembari menyeret kopernya."Lah, emang tadi siapa yang malah cuma nontonin pas gue beberes?" desah Doni.Baiklah, daripada bikin cewek ngambek, malah panjang urusannya ntar. Doni akhirnya beranjak juga, ikut memberesi walaupun cuma nyapu lantai.Hari ini mereka habiskan dengan beres-beres apartemen.---"Ingat, kalau ditanya sama teman-teman gue, bilang aja adik sepupu. Awas aja kalau sampai bilang lo suami gue."Doni mengangkat bahunya tak peduli.Dia malah asyik dengan game di ponselnya. Mereka selesai beres-beres sepuluh menit yang lalu, dan Doni langsung rebahan memainkan gawainya. Mabar dong, apalagi. Capek ngomong panjang lebar malah diabaikan, membuat Lily mendengus. Percuma.Dia beranjak ke dapur, haus juga rasanya setelah mengomel.Lily menenggak segelas air dingin. Tenggorokannya yang kering kini basah. Tapi tidak dengan kepalanya. Jika begini sama aja dia ngemong dong. Padahal dia kan pengennya dapat suami yang ngemong. Semacam Mukhtar itulah, sang ketua BEM yang super ganteng dan baik tentunya. Pernah dia berpapasan dengan Mukhtar, Lily membeku karena di sapa cowok ganteng itu."Ish! Kenapa malah dapatnya berondong gak ada akhlak sih. Nasib gue buruk amat," keluhnya.Dia bergegas kembali ke kamar. Tapi demi melihat Doni yang pewe dengan rebahannya, terpaksa Lily mencari tempat lain. Padahal dia sudah sangat mengantuk. Tapi gak mungkinlah berbagi ranjang dengan cowok itu siang-siang begini. Kalau malam kan beda lagi ceritanya. Itu karena terpaksa. Sekali lagi, hanya keterpaksaan belaka.Akhirnya Lily tidur di sofa ruang tengah, meringkukkan badan mungilnya.Keasyikan mabar memang melupakan segalanya. Doni, si berandal itu juga sama saja. Dia kalau sudah mabar, lupa waktu, lupa keadaan dan yang pasti sekarang lupa status kalau udah punya istri.Detak jam mengisi kekosongan apartemen. Tak ada ocehan, omelan, atau kebawelan Lily yang biasanya mampir di telinga Doni.Seakan tersadar, Doni menghentikan mabarnya. Melihat jam di gawainya yang sudah menunjukkan angka empat dan dua puluh. Sudah sore ternyata.Tapi tak ada suara Lily sedari tadi.Doni mengernyitkan dahi. Dia beranjak dari berbaringnya dan mencari Lily. Kan gak lucu kalau istrinya yang lebih tua itu hilang di hari pertama mereka pindahan.Dengan mulut menguap dan mata pedas karena mantengin ponsel mulu, dia keluar dari kamar yang langsung berhadapan dengan ruang tengah. Netranya menangkap sosok yang meringkuk di sofa ruang tengah."Ckck. Tidur disini ternyata," gumamnya lalu menghampiri Lily.Bukan untuk membangunkan. Doni malah dudu
"Makanya, kalau di chat itu dibuka. Kan gue udah bilangin dari tadi. Ada pangeran di belakang lo. Eh lo nya ngeyel," ceramah Nabila."Ya sory, lagian kan emang pelajaran pak Suwinto gak bisa berkutik, beb. Kagak berani lah gue lihat ponsel gue."Ya, Lily sedang berteleponan dengan Nabila. Terang saja kejadian tadi membuatnya malu setengah mati."Itu si berondong yang tadi pagi kan? Suami lo?""Iye lah. Sapa lagi. Ya kali gue bawa cowok sembarangan di kamar.""Bwahaha. Kali aja lo khilaf gitu. Btw, dia tadi imut banget tahu. Mana polos gitu mukanya, gumush, pengen nguyel-nguyel. Sumpah, gue pengen ngakak, tapi takut dosa.""Sialan lu. Temen lagi sial malah di ketawain."Nabila makin tertawa di seberang sana."Eh, tapi kayaknya itu bukan kosan lo kan? Apa jangan-jangan lo sekarang di rumah Doni?""Gak. Ini apartemen.""Wah gile. Mainnya apartemen cuy. Emang dia tajir banget ya?"Lily mengangguk. Meski Bila gak bakal lihat ju
Sampai apartemen pun Doni masih diam. Tak ada kata sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Dia langsung menuju kamar mereka dan merebahkan badannya. Menarik selimut tebalnya juga tak lupa memeluk bantal guling kesayangannya. Memutar tubuh membelakangi Lily."Apa dia marah? Kok diam mulu sih. Kan guenya yang jadi gak enak," batin Lily. Dia melepas jaketnya sembari melirik Doni. Menyantolkan jaket tersebut ke hanger. Meninggalkan aroma parfum mereka yang bercampur di jaket Doni.Lily lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Selesai, dia kembali lagi untuk mengambil baju tidurnya dan ganti di kamar mandi.Dia berdiri di sisi ranjang. Canggung juga rasanya. Baru pertama kali ini dia tidur satu ranjang dengan pria. Ya meski pada kenyataannya cowok yang sedang meringkuk itu adalah suaminya. Suami berondongnya.Ragu-ragu, akhirnya Lily merebahkan badannya di samping Doni. Cowok itu tak ada pergerakan sedikitpun. Dia lelap dalam mimpinya.Posisi mereka sekar
Setelah beres-beres, mandi dan segala macam, mengecek Doni yang sedang tidur, Lily menghamparkan kasur lantai yang berbulu halus di lantai kamar mereka. Bukan untuk tidur loh ya. Dia membawa laptop dan kertas-kertas serta pena dan buku. Tengkurap, dengan bersanding cemilan.Tidak kuliah bukan berarti berleha-leha. Sudah di katakan bukan kalau Lily itu mahasiswi rajin. Makanya aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan berondong, berandal lagi. Sangat berbalik dengannya.Dia kembali berkutat dengan tugas-tugas kampusnya yang bejibun. Beda dengan yang dikatakan orang-orang. Katanya semesternya itu masih sedengan dan masih buat main-main. Menurutnya gak juga. Tetap saja tugas menanti bagai tak tahu diri.Saat sedang sibuk berkutat dengan tugasnya, tiba-tiba dirasanya punggungnya berat. Lily menoleh."Eh, Don. Kok pindah di bawah sih," ucapnya, melihat Donilah pelaku penyandar kepala di punggungnya. Wajah cowok itu masih pucat, menoleh ke arahnya dengan tatap
Selesai mandi, Doni memilih pakaian yang akan dipakainya. Kaos hitam lengan pendek, jeans yang bolong dengkulnya, dan memakai jaket, sebagai luaran. Meminyaki rambutnya dan menyisirnya, meski pada ujung-ujungnya, dia acak-acak lagi.Dia menoleh ke arah Lily yang masih terlelap."Kebo juga ternyata," gumamnya.Doni menghampiri Lily. Menggoyang-goyangkan lengannya."Kak, bangun woy.""Ashdjdjdkkk....""Yaelah. Malah ngelindur. Kak, bangun. Kuliah."Lily bergeming. Dia malah mengeratkan selimutnya. Doni mendecak pelan."Ya ampun. Gini amat sih bangunin istri."Dia memandang lekat ke wajah Lily. Entah dorongan darimana, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Lily, memejamkan matanya, dan...Chup.Cukup lama, hingga Lily bergerak risih. Doni segera menjauhkan wajahnya."Astaga! Gue ngapain," rutuknya. Doni memukuli kepalanya, bisa-bisanya dia kebablasan. Untung saja gadis itu tak sadar."Untung aja kak Lily gak kebangun. Bisa habis gue. Ckck.
Lily masih kesal. Sedari tadi sobat yang satunya itu merengek mulu. Apalagi kalau bukan karena minta dikenalkan dengan Doni. Meski dia gak suka sama Doni, tapi gak ikhlas dong kalau berondongnya digodain cewek lain.Matanya melirik julid, dengan tangan bersidekap mengawasi cowok di sebelah sana yang lagi ketawa-tawa dengan wajah sok tampannya. Dan sialnya ngapain sih Doni ngelayani pembicaraan Vinna. Huh, gak banget."Cie, cemburu," bisik Bila, meledek."Ck. Apaan sih. Gak lah.""La itu, bibirnya sampek maju gitu. Haha, Lily cemburu tuyulnya digodain.""Diem gak, Bil," ucapnya melotot."Bunga-bunga cemburu bermekaran..." Bila memeletkan lidahnya."Gue tabok mulut lo, mau?""Iih, ngeri. Haha," tetap saja yang namanya Bila mana mau diam saja."Sana geh, samperin. Seret aja bawa pulang," ujar Bila memanasi.Dia melirik kesal. Saking asyiknya Doni melayani obrolan Vinna dan beberapa mahasiswi lain yang dia gak tahu namanya sa
Lily di dapur, dia bikin mie. Debat sama Doni membuat badmood, ditambah perutnya lapar. Dia taburkan bubuk cabe diatas mie siap sajinya, padahal sebelumnya juga sudah dia tambahi potongan cabe.Santai saja dia melahap mie buatannya sambil menscrool scrool layar IG. Perlu diketahui ya, Lily ini bucin sama oppa-oppa negeri seberang. So, makanya dia gak gampang jatuh cinta. La wong standarnya aja ketinggian. Baru pas di kampus, dia ketemu Mukhtar, klepek-klepek lah dia. Katanya Mukhtar itu mirip J-hope, tapi versi jeniusnya RM. Ngaco memang.Padahal mirip aja gak. Ya, namanya udah kagum, apapun terlihat baik di matanya. Beda sama Doni, mau cowok itu seganteng pun, incaran cewek-cewek juga, dia gak peduli.Saat sedang asyik menscrol-scrol layar, eh, ponselnya berdering."Ck. Apaan sih, ganggu aja," tukasnya. Dia menekan tombol hijau. Dan langsung disambut lengkingan suara, siapa lagi kalau bukan Bila.("Woy, kampret. Lo tahu gak?")"Apaan sih, Bil. Gu
"Pulang jam berapa ntar?"Lily turun dari boncengan, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan."Ntar gue chat aja. Yang penting stay sama ponsel lo.""Oke. Jangan ngeluyur. Kalau udah selesai langsung chat."Lily tak menjawab. Cowok itu melajukan motornya, meninggalkan Lily yang menghela napas pelan."Haii cantikku. Sini... sini..."Lily menoleh, mendapati Bila yang melambaikan tangan padanya. Dia tersenyum tipis, menghampiri Bila dan Vinna."Melihatnya pake seragam SMA, jadi sadar diri, dia masih berondong. Hiks," gumam Vinna, memegangi dadanya dengan ekpresi wajah sedramatis mungkin.Lily dan Bila saling pandang, menggendikkan bahu mereka."Yuk ah, ke kelas."Mereka bertiga berjalan beriringan ke kelas.-------Brum!Seperti biasa, kedatangan motor sport hitam merupakan hal yang diidam-idamkan para siswi. Siapa lagi pengendaranya kalau bukan Doni.Meski ini sekolah STM, tapi jangan salah, tepat di belakang