Lily masih kesal. Sedari tadi sobat yang satunya itu merengek mulu. Apalagi kalau bukan karena minta dikenalkan dengan Doni. Meski dia gak suka sama Doni, tapi gak ikhlas dong kalau berondongnya digodain cewek lain.
Matanya melirik julid, dengan tangan bersidekap mengawasi cowok di sebelah sana yang lagi ketawa-tawa dengan wajah sok tampannya. Dan sialnya ngapain sih Doni ngelayani pembicaraan Vinna. Huh, gak banget."Cie, cemburu," bisik Bila, meledek."Ck. Apaan sih. Gak lah.""La itu, bibirnya sampek maju gitu. Haha, Lily cemburu tuyulnya digodain.""Diem gak, Bil," ucapnya melotot."Bunga-bunga cemburu bermekaran..." Bila memeletkan lidahnya. "Gue tabok mulut lo, mau?""Iih, ngeri. Haha," tetap saja yang namanya Bila mana mau diam saja."Sana geh, samperin. Seret aja bawa pulang," ujar Bila memanasi.Dia melirik kesal. Saking asyiknya Doni melayani obrolan Vinna dan beberapa mahasiswi lain yang dia gak tahu namanya saLily di dapur, dia bikin mie. Debat sama Doni membuat badmood, ditambah perutnya lapar. Dia taburkan bubuk cabe diatas mie siap sajinya, padahal sebelumnya juga sudah dia tambahi potongan cabe.Santai saja dia melahap mie buatannya sambil menscrool scrool layar IG. Perlu diketahui ya, Lily ini bucin sama oppa-oppa negeri seberang. So, makanya dia gak gampang jatuh cinta. La wong standarnya aja ketinggian. Baru pas di kampus, dia ketemu Mukhtar, klepek-klepek lah dia. Katanya Mukhtar itu mirip J-hope, tapi versi jeniusnya RM. Ngaco memang.Padahal mirip aja gak. Ya, namanya udah kagum, apapun terlihat baik di matanya. Beda sama Doni, mau cowok itu seganteng pun, incaran cewek-cewek juga, dia gak peduli.Saat sedang asyik menscrol-scrol layar, eh, ponselnya berdering."Ck. Apaan sih, ganggu aja," tukasnya. Dia menekan tombol hijau. Dan langsung disambut lengkingan suara, siapa lagi kalau bukan Bila.("Woy, kampret. Lo tahu gak?")"Apaan sih, Bil. Gu
"Pulang jam berapa ntar?"Lily turun dari boncengan, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan."Ntar gue chat aja. Yang penting stay sama ponsel lo.""Oke. Jangan ngeluyur. Kalau udah selesai langsung chat."Lily tak menjawab. Cowok itu melajukan motornya, meninggalkan Lily yang menghela napas pelan."Haii cantikku. Sini... sini..."Lily menoleh, mendapati Bila yang melambaikan tangan padanya. Dia tersenyum tipis, menghampiri Bila dan Vinna."Melihatnya pake seragam SMA, jadi sadar diri, dia masih berondong. Hiks," gumam Vinna, memegangi dadanya dengan ekpresi wajah sedramatis mungkin.Lily dan Bila saling pandang, menggendikkan bahu mereka."Yuk ah, ke kelas."Mereka bertiga berjalan beriringan ke kelas.-------Brum!Seperti biasa, kedatangan motor sport hitam merupakan hal yang diidam-idamkan para siswi. Siapa lagi pengendaranya kalau bukan Doni.Meski ini sekolah STM, tapi jangan salah, tepat di belakang
"Berondong lo mana? Belum jemput?"Lily menoleh sekilas."Gak tahu nih. Ponselnya malah gak aktif," tukasnya dan mengecek ponselnya lagi."Ya udah deh. Gue tungguin sampek dia datang.""Gak papa, Bil. Pulang duluan gak papa. Paling bentar lagi dia juga nyampek kok," tukasnya."Gak ah. Gue juga lagi males pulang. Di rumah ada ponakan gue, rusuh lagi. Males-malesin,"gerutunya."Curhat mbak?""Dih, sialan lo. Tapi emang loh. Sebel banget gue sama anak kecil. Udah manja, cengeng, suka ngadu. Dia yang salah, yang dimarahin mama gue. Huh, nyebelin," rutuknya.Lily tersenyum tipis. Bila memang seperti ada dendam tersembunyi sama anak kecil. Mengkhawatirkan kalau punya anak nih. Padahal dia gak punya adek loh, anak terakhir, tapi entah kenapa benci banget sama anak kecil.Sebuah motor mendekat ke arah mereka."Lo, belum pulang?"Lily menoleh, sorot matanya berubah."Em... be-belum kak.""Nunggu jemputan apa giamana
"Astaga! Jam berapa bro?"Doni terperanjat dari tidurnya. Padahal cowok itu dari tadi molor. Bisa-bisanya langsung terjingkat."Jam setengah enam.""Hah? Ya ampun!"Doni mengambil jaketnya dan menghambur keluar. Mengendarai motornya tergesa.Sepanjang jalan dia merutuki diri karena bisa-bisanya kelupaan buat jemput Lily.Sampai di kampus, dia melongok ke sekitar. Tak ada Lily di tempat dia biasa nunggu."Aaish. Gimana sih lo, Don. Ilang gimana coba istri lo. Masak iya baru nikah udah jadi duda," decaknya. Dia merogoh sakunya. Dan sialnya ponselnya gak ada."Ck. Pakek ketinggalan di rumah Bram lagi. Sial!"Dia melihat ada pak satpam kampus yang sedang keliling."Woy, pak!"Pak satpam itu menoleh."Pak, lihat gadis tinggi segini, rambut panjang segini, terus....""Gak tahu," ucap satpam itu ketus. Dan berlalu meninggalkan Doni yang cengo."Asem. Gue di kacangin," kesalnya."Gue cari dimana lag
"Pagi kak," sapaan pagi yang menyenangkan. Lily membuka matanya perlahan. Tersenyum begitu mendapati wajah tampan tersaji di depannya. Raut mengantuknya terlihat sayup. Apalagi dengan barefacenya ini, membuat cowok lebih muda darinya ini makin menggemaskan."Hey, gimana sih, masak habis bangunin malah tidur lagi," tukas Lily."Ngantuk kak. Masih gelap juga tuh di luar.""Tapi kan kamu harus kerja sayang," ucap Lily lembut."Inget loh, udah punya anak. Jangan males-malesan," tambahnya.Dengan wajah terpaksa, suami berondongnya ini akhirnya beranjak juga.Chup."Eh," Lily memekik, memegangi dahinya."Morning kiss kakak. Ntar bagian kakak yang disini, abis mandi aja deh," ujarnya sembari menunjuk bibirnya. Dan tanpa menunggu jawaban Lily, yang justru memasang wajah cengonya, dia ngeloyor ke kamar mandi.Lily tersenyum tipis. Dia sendiri lalu beranjak bangun juga. Mencepol rambutnya ke atas supaya tak mengganggu rutinitasnya. Lalu
Pukul sepuluh pagi, mama dan papanya Doni datang. Karena ini kunjungan pertama setelah mereka menempati apart ini, rasanya Lily masih canggung. Apalagi memang proses pengenalan mereka tak lama. Iyalah, mereka aja nikah gara-gara insiden gak jelas itu. Heuh, kalau sampai ada dalang dibalik kejadian malam itu, Lily gak akan maafin."Loh, gak sekolah kamu Don" tukas Papa Rendra. Mengulurkan tangannya pada Doni. Karena tumben sekali anak itu menyalaminya."Lah pa. Sesekali lah ngelibur. Lagian masak mama sama papa mau datang aku malah sekolah sih," jawabnya."Biasanya juga bolos. Ya kan, Nak Ly?" toleh pak Rendra pada Lily. Lily tersenyum canggung."Kamu libur juga sayang?" Ucap mama Ayu pada Lily. Mereka melangkah menuju ruang tengah."Ini kan sabtu ma. Kak Lily libur lah," Doni yang menjawab.Kedua orang tua itu saling pandang. Terkekeh kecil."Manggilnya masih kakak adek gitu ya," sindir mereka.Lily dan Doni salah tingkah."Ah udah
Tangan bersidekap, tatapan mata tajam menahan amarah serta malu pastinya. Tapi justru yang jadi biang kerok santai-santai saja."Daripada cuma melotot gak jelas mending sini gih kak, bantu nyuci piring," ujar Doni. Dia membilas piring-piring itu di bawah pancuran kran air bersih."Eh, lupa. Kan tadi gue bilangnya kakak suruh mandi ya. Kok belum mandi sih," tambahnya.Lily kesal bukan main."Lo apain hape gue tadi,""Eh?" Doni menoleh. Memasang raut bingungnya."Gak ngapa-ngapain. Emang ponsel kakak kenapa? Rusakkah? Sini tak benerin.""Halah. Lo kan yang pasang status gaje itu? Dasar. Malu tahu!"Doni mengerutkan dahinya, bingung."Apa sih kak? Status apaan?"Padahal dalam hati dia nahan ketawa."Halah! Masih pura-pura gak tahu. Siapa yang majang poto lo di whatsap gue? Pake caption-caption gaje. Udah gitu poto-poto aib gue lo up juga kan? Heh, jadi lo suka nyolong poto gue pas tidur?" Murkanya.Doni malah
"Lily kan?"Lily tersenyum begitu tahu siapa yang memanggilnya."Iya kak," jawabnya.Mukhtar berjalan mendekatinya."Baru datang, atau dari tadi?" tanyanya basa basi."Emm, baru aja. Kak Mukhtar dari mana?" Terang saja, kalau Mukhtar baru datang juga pasti dia bawa motornya. Tapi pemuda ini jalan kaki."Dari sana tadi. Nunggu Nanda tapi lama banget."Lily manggut-manggut, semoga aja yang namanya Nanda itu cowok.Eh, apaan sih. Mulai deh ngadi-ngadi."Mau ke ruangan kan?""Iya kak.""Ya udah bareng aja. Lagian Nanda lama banget."Lily mengangguk. Mereka melangkah berdua, bahkan mengabaikan Doni yang sedari tadi menatap tak suka. Dia segera memasang helm nya lagi. Menancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos di depan keduanya. Tanpa melihat reaksi mereka dia berlalu pergi.Mukhtar memegangi dadanya, reflek mundur."Astaga!" Pekiknya. Wajah kagetnya terlihat jelas. Lily pun sama, tapi
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik