Pukul sepuluh pagi, mama dan papanya Doni datang. Karena ini kunjungan pertama setelah mereka menempati apart ini, rasanya Lily masih canggung. Apalagi memang proses pengenalan mereka tak lama. Iyalah, mereka aja nikah gara-gara insiden gak jelas itu. Heuh, kalau sampai ada dalang dibalik kejadian malam itu, Lily gak akan maafin.
"Loh, gak sekolah kamu Don" tukas Papa Rendra. Mengulurkan tangannya pada Doni. Karena tumben sekali anak itu menyalaminya."Lah pa. Sesekali lah ngelibur. Lagian masak mama sama papa mau datang aku malah sekolah sih," jawabnya."Biasanya juga bolos. Ya kan, Nak Ly?" toleh pak Rendra pada Lily. Lily tersenyum canggung."Kamu libur juga sayang?" Ucap mama Ayu pada Lily. Mereka melangkah menuju ruang tengah."Ini kan sabtu ma. Kak Lily libur lah," Doni yang menjawab.Kedua orang tua itu saling pandang. Terkekeh kecil."Manggilnya masih kakak adek gitu ya," sindir mereka. Lily dan Doni salah tingkah."Ah udahTangan bersidekap, tatapan mata tajam menahan amarah serta malu pastinya. Tapi justru yang jadi biang kerok santai-santai saja."Daripada cuma melotot gak jelas mending sini gih kak, bantu nyuci piring," ujar Doni. Dia membilas piring-piring itu di bawah pancuran kran air bersih."Eh, lupa. Kan tadi gue bilangnya kakak suruh mandi ya. Kok belum mandi sih," tambahnya.Lily kesal bukan main."Lo apain hape gue tadi,""Eh?" Doni menoleh. Memasang raut bingungnya."Gak ngapa-ngapain. Emang ponsel kakak kenapa? Rusakkah? Sini tak benerin.""Halah. Lo kan yang pasang status gaje itu? Dasar. Malu tahu!"Doni mengerutkan dahinya, bingung."Apa sih kak? Status apaan?"Padahal dalam hati dia nahan ketawa."Halah! Masih pura-pura gak tahu. Siapa yang majang poto lo di whatsap gue? Pake caption-caption gaje. Udah gitu poto-poto aib gue lo up juga kan? Heh, jadi lo suka nyolong poto gue pas tidur?" Murkanya.Doni malah
"Lily kan?"Lily tersenyum begitu tahu siapa yang memanggilnya."Iya kak," jawabnya.Mukhtar berjalan mendekatinya."Baru datang, atau dari tadi?" tanyanya basa basi."Emm, baru aja. Kak Mukhtar dari mana?" Terang saja, kalau Mukhtar baru datang juga pasti dia bawa motornya. Tapi pemuda ini jalan kaki."Dari sana tadi. Nunggu Nanda tapi lama banget."Lily manggut-manggut, semoga aja yang namanya Nanda itu cowok.Eh, apaan sih. Mulai deh ngadi-ngadi."Mau ke ruangan kan?""Iya kak.""Ya udah bareng aja. Lagian Nanda lama banget."Lily mengangguk. Mereka melangkah berdua, bahkan mengabaikan Doni yang sedari tadi menatap tak suka. Dia segera memasang helm nya lagi. Menancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos di depan keduanya. Tanpa melihat reaksi mereka dia berlalu pergi.Mukhtar memegangi dadanya, reflek mundur."Astaga!" Pekiknya. Wajah kagetnya terlihat jelas. Lily pun sama, tapi
Lily marah besar. Sampai di apartemen tanpa sepatah katapun dia langsung turun dari boncengan dan meninggalkan Doni begitu saja. Melihatnya Doni menghela napas kasar. Dia segera membuntuti Lily."Kak, maaf," ucapnya entah untuk yang keberapa kali. Namun tetap saja Lily mengabaikannya."Bruk!" Bunyi pintu yang dihempaskan kasar. Membuat langkah Doni terhenti tepat di depan pintu. Sekali lagi dia menghela napas. Menatap nanar pintu kamar mereka tersebut. Dia lalu berbalik, dan merebahkan tubuhnya di sofa. Mengacak kasar rambutnya yang sebenarnya sudah acak-acakan."Aish, sial. Si brengsek itu benar-benar..." keluhnya, memijit pelipisnya ringan.Melihat gadisnya bersama Mukhtar tadi, entah kenapa membuat hatinya panas. Memang benar, dia belum menyukai Lily, tapi selain perasaan dendam pada pemuda itu, ada rasa lain yang tak diketahuinya. Apalagi saat dilihatnya dengan mudahnya Lily mengumbar senyumnya untuk pemuda sialan itu."Argh! Brengsek!" pekiknya, m
"Ciee yang dah mulai buka-bukaan sama si berondong."Lily memutar bola matanya malas. Sudah dapat dipastikan, Bila bakal meledeknya habis-habisan. Dia berjalan mendahului Bila."Kekeke... dua bulan nikah udah ada perkembangan apa nih? Jangan-jangan udah bikin dedek bayi.""Pletak!"Bila mengaduh. Satu jitakan mendarat mulus di dahinya."Aww! Sakit dodol!" rutuknya sembari mengelus-elus jidat tersayangnya."Makanya, mulut dijaga kalau ngomong. Apa perlu gue jitak juga bibir lo?"Bila bergidik. Sangar juga sobat satunya ini."Ya kan gue cuma nanya kali. Lagian kemarin ngapain hayo... tumben-tumbenan loh upload poto si berondong. Mana captionnya kagak nahan lagi." Sepertinya Bila ini tipe yang gak gampang kapok. Lily tak menjawab. Meneruskan langkah yang sempat terhenti karena untuk menjitak Bila tadi."Itu dia sendiri yang up. Bukan gue," jelasnya akhirnya. Bila menjebikkan bibirnya, tak luput mengangkat kedua alisnya.
"Gue besok kuliah dimana ya kak?""Ya terserah kamu sih."Doni memanyunkan bibirnya. Bukan karena bingung, tapi karena kesal pertanyaannya tak mendapat respon yang berarti. Lihatlah, gadis itu masih saja terfokus pada laptop di depannya. Nugas lagi. Heuh.Ekor matanya melirik jam dinding, mendesah bosan."Keluar yuk kak.""Lo gak liat apa, gue lagi banyak tugas.""Kan bisa besok sih kak. Lagian gue tahu, itu pasti tugas buat minggu depan kan?"Bingo! Memang benar. Lily langsung mengerjakan tugas begitu diberi siangnya. Sehingga ketika hari h, dia tidak merasa gelagapan."Ayolah kak. Kita dah lama loh gak keluar malam.""Gue emang gak hobi Don. Kalau mau keluar, keluarlah sana."Tatapan Lily masih sama, ke laptop kesayangannya. Dengan jemari lentik yang menari lincah. Kesal diabaikan, Doni beranjak, menutup laptop Lily begitu aja. Membuat gadis itu memekik kesal."Hey! Aish... gue belum selesai dodol!""Cuma gue tu
Doni tergesa-gesa kembali ke tempatnya semula. Dua cup coklat hangat berada dalam tantingan tangan kanannya. Gara-gara dompetnya terjatuh jadi dia harus mencarinya dulu. Dan sampai di lapak hot chocolate, ternyata harus antri juga. Maklum lah, sudah malam begini, lebih banyak yang memilih memesan coklat panas daripada minuman lain. Akibatnya yah, dia kelamaan ninggalin Lily."Semoga aja kak Lily gak marah. Semoga gak ada cowok yang jahilin kak Lily," desisnya disela-sela larinya.Namun langkahnya terhenti saat dilihatnya gadisnya berada dalam pelukan seseorang yang amat sangat dikenalnya. Doni marah, tentu saja. Dia lemparkan hot chocolatenya begitu saja, berjalan tergesa menghampiri keduanya dengan emosi yang meluap."Pulang!"Sentaknya seraya menarik paksa Lily dari pemuda itu. Tatapannya tajam terarah ke pemuda yang balik menatapnya tanpa ekspresi, dan justru mengalihkan pandangan ke arah Lily."Jangan pernah mengganggu yang sudah jadi mil
"Sayang, nanti antar ke mall ya."Doni menghembuskan napas kasar. Gadis centil ini tak pantang menyerah mendekatinya. Padahal semingguan ini Doni menyuekinya. Dia hanya ingin fokus pada istrinya sekarang. Bukan bermain-main dengan cewek gak jelas seperti Arin ini."Gue capek, Rin. Lo aja temen lo aja gih," ujarnya malas."Iih, sayang. Kok gitu sih. Kan aku maunya sama kamu. Masak malah sama temenku. Kamu gimana sih," cemberutnya. Kalau dulu dia masih nakal, mungkin saat ini sudah dia layangkan kecupan di bibir gadis itu. Sayangnya kini justru hanya muak yang dirasa.Bram dan lain cekikikan melihat ekspresi ogah-ogahan Doni. Mereka yang cowok aja ngerasa risih melihat sikap Arin yang terlalu. Doni melirik mereka sebal."Lo balik gih ke kelas lo. Bentar lagi masuk," suruh Doni.Arin menggeleng manja."Gak mau. Bolos aja yuk," ucapnya dengan senyum berbinar."Gak bisa Rin. Bentar lagi ujian.""Ish, sejak kapan sih kamu jadi pedul
Netra Doni mengikuti setiap gerak gerik gadis di depan sana. Kaos lengan panjang warna putih, dipadu dengan celana bahan hitam panjang. Juga sepatu kets hitam semi putih. Rambut panjangnya diikat satu. Sedikit memoles wajahnya, tak seperti penampilan biasanya. Dia raih almet kesayangannya dan mencangklong tas agak terburu-buru."Masih pagi," ujar Doni."Ah, itu... aku ada urusan dadakan pagi-pagi banget. Aku duluan ya? Em, sory juga gak sempat masak.""Berangkat sama siapa?" Wajah Doni datar. Dia hanya butuh gadis itu mengucap izin padanya. Tapi sedari tadi malam tak ada sepatah kata terucap demi membahas agendanya hari ini."Biii... eh, dijemput Bila. Nanti pulangnya juga dianterin dia kok. Aku mau ke rumahnya, ada tugas kelompok. Jadi ntar gak usah dijemput."Doni tak menyahut. Dia menatap kecewa gadis itu yang bergegas keluar dengan terburu-buru.Brugh!Dia hempaskan kasar tubuhnya di ranjang. Menghembus napas kasar.
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik