Netra Doni mengikuti setiap gerak gerik gadis di depan sana. Kaos lengan panjang warna putih, dipadu dengan celana bahan hitam panjang. Juga sepatu kets hitam semi putih. Rambut panjangnya diikat satu. Sedikit memoles wajahnya, tak seperti penampilan biasanya. Dia raih almet kesayangannya dan mencangklong tas agak terburu-buru.
"Masih pagi," ujar Doni.
"Ah, itu... aku ada urusan dadakan pagi-pagi banget. Aku duluan ya? Em, sory juga gak sempat masak.""Berangkat sama siapa?" Wajah Doni datar. Dia hanya butuh gadis itu mengucap izin padanya. Tapi sedari tadi malam tak ada sepatah kata terucap demi membahas agendanya hari ini."Biii... eh, dijemput Bila. Nanti pulangnya juga dianterin dia kok. Aku mau ke rumahnya, ada tugas kelompok. Jadi ntar gak usah dijemput."
Doni tak menyahut. Dia menatap kecewa gadis itu yang bergegas keluar dengan terburu-buru.
Brugh!
Dia hempaskan kasar tubuhnya di ranjang. Menghembus napas kasar.
"Kuliah yang bener." Lily urung meletakkan helmnya. Menatap sangar cowok di depannya. "Ngaca!" Sergahnya. Doni malah tertawa."Jangan ngelamun, kecuali mikirin aku. Jangan tidur di kelas. Jangan....""Berisik!" Kesal juga lama-lama dengar ocehan pagi yang unfaedah dari cowok itu. Dia melangkahkan kakinya meninggalkan Doni di belakang. Sementara Doni terkekeh kecil. Memandangi punggung gadis itu. Jatuh cinta? Haha... rasanya terdengar lucu. Tapi jujur saja akhir-akhir ini perasaannya tak beres. Sering senyam senyum sendiri saat wajah gadis itu terlintas di kepalanya. Juga rasa rindu ingin segera menjumpainya. Tak jarang dia spam chat pada Lily meski berakhir di read doang. Gila! Mungkin Doni mulai gila. "Jatuh cinta gak pandang usia kan?" gumamnya, tersenyum. Helm pink Hello Kitty Lily diraihnya, dan dia tempatkan di tempat biasa. Bergegas hendak ke sekolahnya. Sayangnya, gerakannya terhenti saat sebuah motor terparkir tak jauh darinya. Dan seper
Semenjak itu, Doni tak banyak bicara. Apalagi saat Lily tahu keadaan Mukhtar yang ternyata sangat parah. Dia marah pada tindakan ceroboh Doni. Kembali memarahi Doni. Dan lagi-lagi Doni tak membalasnya, hanya diam.Keadaan makin runyam. Doni sering pergi dan kembali saat petang. Lily yang merasa bersalah memutuskan merawat Mukhtar. Kesalahan Doni adalah kesalahan baginya juga. Mereka jadi jarang bertemu. Hanya saat malam tiba, itupun tanpa percakapan dan langsung kembali ke mimpi masing-masing.Beberapa hari ini juga Lily berangkat kampus naik bis. Lalu pulangnya ke rumah Mukhtar bareng Billa."Maaf kak, maafin Doni."Entah sudah berapa kali dia mengucap itu. Mukhtar terkekeh. Menerima suapan bubur dari gadis itu."Tak apa. Aku tahu dia masih marah gara-gara kejadian itu."Lily menghela napas."Anak itu, makin susah saja diaturnya," gerutu Lily. Lily bisa santai membahas masalah Doni karena dia sudah jujur dengan Mukhtar, bahwa mer
Kau bahkan tak tahu alasanku marah waktu itu, dan kini kau malah semakin dekat dengannya.Huh! Aku membutuhkanmu. Kau tahu itu?-----------Doni menghembus napas kasarnya. Niatnya hari ini dia mengunjungi kampus Lily, untuk mengajak gadis itu makan di luar. Tapi lihatlah pemandangan disana. Menjengkelkan sekaligus menyesakkan. Istrinya sedang berjalan beriringan dengan pria yang dibencinya. Tawa lebar terlihat jelas. Sungguh berbeda dengan saat bersama dirinya. Dia pandangi keduanya hingga hilang dari pandangannya."Sial!"Doni pukul stirnya keras. Tak terasa sakit. Lebih sakit hatinya kini. Detak jantungnya berdegup le
Club.Minuman keras.Narkoba.Jemari Lily mengetik password dengan lemah. Di pikirannya tetap terbayang perkataan Mukhtar tadi. Benarkah? Tapi tidak mungkin kan seorang Mukhtar berbohong. Lagipula, dia bertemu cowok itu juga di club. Dan dia juga pernah memergoki Doni dengan Arin. Waktu itu. Akhir-akhir ini juga Doni pulang malam. Tapi sama sekali dia tidak mencium bau aneh. Tauklah. Dia pusing."Baru pulang?""Astaga!" Lily memegangi dadanya. Doni yang mengagetkannya. Pemuda itu bersidekap dengan wajah datarnya."Pulang bareng siapa?""Bis," jawab Lily tak kalah datar. Dia berjalan menuju kamar."Gak bohong?"Lily menghentikan langkahnya. Menoleh kesal. Ah, ingat Ly. Lo gak boleh membenci Doni. Itu kata Mukhtar tadi. Bimbing dia, baik-baikin dia. Jangan sampai kembali ke Doni yang dulu.Lily menarik napas panjang. Menghembuskannya pelan."Ya
Capek. Itu yang dirasakan Doni kini. Fokusnya terbagi-bagi. Padahal sebentar lagi dia ujian. Dia pulang dan menyadari Lily tak ada di kamar."Kemana dia?"Dia putuskan untuk mencari gadis itu."Kak!" panggilnya. Tak ada sahutan. Dia lihat di kamar mandi tak ada siapapun. Dia cari di dapur, juga tak ada. Ruang tamu apalagi, dia kan baru saja melewati ruang tamu tadi sewaktu pulang."Apa jangan-jangan kak Lily pergi lagi. Hadeuh!" Doni menghempaskan kasar pantatnya di sofa. Terbayang Lily saking marahnya sampai memutuskan menghindari dirinya."Argh!" Dia remat kasar rambutnya. Menghadap ke atas dengan mata terpejam. Praduga bermunculan di kepalanya. Kalau tidak pulang ke rumah, apa mungkin Lily ke rumah sahabatnya itu."Aish! Kenapa hubungan kami gak pernah tenang sih? Sebentar baikan, gak lama marahan lagi. Gue emang gak bisa dewasa. Plinplan lo, Don! Bodoh! Pengecut," rutuknya pada diri sendiri.Diambilnya vas bunga di ata
"Gue lihat lo makin deket aja sama kak Mukhtar."Lily tersenyum tipis."Kelihatannya kek gitu ya?""Ya iyalah ogeb. Jelas banget. Tiap hari loh, lo pasti ke perpus sama kak Mukhtar. Emang gak takut apa berondong lo tahu, terus cemburu gitu?"Lily tersenyum kecut. Menyesap moccanya. Meletakkan ponsel yang sedari tadi dia pegang. Apalagi kalau bukan chattingan dengan pemuda yang dikaguminya lama."Dia tahu," ujarnya."Terus? Dia gak marah?"Gadis itu malah terkekeh."Terus kejadian dia mukul kak Mukhtar itu apa kalau bukan marah, hm?"Billa menatap sahabatnya tak mengerti."Yaaa... tapi kenapa lo malah makin dekat sama kak Mukhtar sih? Kalau berondong lo kalap lagi gimana coba?"Tak habis pikir Billa sama pola pikir Lily. Sudah tahu berondong berandalannya itu tak suka dia terlalu dekat dengan Mukhtar malah diterusin."Gue bingung, Bil," ucapnya, menunduk. Memutar-mutar gelasnya."Cerita aja."Lily
Benar kata orang-orang. Terkadang memahami perasaan sendiri lebih sulit daripada memahami perasaan orang lain. Meski kita tahu apa yang dirasa, tapi sulit menyikapinya.Sudah pukul tujuh malam. Detak jarumnya mengisi apart yang akhir-akhir ini terasa sepi. Lily melirik pigura yang tergantung di dinding kamar mereka. Poto pernikahannya dengan berondong itu. Tak ada senyum di wajah keduanya. Hanya ada tatapan datar. Hah, apa selamanya akan begini? Berawal dari tanpa rasa dan berakhir meninggalkan asa.Gadis itu meraih ponselnya, mencari sebuah nama di kontak whatsapnya, mengetik beberapa kata. Namun tak berapa lama dia menghapusnya lagi. Berulang kali dia melakukannya, tapi tak ada satupun pesan yang berhasil terkirim. Semua berakhir dengan satu tekanan jempolnya, yang membuat pesan itu sirna terhapus."Haish!" umpatnya. "Bodo amat lah. Ingat Ly. Tugasmu jagain dia. Kalau kenapa-napa ntar lo juga yang disalahin."
Bukan merelakan, tapi aku tidak ingin mengekangmu. Yang jika pada akhirnya membuatmu menjauh. Mungkin seperti ini dahulu, sembari menunggumu sadar, bahwa bukan dia yang terbaik untukmu.---------------Membuat Doni mau belajar memang bukan perkara mudah. Tapi dengan kesabarannya dan sedikit ancaman tentunya, Doni jadi nurut. Jika sudah begini, berondong itu terlihat menggemaskan. Jiwa-jiwa berandalnya menguap begitu saja. Dia juga tak lagi ngeluyur sepulang sekolah. Jadi Bram tak perlu repot-repot mengingatkannya. Justru Bram yang sedang menjalankan misi dengan teman-teman Doni yang lain. Yang pastinya tanpa cowok itu ketahui.Lily tetap bergaul dengan Mukhtar seperti biasa. Sebisa mungkin dia mengusir rasa yang sempat singgah. Dia sadar, tugasnya kini