Benar kata orang-orang. Terkadang memahami perasaan sendiri lebih sulit daripada memahami perasaan orang lain. Meski kita tahu apa yang dirasa, tapi sulit menyikapinya.
Sudah pukul tujuh malam. Detak jarumnya mengisi apart yang akhir-akhir ini terasa sepi. Lily melirik pigura yang tergantung di dinding kamar mereka. Poto pernikahannya dengan berondong itu. Tak ada senyum di wajah keduanya. Hanya ada tatapan datar. Hah, apa selamanya akan begini? Berawal dari tanpa rasa dan berakhir meninggalkan asa.
Gadis itu meraih ponselnya, mencari sebuah nama di kontak whatsapnya, mengetik beberapa kata. Namun tak berapa lama dia menghapusnya lagi. Berulang kali dia melakukannya, tapi tak ada satupun pesan yang berhasil terkirim. Semua berakhir dengan satu tekanan jempolnya, yang membuat pesan itu sirna terhapus.
"Haish!" umpatnya.
"Bodo amat lah. Ingat Ly. Tugasmu jagain dia. Kalau kenapa-napa ntar lo juga yang disalahin."<Bukan merelakan, tapi aku tidak ingin mengekangmu. Yang jika pada akhirnya membuatmu menjauh. Mungkin seperti ini dahulu, sembari menunggumu sadar, bahwa bukan dia yang terbaik untukmu.---------------Membuat Doni mau belajar memang bukan perkara mudah. Tapi dengan kesabarannya dan sedikit ancaman tentunya, Doni jadi nurut. Jika sudah begini, berondong itu terlihat menggemaskan. Jiwa-jiwa berandalnya menguap begitu saja. Dia juga tak lagi ngeluyur sepulang sekolah. Jadi Bram tak perlu repot-repot mengingatkannya. Justru Bram yang sedang menjalankan misi dengan teman-teman Doni yang lain. Yang pastinya tanpa cowok itu ketahui.Lily tetap bergaul dengan Mukhtar seperti biasa. Sebisa mungkin dia mengusir rasa yang sempat singgah. Dia sadar, tugasnya kini
"Mau ke toko buku pulang nanti?" Mukhtar menoleh ke sampingnya. Lily menurunkan bukunya."Ah, sepertinya langsung pulang deh kak," jawabnya.Mukhtar manggut-manggut."Kak Mukhtar mau ke toko buku?""Emm, tadinya. Tapi kayaknya gak jadi deh. Lupa ada janji buat amal nanti.""Buat?""Korban bencana.""Ah, iya." Lily berfikir sejenak."Anak-anak organisasi yang lain berarti?"Mukhtar menggeleng."Enggak. Sama organisasi luar kampus.""Kenapa?"Mukhtar mengerutkan dahinya."Maksudku, emm... kok dari kampus belum? Biasanya kan gesit?""Ya terserah sih. Kalian juga kan masih uts. Kalau yang mau ikut, ya ayo.""Hee... pengen sih.""Ya udah. Ntar aku jadwalin sama anak-anak yang lain."Lily tersenyum. Kembali ke bukunya. Tapi sebelumnya dia lihat ponsel Mukhtar yang diletakkan di atas meja berkedip-kedip. Sayangnya tak terlihat siapa yang menelepon."Kayaknya ada yang nelpon gih kak," ujarnya
Doni bangun kesiangan. Akibatnya dia celingak celinguk kebingungan. Dia memang belum terlalu paham dengan rumah Lily. Dia kan memang cuma berkunjung pas lamaran dadakan sama nikahan itu doang.Dengan rambut yang masih acak-acakan, dia beranjak ke kamar mandi. Rupanya ada ibu di dapur."Sudah bangun, nak?"Doni mengangguk, nyengir. Malu."Capek ya? Jauh juga sih perjalanannya," ujar ibu. Doni meringis. Memang capek, tapi selain itu dia merasa nyaman, yang membuatnya tak sadar sudah kesiangan. Entah kenapa.Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tak mendapati keberadaan gadisnya."Kak Lily mana, bu?""Oh, Lily... Dia di depan. Lagi nyiram bunga."Doni manggut-manggut."Cuci wajahmu, lalu sarapan.""Iya, Bu."Cowok itu meneruskan langkahnya. Tepat Lily kembali dari depan. Membawa ember dan gayungnya."Kok asternya gak ada, bu?""Iya. Habis berbunga waktu itu ibu lupa gak nyemai lagi. Jadi pada mati."
Minggu yang cerah. Mentari masih mengintip malu-malu di balik pepohonan sana. Pagi ini juga Doni dan Lily akan pulang. Sedari tadi bapak dan ibu sibuk menyiapkan barang apa saja yang bisa di bawa. Termasuk singkong yang kemarin mereka cabut."Sudah, Bu. Ini saja," ujar Lily, dia gak enak karena malah merepotkan ibunya. Namun ibu masih bersikeras. Beras, singkong, jagung tua dan muda, juga sayur terong, semua dibawakan."Halah. Wong ada kok. Ibu sama bapak kan gak beli," bantahnya. Lily menoleh ke arah Doni, dia juga gak enak sama cowok itu. Bagaimanapun juga ini kan mobil Doni. Tapi cowok itu cuek saja. Malah semangat menatanya di dalam bagasi belakang. Ah, sudahlah."Lily pamit pak, bu," ujarnya. Mencium tangan ayah dan ibunya."Iya, nduk. Seng ati-ati ya disana. Jadi istri yang baik dan berbakti."Ibu mengusap lembut surai putrinya. Tatapannya tak bisa berbohong, mata yang berkaca.
Minggu yang cerah. Mentari masih mengintip malu-malu di balik pepohonan sana. Pagi ini juga Doni dan Lily akan pulang. Sedari tadi bapak dan ibu sibuk menyiapkan barang apa saja yang bisa di bawa. Termasuk singkong yang kemarin mereka cabut."Sudah, Bu. Ini saja," ujar Lily, dia gak enak karena malah merepotkan ibunya. Namun ibu masih bersikeras. Beras, singkong, jagung tua dan muda, juga sayur terong, semua dibawakan."Halah. Wong ada kok. Ibu sama bapak kan gak beli," bantahnya. Lily menoleh ke arah Doni, dia juga gak enak sama cowok itu. Bagaimanapun juga ini kan mobil Doni. Tapi cowok itu cuek saja. Malah semangat menatanya di dalam bagasi belakang. Ah, sudahlah."Lily pamit pak, bu," ujarnya. Mencium tangan ayah dan ibunya."Iya, nduk. Seng ati-ati ya disana. Jadi istri yang baik dan berbakti."Ibu mengusap lembut surai putrinya. Tatapannya tak bisa berbohong, mata yang berkaca.
Pagi sekali, mereka berangkat. Doni mengantar ke kampus Lily terlebih dahulu,barulah ke rumahnya mengambil motor. Sebelum pergi, cowok itu mengingatkan janji mereka nanti malam."Dasar, takut sekali gue kelupaan. Haha," gumam Lily terkekeh. Memandangi kepergian Doni."Woy!" Seseorang menepuk pundaknya. Membuat Lily terjingkat kaget."Astaga! Bi...laa... Eh, Dita. Ngegetin aja sih." Dia pikir itu Billa, ternyata Dita, rekan satu organisasi dengannya."Ya ampun, Ly. Lo kemana aja sih dua hari ini," keluh Dita. Rautnya tak baik-baik saja."Gue pulang kampung. Ada apa emang, Dit?""Kenapa ponsel pake dimatiin sih. Genting tahu."Lily mengerdipkan mata dengan alis mengerut, tak paham."Pokoknya genting deh. Ntar abis kuliah, jangan pulang dulu. Ada rapat komisaris."Lily mengangguk. Dia bingung. Apa sebenarnya yang terjadi. Apa terjadi sesuatu dengan kak Mukhtar?"Ya udah. Gue pulang dulu. Capek gaes. Dari kemarin
Lily melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Haduh, dia tidak tahu kalau bakal sampai semalam ini kumpulannya. Pukul sembilan belas lewat tiga puluh dua menit.Memang darurat. Uang kas hilang. Sekaligus uang yang dikumpulkan untuk donasi korban bencana yang dikumpulkan teman-temannya. Yang mana dia tidak ikut mencari donasinya.Sedari tadi dia menunduk. Raut Mukhtar terlihat marah. Penampilannya juga tak serapi biasanya. Kata-kata yang terlontar juga tak seperti biasanya. Cenderung kasar dan blak-blakan. Wajar saja sih, disaat keadaan genting begini, malah banyak yang dihubungi susah. Lily juga merasa bersalah. Kalau tahu begini, dia tidak pulang kemarin. Sumpah, Mukhtar terlihat mengerikan.Sebenarnya dia gelisah bukan cuma karena ini, tapi juga teringat janjinya dengan Doni. Dia bahkan sedari tadi belum memegang ponselnya. Dia yakin cowok itu menghubunginya, bahkan mungkin juga sama khawatirnya disana. Mana tadi janjinya kan dia gak usah di jemput.
Billa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh."Tidak! Ini gak boleh terjadi." Dia memukul stirnya frustasi. Kantunya yang semula berat terasa mendadak sirna begitu saja begitu mendapat telepon dari Doni. Fikirannya serasa tak lagi di tempat. Dia sudah membayangkan yang tidak-tidak.Tiba di sebuah rumah, dia segera menghentikan laju mobilnya, berlari mengetuk pintu kasar."Ma! Mama! Buka pintunya. Ini Billa ma!" gedornya tak sabar. Tak lama terdengar derap langkah kaki, dan pintu terbuka. Menampilkan mama Mukhtar dengan wajah kantuknya."Ada apa sih, Bil. Malam-malam gedar gedor pintu." Billa tak peduli ocehan mamanya itu."Kak Mukhtar mana?""Gak ada di rumah. Katanya nginep tempat temannya. Kenapa memang? Tumben nyariin kakakmu malam-malam.""Ngi-nginep?""Iya. Katanya sedang ada masalah di organisasinya gitu."Billa memejamkan matanya, frustasi. Ayolah, jangan sampai yang difikirkannya benar-benar