Pagi sekali, mereka berangkat. Doni mengantar ke kampus Lily terlebih dahulu,barulah ke rumahnya mengambil motor. Sebelum pergi, cowok itu mengingatkan janji mereka nanti malam.
"Dasar, takut sekali gue kelupaan. Haha," gumam Lily terkekeh. Memandangi kepergian Doni."Woy!" Seseorang menepuk pundaknya. Membuat Lily terjingkat kaget."Astaga! Bi...laa... Eh, Dita. Ngegetin aja sih." Dia pikir itu Billa, ternyata Dita, rekan satu organisasi dengannya. "Ya ampun, Ly. Lo kemana aja sih dua hari ini," keluh Dita. Rautnya tak baik-baik saja."Gue pulang kampung. Ada apa emang, Dit?""Kenapa ponsel pake dimatiin sih. Genting tahu."Lily mengerdipkan mata dengan alis mengerut, tak paham."Pokoknya genting deh. Ntar abis kuliah, jangan pulang dulu. Ada rapat komisaris."
Lily mengangguk. Dia bingung. Apa sebenarnya yang terjadi. Apa terjadi sesuatu dengan kak Mukhtar?
"Ya udah. Gue pulang dulu. Capek gaes. Dari kemarin
Lily melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Haduh, dia tidak tahu kalau bakal sampai semalam ini kumpulannya. Pukul sembilan belas lewat tiga puluh dua menit.Memang darurat. Uang kas hilang. Sekaligus uang yang dikumpulkan untuk donasi korban bencana yang dikumpulkan teman-temannya. Yang mana dia tidak ikut mencari donasinya.Sedari tadi dia menunduk. Raut Mukhtar terlihat marah. Penampilannya juga tak serapi biasanya. Kata-kata yang terlontar juga tak seperti biasanya. Cenderung kasar dan blak-blakan. Wajar saja sih, disaat keadaan genting begini, malah banyak yang dihubungi susah. Lily juga merasa bersalah. Kalau tahu begini, dia tidak pulang kemarin. Sumpah, Mukhtar terlihat mengerikan.Sebenarnya dia gelisah bukan cuma karena ini, tapi juga teringat janjinya dengan Doni. Dia bahkan sedari tadi belum memegang ponselnya. Dia yakin cowok itu menghubunginya, bahkan mungkin juga sama khawatirnya disana. Mana tadi janjinya kan dia gak usah di jemput.
Billa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh."Tidak! Ini gak boleh terjadi." Dia memukul stirnya frustasi. Kantunya yang semula berat terasa mendadak sirna begitu saja begitu mendapat telepon dari Doni. Fikirannya serasa tak lagi di tempat. Dia sudah membayangkan yang tidak-tidak.Tiba di sebuah rumah, dia segera menghentikan laju mobilnya, berlari mengetuk pintu kasar."Ma! Mama! Buka pintunya. Ini Billa ma!" gedornya tak sabar. Tak lama terdengar derap langkah kaki, dan pintu terbuka. Menampilkan mama Mukhtar dengan wajah kantuknya."Ada apa sih, Bil. Malam-malam gedar gedor pintu." Billa tak peduli ocehan mamanya itu."Kak Mukhtar mana?""Gak ada di rumah. Katanya nginep tempat temannya. Kenapa memang? Tumben nyariin kakakmu malam-malam.""Ngi-nginep?""Iya. Katanya sedang ada masalah di organisasinya gitu."Billa memejamkan matanya, frustasi. Ayolah, jangan sampai yang difikirkannya benar-benar
Pagi-pagi sekali Doni datang ke rumah sakit. Kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. Dia langsung memeluk erat gadisnya."Masih sakit?" bisiknya.Lily menggeleng. Melepaskan pelukan Doni. Hatinya tersayat melihat wajah berondongnya."Sudahlah, Don. Aku tak apa.""Tapi, kak. Kak Lily masih pucat," ujar Doni. Menyentuh wajah Lily. Gadis itu menepisnya pelan."Aku gak apa."Dia ingin bersikap biasa saja, seperti kesepakatannya dengan Billa tadi malam. Tapi melihat Doni, tetap saja rasanya sesak. Dia merasa menghianati cowok itu."Ehm! Obat nyamuk nih."Billa mendehem. Membuat keduanya reflek menoleh. Doni nyengir."Sory mblo. Lupa," tukasnya. Billa mendecis, mengangkat tangannya seolah hendak memukul Doni. Cowok itu tertawa."Sudah. Bawa pulang istrimu sana. Ingat, jangan boleh ke kampus. Biarkan dia istirahat."Doni mengacungkan jempolnya. Dan dia akan izin juga hari ini."Thanks, Bro.""Yaah.. lam
Saat Lily membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah Doni yang pulas disampingnya. Wajahnya yang polos menambah sesak dalam dadanya. Rasanya dia seperti penghianat yang sangat jahat. Perhatian cowok itu padanya, makin menimbulkan rasa bersalah yang amat sangat. Dia sedikit beringsut, menyampingkan badannya, tepat menghadap wajah Doni.Tangannya terulur menyentuh lembut pipi Doni yang sedikit membengkak. Mulutnya sedikit terbuka. Tetes bening kembali mengalir di sudut mata gadis itu."Sampai kapan gue nyembunyiin ini," ucapnya lirih."Gue takut, gue takut sesuatu yang lebih buruk datang."Helanya berat. Teringat kejadian itu terjadi tepat di masa suburnya. Tentu saja dia takut ada benih yang bersarang di rahimnya. Mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Lalu beranjak bangun.Hari ini dia akan ke kampus. Meski sebenarnya masih takut dan trauma. Tapi, dia tidak mau membuat Doni curiga. Dia tidak ingin cowok itu tahu kejadian yang m
"Kak! Kak Lily. Apa yang terjadi?"Dia sempat mendengar Doni panik mendobrak kamar. Memangku kepalanya yang sudah dipenuhi busa di mulutnya. Dan setelah itu semuanya gelap. Sakit. Tapi dia masih bisa tersenyum.Ya, akhirnya Lily memutuskan menenggak pil tidur dengan dosis tinggi. Yang membuatnya overdosis. Dia tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan."Maafin gue, Don. Lo berhak bahagia..." ucapnya terakhir dalam hati.----------Doni mondar mandir di depan ruangan di rumah sakit. Tadi dengan sigap dia langsung membawa Lily ke rumah sakit. Terkejut setengah mati mendapati gadisnya terkapar di kamar dengan mulutnya yang berbusa. Kini dokter di dalam sana sedang memberinya pertolongan pertama.Billa datang tergopoh."Di-dimana Lily?"Doni mendesah kesal. Emosinya memuncak. Tapi dia tak ada tenaga untuk marah-marah."Apa yang sebenarnya terjadi?" Akhirnya hanya pertanyaan itu yang muncul.Billa menangis. B
Dua jam sudah Lily terlelap. Dia pikir dirinya sudah mati. Air matanya kembali berderai."Maaf, Don. Gue harus pergi tanpa pamit sama lo," ucapnya lirih.Terbayang Doni pasti akan menangis. Tapi itu lebih baik, daripada Doni tahu kenyataan yang menimpanya. Hamil tapi dengan orang lain. Itu berkali lebih menyakitkan.Dia masih ingat pemuda itu panik memanggil-manggil namanya."Semoga lo bahagia, Don," tambahnya dalam hati."L-lo udah sadar, Ly?"Deg! Bukannya itu suara Billa.Spontan Lily menoleh, mendapati Billa yang baru saja keluar dari kamar mandi."G-gue belum mati?" Matanya membulat. Memeriksa seluruh tubuhnya. Ada selang yang menancap di punggung tangannya. Juga infus yang mengalir di samping ranjangnya. Matanya kembali berkaca-kaca."Kenapa gue gak mati aja, hiks..."Billa panik, segera memeluk gadis itu, menenangkannya."Kenapa, Bil! Kenapa gue harus selamat. Hiks.. hiks.. gue pengen mati!" Teriaknya,
"Makan yang banyak. Ibu hamil gak boleh kelaparan." Billa mengusap lembut surai panjang Lily yang dibiarkan tergerai."Beneran nih? Gratis kan?" tawanya."Iya. Kalau perlu kokinya bawa pulang juga gak papa."Tawa Lily makin tergelak. Setelah beberapa hari berlalu, Lily mulai menerima kehamilannya. Bahkan dia merasakan sayang pada bayinya. Terlepas dia juga membenci sang ayah dari bayi tersebut.Ternyata rasanya aneh, tapi juga nyaman. Dia kerap kali mengajak bayinya bicara. Padahal, belum ada reaksi berarti.Lily terpaksa tak meneruskan kuliahnya. Dia tak sudi bertemu dengan Mukhtar. Sedang Billa, dia benar-benar menjaga sahabatnya. Dia izin pada papanya untuk sementara tinggal di apartemen Lily, eh, apartemen Doni lebih tepatnya.Hari ini Billa mengajaknya makan di luar. Biar ibu hamil itu tidak terus-terusan berada di ruangan. Seperti terpenjara saja."Habis ini beli seblak ya,
"Lo nangis, Ly?" Billa menelisik menyelidik."Enggak. Kena sambar mata nih. Perih," jawabnya beralasan. Mengucek-ucek matanya."Eish... jangan dikucek. Yang ada malah tambah dalam ntar. Sini, gue tiupin."Lily diam pasrah. Sementara Billa meniup matanya yang sebenarnya tak kemasukan apa-apa."Gimana?""Udah mendingan kok. Thanks ya."Billa mengangguk. Pandangannya selidik. Dia rasa dia tahu gadis itu hanya beralasan. Tapi, ah sudahlah. Untuk sekarang berpura saja mengikuti skenario.Mereka kembali menghabiskan malam disini. Hingga pukul sembilan lewat lima belas menit, barulah mereka pulang.--------------"Lo kemana sih, Don. Gue kangen."Gadis itu memandang luar dari jendela kamarnya. Menghela napas berat. Tanpa sadar tangannya mengusap perutnya yang masih rata."Apa lo udah makan? Apa lo baik-baik saja? Huh. Tentu saja tidak. Sakit, Ly. Dihianati itu sakit."Andai dalam kondisi yang baik-baik saja, mu