Dua jam sudah Lily terlelap. Dia pikir dirinya sudah mati. Air matanya kembali berderai.
"Maaf, Don. Gue harus pergi tanpa pamit sama lo," ucapnya lirih.
Terbayang Doni pasti akan menangis. Tapi itu lebih baik, daripada Doni tahu kenyataan yang menimpanya. Hamil tapi dengan orang lain. Itu berkali lebih menyakitkan.
Dia masih ingat pemuda itu panik memanggil-manggil namanya."Semoga lo bahagia, Don," tambahnya dalam hati.
"L-lo udah sadar, Ly?"
Deg! Bukannya itu suara Billa.
Spontan Lily menoleh, mendapati Billa yang baru saja keluar dari kamar mandi."G-gue belum mati?" Matanya membulat. Memeriksa seluruh tubuhnya. Ada selang yang menancap di punggung tangannya. Juga infus yang mengalir di samping ranjangnya. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Kenapa gue gak mati aja, hiks..."
Billa panik, segera memeluk gadis itu, menenangkannya."Kenapa, Bil! Kenapa gue harus selamat. Hiks.. hiks.. gue pengen mati!" Teriaknya,"Makan yang banyak. Ibu hamil gak boleh kelaparan." Billa mengusap lembut surai panjang Lily yang dibiarkan tergerai."Beneran nih? Gratis kan?" tawanya."Iya. Kalau perlu kokinya bawa pulang juga gak papa."Tawa Lily makin tergelak. Setelah beberapa hari berlalu, Lily mulai menerima kehamilannya. Bahkan dia merasakan sayang pada bayinya. Terlepas dia juga membenci sang ayah dari bayi tersebut.Ternyata rasanya aneh, tapi juga nyaman. Dia kerap kali mengajak bayinya bicara. Padahal, belum ada reaksi berarti.Lily terpaksa tak meneruskan kuliahnya. Dia tak sudi bertemu dengan Mukhtar. Sedang Billa, dia benar-benar menjaga sahabatnya. Dia izin pada papanya untuk sementara tinggal di apartemen Lily, eh, apartemen Doni lebih tepatnya.Hari ini Billa mengajaknya makan di luar. Biar ibu hamil itu tidak terus-terusan berada di ruangan. Seperti terpenjara saja."Habis ini beli seblak ya,
"Lo nangis, Ly?" Billa menelisik menyelidik."Enggak. Kena sambar mata nih. Perih," jawabnya beralasan. Mengucek-ucek matanya."Eish... jangan dikucek. Yang ada malah tambah dalam ntar. Sini, gue tiupin."Lily diam pasrah. Sementara Billa meniup matanya yang sebenarnya tak kemasukan apa-apa."Gimana?""Udah mendingan kok. Thanks ya."Billa mengangguk. Pandangannya selidik. Dia rasa dia tahu gadis itu hanya beralasan. Tapi, ah sudahlah. Untuk sekarang berpura saja mengikuti skenario.Mereka kembali menghabiskan malam disini. Hingga pukul sembilan lewat lima belas menit, barulah mereka pulang.--------------"Lo kemana sih, Don. Gue kangen."Gadis itu memandang luar dari jendela kamarnya. Menghela napas berat. Tanpa sadar tangannya mengusap perutnya yang masih rata."Apa lo udah makan? Apa lo baik-baik saja? Huh. Tentu saja tidak. Sakit, Ly. Dihianati itu sakit."Andai dalam kondisi yang baik-baik saja, mu
Dua minggu Doni tak pulang ke rumah. Selama itu pula Billa menginap di apartemen Lily menemani gadis itu. Papanya sudah menanyakannya berkali-kali. Papanya mulai curiga. Bagaimanapun juga, tak pantas seorang gadis menginap di rumah temannya yang sudah menikah. Akhirnya karena terus-terusan dipaksa, bahkan diancam akan dijemput paksa di rumah Lily, Billa mengalah. Hari ini dia beres-beres barangnya. Dari sudut kamar, Lily memandangi sahabatnya dengan tatapan sedih. Karena berarti dia akan sendirian lagi."Gue pulang ya. Jaga diri baik-baik. Gue bakal sering kesini kok," ucapnya, memeluk sahabatnya."Thanks, Bil." Suara Lily lirih. Menahan tangisnya."Jaga diri sama dedek bayi. Jangan kecapekan, kalau lapar pesan go fo*d aja. Jangan stress. Oke?"Lily mengangguk. Melepas pelukannya."Gue pulang."Berat rasanya melepas kepulangan sahabat yang selama ini mendukungnya. Tapi dia bisa apa? Ini hak Billa untuk pergi. Dan meski gadis itu menolak, tapi tida
Setiap pecinta, dia akan kembali pada yang dicintainya. Tak peduli sebesar apapun rasa kecewa yang sempat menerpa. Dia akan menemukan jalan kembalinya.Gadis itu terus saja bergerak-gerak tak tenang dalam tidurnya. Sesekali keningnya berkerut seolah sedang mengalami mimpi buruk. Butir keringat dingin laksana titik-titik di wajahnya."Jangan! Jangan! Hentikan, aku mohon. Hentikan!""Argh!"Gadis itu terjangkit kaget. Reflek terbangun dari tidurnya. Keringat dingin menetes. Kejadian itu, kerap hadir dalam mimpinya. Membuat tidurnya tak nyenyak."Hiks... hiks..."Lily memeluk lututnya. Dia takut. Selama ini ketegarannya hanya topeng belaka. Hanya untuk membuat Billa tak khawatir padanya. Tapi kali ini dia sendirian. Kesepian yang membuat ketakutannya hadir berkali lipat."Aaarh... huhu... aku benci... hiks... aku benci!" pekiknya tertahan. Memukul-mukul kasurnya. Kembali menyembunyikan wajah diantara lututnya.Sebuah tangan menyen
Pagi.Lily meniti wajah yang tersaji dihadapannya itu. Bibirnya menyunggingkan senyum antara bahagia, juga bersalah. Pemuda berandal yang dulu menyebalkan itu, kini justru dialah yang menyejukkannya dari perasaan menyakitkan yang dialami sebulan yang lalu. Bocah itu memang masih Sma, emm... tidak, dia kini sudah lulus, tapi lihatlah, betapa dewasanya dia dalam menyikapi masalah rumah tangganya. Memang benar dia sempat pergi, tapi bukan untuk melarikan diri, melainkan menenangkan pikirannya.Jemari lentik Lily meniti lekuk wajah Doni, membelai lembut pipi yang agak tirus itu. Ah, pasti gara-gara dirinya Doni jadi kehilangan berat badannya."Andai waktu itu aku menuruti perkataanmu, huft, pasti gak akan kayak gini jadinya," sesalnya."Justru, bisa-bisanya aku lebih percaya dengan baj*ngan itu," tambahnya.Doni menggeliat pelan. Buru-buru Lily men
"Apalagi, Don? Aku lagi masak," tukas Lily saat tiba-tiba Doni memeluknya dari belakang. Meletakkan kepalanya di dagunya."Kangen."Lily meliriknya selintas. "Kayaknya beneran kesambet deh kamu," tukasnya sembari memecah telurnya, mencampurkan dengan sedikit garam dan irisan daun bawang. Lalu mengocoknya."Iya. Kan aku udah bilang tadi, kesambet bidadari. Makanya gak bisa jauh-jauh. Pengennya nempel terus.""Aneh, yang hamil siapa, yang manja siapa?" Doni tertawa. Melepas pelukannya dan pindah disisi Lily."Sini, biar aku yang goreng kak.""Yakin bisa?" Lily menatap tak percaya pada Doni."Cuma goreng telur mah gampang.""Oke. Jangan sampai gosong ya?"Doni mengacungkan jempolnya. Sementara Lily mengambil nasi untuk dibuat nasi goreng. Bahan-bahan masak habis, belum sempat bela
"Apa? Hamil?"Lily menunduk takut. Doni cepat tanggap memegang tangan Lily. Pak Rendra nampak kesal dengan pernyataan Doni barusan. Ya dia tahu, Doni dan Lily sudah menikah, tapi apa mereka tidak mampu menahan diri lebih lama? Atau setidaknya tunda dululah kehamilannya."Don, kamu baru lulus. Apa kamu siap jadi orang tua hah? Kamu kira melahirkan anak untuk main-main?" hardik pak Rendra. Mama diam saja. Beliau juga kaget dengan kabar yang dibawa Doni. Tapi tidak serta merta menyalahkan mereka. Sebagai seorang wanita sekaligus ibu, mama lebih peka dan berperasaan."Argh! Papa tidak habis pikir Don. Dimana otakmu? Hah! Kuliah dulu yang bener. Baru kalau mau punya anak, terserahmu!"Doni mengusap lembut punggung tangan Lily yang terasa gemetar dan berkeringat dingin."Pa, Doni belum melanjutkan ucapan Doni, tapi papa selalu begini. Mar
Bu Diah terkejut setengah mati. Sementara Mukhtar terpaku di tempatnya."Apa-apaan kamu, Ndra! Jangan menuduh Mukhtar sembarangan!"Pak Rendra tersenyum tipis. Menoleh ke dua polisi itu, memberi kode."Maaf, kami menerima laporan tindak kriminal. Saudara Mukhtar kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut."Bu Diah histeris melihat anak kesayangannya di borgol."Pak polisi, anda salah tangkap! Anak saya tak mungkin berbuat jahat pak polisi.""Mukhtar, katakan nak, kamu tidak salah kan? Ayo katakan sayang." Bu Diah memegang lengan Mukhtar, sementara dua polisi itu bersiap membawa Mukhtar."Jangan diam saja, Nak. Katakan kamu tidak salah kan?"Mukhtar menghela napas pelan."Mari, brip Anton."Polisi itu membawa Mukhtar. Diikuti Doni dan Pak Rendra